Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) melarang ekspor minyak goreng dan minyak sawit mentah (CPO) mulai 28 April 2022 mendatang.
Kebijakan ini dinilai bakal membantu daya beli masyarakat, tapi di sisi lain akan merugikan negara akibat potensi kehilangan devisa hingga Rp 43 triliun per bulan.
Baca Juga
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mengamini larangan ini memang punya risiko tinggi. Yang paling nyata, pemerintah akan kehilangan pendapatan devisa.
Advertisement
"Selama ini kan devisa dari ekspor minyak goreng dan CPO sangat tinggi. Kalau ini dilarang otomatis akan hilang pendapatan devisa pajak ekspor CPO," kata Tulus kepada Liputan6.com dalam kunjungan kerja ke Proyek Tol Japek II Selatan di Kabupaten Purwakarta, Senin (25/4/2022).
Dia pun mendesak pemerintah untuk membuat kalkulasi, plus minus dari larangan ekspor ini. Meskipun dari sisi konsumen jelas akan sangat terbantu, lantaran harga minyak goreng kini memang kian mahal.
"Saya kalau ke supermarket memang minyak goreng kemasan premium sudah Rp 60 ribu lebih untuk 2 liter," imbuh Tulus.
Â
Apresiasi Presiden Jokowi
Berbicara soal kepentingan konsumen, Ia mengapresiasi langkah Presiden Jokowi yang mendahulukan kantong masyarakat ketimbang pengusaha minyak goreng dan CPO.
"Kalau untuk perlindungan dan kepentingan konsumen memang apa yang dilakukan Presiden Jokowi sudah betul, karena memang saat ini harga minyak goreng sangat tinggi. Sehingga satu-satunya cara atau jurus pamungkas adalah melarang ekspor CPO ke luar negeri," tuturnya.
Menurut dia, larangan ekspor ini di atas kertas seharusnya bisa memangkas harga minyak goreng. Sebab, mau tak mau stok CPO harus dipasok untuk pasar domestik, sehingga harga minyak goreng kemasan bakal terjaga.
"Kalau enggak, CPO industrinya rugi sendiri dong. Itu yang secara praktis bagi perlindungan konsumen tentu dengan larangan ekspor itu mekanisme pasar minyak goreng terpusat di dalam negeri," tegasnya.
Alhasil, pelaku industri CPO tidak punya pilihan lain untuk mendistribusikan produknya ke dalam negeri. Meskipun secara keuntungan tidak sebesar daripada ekspor ke luar neger.
"Kita harap itu memang menjadi solusi jangka pendek untuk menurunkan minyak goreng dalam negeri. Sehingga daya beli konsumen tidak tergerus karena kenaikan harga minyak goreng. Karena kenaikannya sudah sangat tinggi," tandasnya.
Advertisement
Pengamat: Larangan Ekspor Minyak Goreng Justru Untungkan Malaysia
Presiden Joko Widodo (Jokowi melarang ekspor bahan baku minyak goreng maupun minyak goreng mulai 28 April 2022. Larangan ini sampai batas waktu yang belum ditentukan.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira melihat bahwa larangan untuk ekspor bahan baku minyak goreng dan ekspor minyak goreng tersebut merupakan kebijakan yang tidak tepat
Larangan ekspor ekspor bahan baku minyak goreng maupun minyak goreng akan menguntungkan Malaysia. Mengingat, negara tetangga ini merupakan salah satu pesaing utama Indonesia dalam peta ekspor CPO dunia.
"Pelarangan ekspor akan untungkan Malaysia sebagai pesaing CPO Indonesia sekaligus negara lain yang produksi minyak nabati alternatif, seperti soybean oil dan sunflower oil," ujar Bhima ketika dihubungi Merdeka.com di Jakarta, Sabtu (23/4/2022).
Â
Ualngi Kesalahan
Selain menguntungkan Malaysia, pelarangan ekspor minyak goreng berpotensi mengulangi kesalahan pemerintah saat menyetop penjualan batu bara ke luar negeri beberapa waktu lalu.
Saat itu, penerapan kebijakan larangan ekspor batu bara hanya dilakukan dalam waktu singkat setelah mendapatkan protes dari sejumlah negara konsumen.
"Ini kebijakan yang mengulang kesalahan stop ekspor mendadak pada komoditas batubara pada januari 2022 lalu. Apakah masalah selesai? Kan tidak justru diprotes oleh calon pembeli diluar negeri. Cara-cara seperti itu harus dihentikan," paparnya.
Untuk itu, lanjut Bhima, yang harusnya dilakukan cukup kembalikan kebijakan DMOÂ CPOÂ 20 persen untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng di dalam negeri. Dengan catatan, pengawasan harus lebih diperkuat untuk memastikan kepatuhan pelaku industri.
"Sekali lagi tidak tepat apabila pelarangan total ekspor dilakukan. Selama ini problem ada pada sisi produsen dan distributor yang pengawasan-nya lemah," tandasnya.
Advertisement