Liputan6.com, Jakarta - Angka inflasi ternyata menjadi perhatian yang serius bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Terbukti, pada dalam Pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi Tahun 2022, Jokowi meminta setiap kepala daerah turun tangan langsung mengatasi kenaikan inflasi.
Ia menjeaskan, angka inflasi tahunan pada Juli 2022 tercatat 4,94 persen. Angka ini naik jika dibandingkan dengan periode sebelumnya atau Juni 2022. Terdapat lima provinsi yang tingkat inflasinya di atas provinsi-provinsi yang lain.
Baca Juga
"Lima provinsi ini inflasinya di atas 5 persen," kata Jokowi dalam Pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi Tahun 2022 di Istana Negara, Kamis (18/8/2022). Provinsi tersebut adalah Jambi 8,55 persen, Sumatera Barat 8,02 persen, Riau 7,04 persen dan Aceh 6,97 persen.
Advertisement
Jokowi pun memerintahkan para gubernur untuk mencari tahun penyebab kenaikan inflasi dan segera mengatasinya. "Tolong ini dilihat secara detail penyebabnya apa," kata Jokowi.
Tak hanya untuk kelima provinsi tersebut, Kepala Negara ini memerintahkan setiap kepala daerah untuk memantau tingkat inflasi di wilayahnya masing-masing. Kemudian atasi penyebab kenaikan inflasi.
"Provinsi harus tahu posisi inflasi ini berapa. Kalau saya tanya jangan gelagapan. Mana yang tinggi, mana yang normal dan mana yang rendah," kata dia.
Semua pihak kata Jokowi harus bekerja di luar keadaan normal. Mengingat kondisi saat ini sedang tidak baik-baik saja.
"Dunia berada dalam keadaan tidak normal sehingga harus kerja lebih keras, lihat angka makro dan mikro, detailnya," kata dia.
"Agar bisa kita selesaikan sama-sama dan bisa menurunkannya dibawah 5 dan syukur-syukur di bawah 3 persen," kata dia mengakhiri.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Awas, Inflasi Bisa Meroket di Akhir 2022
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengemukakan, tekanan inflasi diprediksi masih akan tetap tinggi hingga akhir 2022 ini. Itu disebabkan oleh bermacam indikator yang tak dapat dihindari.
"Inflasi IHK (indeks harga konsumen) 2022 kami perkirakan akan lebih tinggi dari batas atas sasaran 3 persen plus minus 1 persen. Prakiraan ini terutama disebabkan oleh masih tingginya harga pangan dan energi global, gangguan cuaca, serta kesenjangan pasokan antar waktu dan antar daerah," jelasnya saat Rakornas Pengendalian Inflasi 2022 bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kamis (18/8/2022).
"Inflasi pada 2022 juga berisiko untuk melebihi sasaran 3 persen plus minus 1 persen. Di samping masih tingginya harga pangan dan energi global, kenaikan permintaan juga kemungkinan akan mendorong tekanan inflasi dari sisi permintaan untuk ke depannya," bebernya.
Lebih lanjut, Perry pun melaporkan beberapa hal terkait perkembangan prospek inflasi serta kebijakan pengendalian inflasi yang ditempuh. Pertama, inflasi Juli 2022 yang mencapai 4,94 persen. Dia menilai masih lebih rendah dari negara lain, tapi melebihi dari batas atas sasaran 3 persen plus minus 1 persen.
"Terutama disebabkan oleh tingginya inflasi kelompok pangan bergejolak yang mencapai 11,47 persen, mustinya tidak lebih dari 5 persen atau maksimal 6 persen," ujar dia.
Â
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Kenaikan Harga Komoditas
Menurutnya, tekanan terutama bersumber dari kenaikan harga komoditas global akibat berlanjutnya ketegangan geopolitik di sejumlah negara yang menganggu mata rantai pasokan, dan juga mendorong sejumlah negara melakukan kebijakan proteksionisme pangan.
"Di dalam negeri, terjadi gangguan di sejumlah sentra produksi holtikultura, termasuk aneka cabai dan bawang merah akibat permasalahan struktural di sektor pertanian, cuaca, demikian juga ketersediaan antar waktu dan antar daerah," imbuhnya.
Kenaikan energi global juga telah mendorong kenaikan inflasi kelompok barang yang diatur pemerintah (administered price), termasuk tarif angkutan udara. Namun, Perry mengatakan, tekanan dapat ditahan sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan subsidi energi.
"Sementara tekanan inflasi dari sisi permintaan (inflasi inti) masih tetap rendah. Ini menunjukan sebenarnya daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih meskipun sudah meningkat. Sementara ekspektasi inflasi juga terjaga," pungkas dia.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com