Liputan6.com, Jakarta Wacana kenaikan harga BBM atau Bahan Bakar Minyak terus berkembang. Bukannya memberi kepastian, pemerintah justru hanya memberikan sinyal-sinyal kenaikan harga bensin bersubsidi.
Semisal menambah bantuan sosial bagi masyarakat miskin dan memberikan subsidi upah bagi pegawai dengan gaji maksimal Rp 3,5 juta.
Baca Juga
Peneliti Senior AEPI, Salamuddin Daeng menilai kenaikan harga BBM pasti berdampak pada peningkatan inflasi. Namun dia menilai seharusnya pemerintah bisa mengukur dengan dampak kenaikan yang ditimbulkan.
Advertisement
"Inflasi akibat BBM mesti jelas ukurannya," kata Daeng dalam daring bertajuk Subsidi Energi BBM untuk Siapa? Review Nota Keuangan 2023 dan Catatan Kritis, Jakarta, Rabu (31/8).
Daeng menilai seharusnya pemerintah bisa melakukan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi. Utamanya bagi kepentingan hajat orang banyak atau masyarakat umum, seperti angkutan logistik bahan pangan. Bila angkutan logistik mendapatkan BBM murah, maka harga pangan seharusnya tidak mengalami kenaikan.
Sebaliknya pemerintah harus memberi pengawasan yang ketat bagi angkutan sawit, pertambangan dan industri komersial lain. Seharusnya jenis-jenis kendaraan tersebut tidak dilarang menggunakan BBM bersubsidi.
"Angkutan sawit, pertambangan dan industri ini seharusnya diawasi dan bisa dihitung karena banyak yang menggunakan BBM subsidi dan datanya ini masih kasat mata," kata dia.
Subsidi BBM Jebol
Daeng menduga jebolnya subsidi BBM tidak lain karena ulah pelaku usaha yang masih menggunakan BBM bersubsidi. Paling tidak ada 5 juta kilo liter yang BBM subsidi yang rembes ke pengusaha nakal. Bahkan dia meyakini pemerintah pun tahu pengusaha mana yang menikmati manisnya subsidi energi.
"Jadi sebtulnya pemerintah ini tahu siapa yang pakai BBM subsidi," katanya.
Untuk itu, Daeng meminta pemerintah tegas melarang sektor industri atau komersial menggunakan BBM bersubsidi. Bila perlu BPH Migas sebagai pelaksana penugasan distribusi BBM diberikan kewenangan lebih agar bisa mengendalikan konsumsi bensin bersubsidi.
"Selama ini perusahaan sawit dan tambang yang pakai BBM bersubsidi ini tidak dibongkar masalahnya akan tetap sama dan ini harus didalami lebih lanjut dengan melibatkan aparat penegak hukum," pungkasnya.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
Meski Harga BBM Naik, Masyarakat Masih Ogah Beralih ke Angkutan Umum
Masyarakat Indonesia tengah ketar ketir terhadap rencana kenaikan harga BBM atau Bahan Bakar Minyak yang hampir dipastikan akan diumumkan pemerintah. Kenaikan harga BBM, dipastikan menambah biaya pengeluaran.
Pakar kebijakan transportasi, Djoko Setijowarno skeptis jika momentum harga BBM naik akan mengubah kebiasaan masyarakat beralih ke transportasi publik.
"Tergantung pemerintah, berpikirkah ke sana?" ujar Djoko kepada merdeka.com, Rabu (31/8).
Alih-alih kenaikan harga BBM dijadikan sebagai momentum reformasi untuk transportasi publik, Djoko menyampaikan bahwa DPR bahkan berencana mengurangi subsidi transportasi publik sebesar 60 persen.
Jika demikian, Djoko meyakini polemik transportasi tak akan kunjung tuntas.
Dia pun mengkritisi jumlah kendaraan sepeda motor semakin meningkat tajam. Sebab menurutnya, realita tersebut cerminan ketiadaan upaya pemerintah dalam perbaikan transportasi publik, sehingga masyarakat tidak melulu bergejolak akibat kenaikan harga BBM.
"Transportasi umum semakin berkurang, kendaraan pribadi terutama sepeda motor melesat populasinya, saatnya membenahi angkutan penumpang berbadan hukum dan angkutan barang," pungkasnya.
Respons Masyarakat
Sementara itu, Nur Rahmah (37) mengakali pengeluaran atas rencana kenaikan harga BBM dengan menukar mobil. Nur sebagai pemilik toko barang kebutuhan rumah tangga dan grosir, menukar mobil berbahan bakar BBM jenis pertamax menjadi mobil berbahan bakar solar.
Mobil merupakan alat transportasi penting sebagai penunjang keberlangsungan bisnisnya. Dalam sehari, Nur menyampaikan harus menyetir ke beberapa rumah pelanggan untuk mengantarkan barang pesanan.
Pengeluaran Nur saat menggunakan pertamax yaitu Rp700.000 untuk 1 minggu. Saat menggunakan solar, pengeluarannya dapat ditekan menjadi Rp500.000.
"Hampir tidak mungkin saya tidak menggunakan mobil," kata Nur.
Ibu dari enam anak ini enggan memanfaatkan jasa ekspedisi untuk mengirimkan barang dagangannya. Alasan utamanya untuk menyenangkan konsumen, menghindari kerusakan barang, dan tak ingin memperkecil keuntungan karena terpotong biaya ongkos kirim.
Advertisement