Liputan6.com, Jakarta Pemerintah tengah menggadang-gadang meluncurkan minyak makan merah. Ide ini muncul di tengah tingginya harga minyak goreng beberapa waktu lalu. Mungkin ada yang bertanya sebenarnya apa itu minyak makan merah?
Pembangunan pabrik minyak makan merah sebagai pilot project pemerintah ditargetkan dapat dimulai pada pertengahan Oktober 2022. Minyak makan merah memang tidak cukup populer di masyarakat.
Namun, menurut Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Goreng Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat M Sinaga, minyak merah merupakan cikal bakal minyak goreng yang saat ini ada di pasar.
Advertisement
"Minyak kelapa itu warnanya putih-kuning dan clear, cuma harganya mahal maka dicari alternatif, yaitu minyak goreng sawit," ujar Sahat kepada merdeka.com, Kamis (13/10).
Mengutip dari aocs.org, warna alami minyak dari kelapa sawit memang merah. Di dalamnya terkandung komponen bermanfaat seperti karoten dan antioksidan.
Pada sejumlah penelitian, minyak makan merah banyak menunjukkan harapan untuk dapat menanggulangi kekurangan vitamin A di beberapa bagian dunia.
Selain warna merahnya, karakteristik minyak merah yaitu bau yang menyengat. Tanpa pengolahan apapun, pemanfaatan minyak ini sangat terbatas untuk kegiatan di dapur.
"Minyak sawit merah dalam bentuk mentahnya memiliki rasa yang sangat kuat. Ini sangat menyengat dan memiliki bau seperti jamur yang terlalu matang. Ini sangat tidak enak,” kata Neil Blomquist, chief commercial officer untuk Natural Habitats (Rotterdam, Belanda), pemasok minyak sawit organik dari Ekuador dan Afrika Barat.
Selain itu, minyak tanpa proses panjang ini juga mengandung asam lemak bebas (free fatty acid, FFA), kelembaban, trace logam, dan kotoran lainnya yang membatasi umur simpannya.
Sehingga, pelaku industri minyak sawit melakukan proses pemurnian (refining) untuk menghilangkan bau, rasa yang kurang selera bagi masyarakat.
Sebelum atau sesudah refining, minyak sawit dapat difraksinasi menjadi olein sawit (fraksi cair; 70–80 persen minyak sawit) dan stearin sawit (fraksi padat; 20–30 persen).
Palm olein biasanya digunakan sebagai minyak goreng atau minyak goreng, sedangkan palm stearin dapat ditemukan dalam mentega dan pengganti mentega.
Agar Minyak Merah Tetap Berkualitas
Menurut Wim De Greyt, seorang Manajer R&D di Desmet Ballestra (Brussels, Belgia), sebuah perusahaan yang merancang dan membangun kilang minyak nabati, cara agar membuat minyak merah menjadi selera untuk dikonsumsi yaitu harus menghilangkan bau minyak sawit pada suhu rendah untuk menghindari kerusakan termal karoten.
Jika produsen menggunakan proses refining fisik klasik, maka produsen memerlukan langkah distilasi molekuler sehingga produsen dapat melepaskan asam lemak bebas pada vakum yang lebih dalam dan suhu yang lebih rendah.
Sebagai alternatif, menurut De Greyt, produsen dapat memulai dari minyak sawit mentah yang sangat baik dengan kandungan asam lemak bebas yang rendah, produsen dapat menerapkan pemurnian kimia.
"Anda menghilangkan asam lemak bebas dengan kaustik, dan kemudian anda juga melakukan langkah penghilangan bau pada suhu yang lebih rendah," jelasnya.
Pemurnian kimia, yang menghilangkan sebagian besar FFA melalui reaksi dengan natrium hidroksida, menggunakan deodorisasi suhu yang sedikit lebih rendah, 235 derajat celcius atau lebih rendah, daripada pemurnian fisik.
"Suhu deodorisasi dapat diturunkan lebih lanjut jika minyak mentah rendah FFA. Untuk mempertahankan karoten, Anda mungkin perlu menghilangkan bau pada suhu di bawah 220 C,” kata De Greyt.
Advertisement
Harga Lebih Murah?
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyebut harga jual minyak makan merah akan lebih murah dibanding minyak goreng curah atau kemasan sederhana. Minyak makan merah kemungkinan dijual Rp 9.000 per liter.
Namun hal ini dibantah oleh Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Goreng Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat M Sinaga. Ia mengatakan bahwa produksi harga minyak makan merah lebih mahal dibandingkan minyak goreng biasa. Hal ini dikarenakan nutrisi alami pada minyak makan merah tetap utuh.
Sahat bercerita, saat bekerja di sebuah perusahaan nasional, ia pernah memproduksi minyak makan merah di 1997. Namun, krisis moneter pada 1998 menyebabkan masyarakat tak ada lagi yang membeli minyak goreng bervitamin karena harga tinggi. Produksi pun berhenti.
Jika saat itu masih terdapat minyak merah di pasaran, minyak tersebut merupakan produksi asal Malaysia. "Saat itu kami menggunakan teknologi yang mahal, molecular distillation, untuk dapat menjaga vitamin alaminya tetap berada di dalam minyak sawit," ujar Sahat kepada merdeka.com, Kamis (13/10/2022).
Proses pengolahan kelapa sawit menjadi minyak makan merah berbeda dengan proses pengolahan kelapa sawit menjadi minyak goreng biasa yang saat ini dikonsumsi. Ini pula menjadi penyebab harga minyak makan merah lebih mahal.
Pada 1997, saat perusahaan tempat Sahat bekerja masih memproduksi minyak merah, tim juga melakukan penelitian pasar dan pola penggorengan yang dikerjakan oleh Institut Pertanian Bogor.
Hasil dari penelitian menunjukan, nutrisi alami yang ada di minyak, bila dipanaskan di atas 120 derajat celcius untuk menggoreng, hanya sedikit yang masuk ke dalam makanan atau gorengan.
"Kebanyakannya nutrisi alami itu menguap ke udara," ungkapnya.
Dia pun enggan mengomentari perihal target pemerintah bahwa harga minyak merah atau populer disebut minyak makan merah lebih murah dari harga minyak goreng biasa.
"Itu harga bisa lebih rendah, pastinya sih beda teknologi proses atau investasinya," ungkapnya.