Liputan6.com, Jakarta Ombudsman Republik Indonesia mengusulkan kepada pemerintah untuk menetapkan status kasus gagal ginjal akut progresif atipikal sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
Hal itu disampaikan Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng dalam Konferensi Pers dengan tema "Problem Layanan Kesehatan: Kasus Obat Sirup yang Mengancam Gagal Ginjal pada Anak", Selasa (25/10/2022).
"Kita harus memandang bahwa kasus gagal ginjal ini sebagai suatu masalah yang extraordinary, maka penanganannya harus luar biasa juga. Maka kami sangat mendorong untuk pemerintah menetapkan status penanganan kasus yang ada sebagai Kejadian Luar Biasa," Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng.
Advertisement
Menurut dia, pemerintah tidak perlu membaca aturan penetapan status KLB secara tekstual saja, tapi juga harus dilihat dan dipahami dari makna filosofis pembentukan kebijakan itu sendiri.
"(Pemerintah) harus membaca filosofi kebijakan itu sekaligus juga melihat situasi emergency yang terjadi. Jangan kemudian kita pada satu sisi korban terus berjatuhan pada sisi lain kita berdebat apakah ini kemudian sudah tepat dikenakan status sebagai suatu KLB," tegasnya.
Alasan Ombudsman meminta pemerintah segera menetapkan status KLB pada kasus gagal ginjal akut pada anak karena di lapangan sudah banyak korban yang berjatuhan.
"Tidak perlu kemudian kita berdebat apakah ini menular atau tidak, apakah ini endemi pandemi atau tidak, tapi situasi yang ada mengharuskan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang luar biasa," ujar Robert.
Diketahui berdasarkan data yang dimiliki oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan Kementerian Kesehatan per tanggal 21 Oktober 2022.
Dimana pada Januari ada 2 kasus, Februari nol, Maret 2 kasus, April nol, Mei 5 kasus, Juni 3 kasus, Juli 5 kasus, Agustus 36 kasus, September 78 kasus, dan Oktober 114 kasus. Terbaru, pada 24 Oktober tercatat sudah 245 kasus gagal ginjal akut pada anak yang tersebar di 26 Provinsi.
241 Kasus Gangguan Ginjal Akut, Menkes Budi: Belum Masuk KLB
Sebelimnya, tercatat jumlah kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal Progresif (GgGAPA) di Indonesia per 21 Oktober 2022 pukul 15.10 WIB sudah diangka 241, status Kejadian Luar Biasa (KLB) belum ditetapkan. Hal ini sudah didiskusikan dengan para ahli.
"Kami sudah diskusi, belum masuk status KLB," terang Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin saat memberikan keterangan pers 'Perkembangan Penanganan Gangguan Ginjal Akut di Indonesia' di Gedung Kementerian Kesehatan RI Jakarta pada Jumat, 21 Oktober 2022.
Secara rinci, data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga menyebut ada 133 kematian (55 persen) dari gangguan ginjal akut. Kasus gangguan ginjal akut yang didominasi balita tersebar di 22 provinsi.
"Sampai sekarang, kita sudah mengidentifikasi adanya 241 kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal Progresif atau AKI di 22 provinsi dengan 133 kematian atau 55 persen dari kasus. Terjadi peningkatan mulai bulan Agustus 2022," papar Budi Gunadi.
"Kematian normal memang selalu terjadi, hanya saja jumlahnya kecil 1 - 2 kasus. Enggak pernah tinggi dan kita boleh lihat ada lonjakan kasus di bulan Agustus, naik sekitar 36 kasus ya sehingga begitu ada kenaikan, kita mulai melakukan penelitian soal penyebabnya apa."
Melihat kenaikan kasus gangguan ginjal yang semakin naik, Kemenkes mulai melakukan penelitian untuk mencari penyebabnya.
"Di bulan September melihat data ini, Kemenkes melakukan penelitian ini penyebabnya apa. Yang akhirnya kami melihat bahwa kejadian ini banyak menyerang terutama balita di bawah 5 tahun," ucap Menkes.
Advertisement
Ombudsman Duga Ada Potensi Maladministrasi Kemenkes dan BPOM di Kasus Gagal Ginjal Akut
Ombudsman Republik Indonesia menduga terjadinya potensi maladminsitrasi data di Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terhadap kasus gagal ginjal akut pada anak yang disebabkan oleh obat sirup untuk anak.
Hal itu disampaikan Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng dalam Konferensi Pers dengan tema "Problem Layanan Kesehatan: Kasus Obat Sirup yang Mengancam Gagal Ginjal pada Anak", Selasa (25/10/2022).
“Kami meminta kepada pemerintah untuk benar menghadirkan data yang valid dan real per bulannya. Setiap bulannya berapa hingga kejadian hari ini, yang konon melihat data per 24 Oktober 2022 kemarin bahwa sudah terjadi kasus ini ke 245 anak-anak yang merupakan pasien dan di antaranya 141 meninggal dunia, khususnya bagi mereka yang berusia 5 tahun ke bawah,” kata Robert.
Dia menegaskan berapa pun angka, nyawa tetaplah sesuatu yang berarti. Hanya memang untuk Ombudsman sangat penting bagi pemerintah untuk mengakuratkan data yang ada. Tujuannya agar Ombudsman dan masyarakat memiliki gambaran yang komprehensif yang lengkap terkait dengan data, sehingga pemerintah terhindarkan dari dugaan potensi maladministrasi data yang terjadi.
Lebih lanjut, dari sisi stakeholder Ombudsman menyoroti secara khusus dua pihak, yaitu Kementerian Kesehatan dan BPOM. Kementerian Kesehatan sebagai mana terlihat dalam pembagian kerja memiliki kewenangan dalam hal penyusunan kebijakan, perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan, dan juga pencegahan dan pengendalian penyakit dan pelayanan kesehatan, serta kefarmasian hingga ke alat kesehatan.
Kemudian Kementerian Kesehatan punya fungsi pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang kesehatan. Menurut Robert, semestinya kasus seperti ini bisa dideteksi jauh-jauh hari.
“Disisi lain kami melihat BPOM juga memiliki kewenangan, sekaligus membawa tanggung jawab di sana terkait menerbitkan izin edar produk dan sertifikat sesuai dengan standar dan persyaratan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu, serta pengujian obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” ujarnya.
BPOM juga memiliki fungsi untuk melakukan intelijen dan penyidikan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terakhir, BPOM juga memiliki kewenangan pemberian sanksi adminsitratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditujukan bagi perusahaan yang terbukti melanggar ketentuan.
Maka kedua dua pihak inilah yang menjadi sorotan Ombudsman, nantinya akan menjadi objek penelitian, baik Kementerian Kesehatan dan BPOM sesuai dengan tugas dan fungsi pokok masing-masing institusi.
“Tetapi dari penggalian informasi dan data sejauh ini, kami paling tidak pada kesimpulan awal ini ada dugaan terjadinya potensi maladminsitrasi di kedua institusi ini,” katanya.
Kelalaian di Kemenkes
Pertama, di Kementerian Kesehatan, Ombudsman melihat potensi maladminsitrasinya ini terlihat pada tidak dimilikinya data pokok terkait sebaran penyakit atau epidemologi yang kemudian berakibat pada kelalaian dalam pencegahan atau mitigasi kasus gagal ginjal akut pada anak.
“Jadi, Kementerian kesehatan sesungguhnya hingga pada Agustus kemarin masih belum mengerti dengan masalah yang ada, masih belum punya data dan baru kemudian sadar ini ada kejadian yang darurat, ketika kemudian IDAI menyuplai data yang ada barulah di tracking ke belakang sejak kapan kasus ini mulai terjadi, dna munculnya jumlah-jumlah yang belum tentu akurat,” ujarnya.
Kedua, Ombudsman menilai atas ketiadaan data tersebut, Kemenkes RI tidak dapat melakukan sosialisasi berupa pemberian informasi kepada publik terkait penyebab dan antisipasi gagal ginjal akut pada anak.
Maka, dapat diartikan sebagai ketiadaan keterbukaan dan akuntabilitas informasi yang valid dan terpercaya terkait kasus gagal ginjal akut pada anak.
Ketiga, ketiadaan standarisasi pencegahan dan penanganan kasus gagal ginjal akut pada anak oleh seluruh pusat pelayanan kesehatan, baik di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan Fasilitas Tingkat Lanjut (FKTL), sehingga menyebabkan belum terpenuhi standar publik (SPP) termasuk pelayanna pemeriksaan laboratorium.
Advertisement
Kelalaian di BPOM
Ombudsman RI menyoroti adanya kelalaian dari BPOM dalam pengawasan premarket, yaitu proses sebelum obat didistribusikan dan diedarkan, serta post market control yaitu pengawasan setelah produk beredar.
Robert pun merinci bentuk maladministrasi yang dilakukan oleh BPOM. Untuk sisi premarket, yaitu pertama, ombudsman menilai bahwa BPOM tidak maksimal melakukan pengawasan terhadap produk yang diuji oleh perusahaan farmasi (uji mandiri).
“Mekanisme uji mandiri seolah-olah diberikan kewenangan negara untuk melakukan pengujian tanpa kontrol yang kuat dari BPOM. Yang kami temukan mekanismenya itu justru adalah uji mandiri dilakukan perusahaan farmasi, kemudian mereka melaporkan ke BPOM. BPOM terkesan pasif,” ujarnya.
Kedua, Ombudsman menilai terdapat kesenjangan antara standarisasi yang diatur oleh BPOM RI dengan implementasi di lapangan. Ketiga, Ombudsman menilai BPOM RI wajib memaksimalkan tahapan verifikasi dan validasi sebelum penerbitan izin edar.
Untuk sisi post market, kelalaian yang dilakukan BPOM yaitu, Ombudsman menilai dalam tahapan ini perlu adanya pengawasan BPOM RI sesudah pemberian izin edar. Lalu, BPOM RI perlu melakukan evaluasi secara berkala terhadap produk yang beredar. Hal ini bertujuan untuk memastikan konsistensi mutu kandungan produk yang beredar.