Apa Harus Dilakukan Agar Reputasi Sawit Indonesia Tak Negatif?

Industri sawit Indonesia diharapkan bisa memenuhi standar agar lebih resilient dan bisa menjadi pelaku utama di dunia.

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Nov 2022, 15:30 WIB
Diterbitkan 03 Nov 2022, 15:30 WIB
Potret Pekerja Perkebunan Kelapa Sawit di Aceh
Seorang pekerja sedang menebang pohon di perkebunan kelapa sawit di Sampoiniet, provinsi Aceh (7/3/2021). Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang memiliki produksi terbesar di Kabupaten Aceh. (AFP Photo/Chaideer Mahyuddin)

Liputan6.com, Denpasar - Banyak tuduhan negatif dialamatkan kepada kelapa sawit, terutama terkait kerusakan lingkungan dan deforestasi.  

“Mengapa hanya sawit yang dituduh merusak? Apakah lahan tanaman minyak nabati lain asalnya bukan dari hutan? Semua tanah di Bumi ini asalnya dari hutan,” kata Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Musdhalifah Machmud dalam konferensi pers Sustainable Vegetable Oil Conference di Nusa Dua, Bali, Kamis (3/11/2022).

Dari sisi lahan, Musdhalifah menambahkan, sawit paling efektif. Dengan luas lahan sekitar 16 juta hektare, kontribusi sawit Indonesia terhadap produksi minyak nabati dunia adalah 40 persen. Sementara, sekitar 58 persen dari total sawit dunia dihasilkan Indonesia.

Untuk mendapatkan jalan keluar dari problematika sawit Indonesia yang tak kunjung mendapatkan kesan baik dari sejumlah negara, pemerintah melalui Kementerian Perekonomian menyelenggarakan Vegetable Oil Conference dengan mengundang para produsen minyak nabati non-sawit, termasuk kedelai, rapeseed, dan biji bunga matahari.

“Apa kelebihan mereka? Kenapa mereka tidak ada isu negatifnya. Kita juga fair, kalau ada kekurangan akan kita perbaiki,” kata Musdhalifah.  

Penyelenggaraan konferensi juga dimaksudkan untuk menyatukan kekuatan negara-negara produsen dan eksportir minyak nabati di tengah tantangan global di sektor energi yang tengah terjadi. Produksi dan distribusi minyak nabati belakangan menghadapi dua disrupsi besar, pandemi COVID-19 dan konflik Rusia-Ukraina.  

Dukungan tersebut diperlukan untuk meminimalisasi potensi lonjakan harga dan krisis pangan berkepanjangan. 

Tak hanya soal lingkungan, industri sawit juga mendapat sorotan soal pekerja anak di bawah umur. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, untuk memasuki pasar yang menerapkan restriksi seperti Uni Eropa, perlu ada upaya agar kita memenuhi standar negara-negara yang menjadi target pasar.

 “Kita ambil sisi positifnya, biar lebih rapi. Kalau kita mau menjadi pelaku utama sawit dunia, kita harus menyiapkan semuanya,” kata dia dalam konferensi pers Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2022 di Nusa Dua, Bali, 3 November 2022.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), dia menambahkan, diharapkan bisa menyosialisasikan mengenai operasional bisnisnya dengan baik. Misalnya terkait tuduhan pekerja anak di bawah umur.

 “Yang jadi masalah di plasma, kalau inti mungkin bisa dilakukan (pengaturan). Sepanjang plasma tak berkaitan dengan industri inti kita, bisa diidentifikasi. Jangan sampai produknya masuk ke supplay chain yang ditujukan untuk ekspor,” kata Hariyadi.

 Di sisi lain kita harus realistis. Petani bisa jadi menggarap perkebunan dengan bantuan keluarganya. Itu terkait juga dengan budaya. “Hasil dari plasma, misalnya, bisa jadi untuk pasar dalam negeri. Kalau customer-nya tidak mau, kita enggak bisa memaksa.”

 

Indonesia Sudah Memperbaiki

ISPO kembali menyerahkan sertifikat kepada 40 perusahaan kelapa sawit di Indonesia 5 diantaranya dikantongi anak perusahaan Astra Agro. (Foto: Astra Agro)
ISPO kembali menyerahkan sertifikat kepada 40 perusahaan kelapa sawit di Indonesia 5 diantaranya dikantongi anak perusahaan Astra Agro. (Foto: Astra Agro)

Hal senada disampaikan Duta Besar Indonesia untuk Belgia, Luxembourg, dan Uni Eropa, Andri Hadi. “Permintaan pasar ke depannya, tak hanya market, tapi juga memperhatikan generasi masa depan,” kata dia.

Dubes Andry menambahkan, Indonesia telah melakukan perbaikan dalam hal deforestasi.  Pemerintah sebelumnya mengklaim, Indonesia berhasil menurunkan angka deforestasi dan kebakaran hutan sebesar 82 persen pada 2020. “Kita masih punya beberapa masalah, tapi sudah berada di jalur yang benar,” tambah dia.

Khor Yu Leng, Regional Economist, Segi Enam Advisors berpendapat, tak hanya kelapa sawit yang mendapat tuntutan harus memenuhi standar yang ketat. Produk lain, misalnya kayu dan produk turunannya. “Negara yang memenuhi standar akan lebih resilient,” kata dia.

 

 

Menko Airlangga Menjawab Tuduhan soal Sawit

Ilustrasi truk angkut sawit (Dok: PT Austindo Nusantara Jaya Tbk)
Ilustrasi truk angkut sawit (Dok: PT Austindo Nusantara Jaya Tbk)

Saat menyampaikan keynote address di acara Sustainable Vegetable Oil Conference di Nusa Dua, Bali, Kamis 3 November 2022, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, sawit adalah jawaban untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati global. Tak hanya murah, jumlahnya pun melimpah. Di sisi lain, kedelai, rapeseed, dan biji bunga matahari stoknya terbatas.

“Meski kita tahu minyak sawit adalah minyak nabati paling efisien dan bisa jadi jawaban dari krisis, sayangkan ada beberapa negara yang menyebutnya paling tidak berkelanjutan,” kata Airlangga. Tuduhan tersebut, dia menambahkan, dilancarkan untuk mendiskriminasi minyak kelapa sawit dari pasar, khususnya Eropa.

Menko Airlangga mengatakan, minyak kelapa sawit justru sangat efisien dalam hal penggunaan lahan. Satu hektar lahan bisa menghasilkan 3 ton minyak per tahun. Minyak sawit, kata dia, juga mendukung Sustainable Development Goals (SDGs) dan memenuhi stadar keberlanjutan.

“Dan yang keempat, sawit adalah industri berpusat pada pada rakyat (people centered)," kata dia.

infografis journal
infografis 10 Daerah Penghasil Kelapa Sawit Terbesar di Indonesia pada 2021. (Liputan6.com/Tri Yasni).
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya