Liputan6.com, Jakarta - Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) mencermati, infrastruktur jadi sektor paling rawan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU), seperti baru-baru ini menjerat PT Waskita Karya (Persero) Tbk.
"Sektor mana yang paling berisiko, yang pertama adalah infrastruktur," ujar Plt Deputi Analisis dan Pemeriksaan PPATK Danang Tri Hartono dalam puncak acara Hakordia 2022, Selasa (20/12/2022).
Baca Juga
Danang mengungkapkan, Waskita tampaknya sudah terlampau erat dengan lingkaran korupsi. Pasalnya, setelah terciduk kasus penyelewengan dana Rp 2,5 triliun pada Juli 2022, temuan korupsi kembali terjadi di tubuh perseroan.
Advertisement
"Kalau kita cermati bagaimana sebuah perusahan Tbk, Waskita misalkan, dulu kasus proyek itu sudah kena di KPK. Sekarang kasus lagi di Kejaksaan, dengan tindak pidana sama, korupsi di satu perusahaan," sebutnya.
"Dan ini Tbk, bagaimana kita pertanyakan akuntan publiknya dalam mengaudit perusahan tersebut, sehingga ini terjadi lagi. Dan, magnitude-nya ini kalau kita cermati bertambah besar," imbuh Danang.
Tak hanya infrastruktur, sektor berikutnya yang paling rawan korupsi yakni di bidang lingkungan hidup dan kehutanan (LHK). Seolah tak mau kalah, uang yang berputar di sektor ini pun luar biasa besar.
"Lalu kedua terkait kehutanan dan lingkungan hidup. Ini juga jadi perhatian PPATK, juga dari segi KLHK. Kita temukan beberapa kasus ini nilainya sangat masif, nilainya triliunan rupiah. Lingkungan hidup ini pasti terkait dengan korupsi," tuturnya.
Pasalnya, ia menambahkan, proses pengiriman barang hasil sektor lingkungan hidup dan kehutanan melibatkan banyak pemain. Bukan hanya pelaku usahanya, tapi juga pihak aparat berwenang.
"Kehutanan, barang tambang, melintas dari area tambang, area penerbangan sampai di pelabuhan untuk diekspor, itu melalui beberapa chanel yang tidak mungkin tidak ketahuan oleh aparat," ungkapnya.
"Jadi kalau ini terjadi, pasti ada aparat yang terlibat di situ," tegas Danang.
KPK: Orang Terjaring OTT Hanya Apes, Lainnya Rapi Sembunyikan Kejahatan
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menyebut operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan tim penindakan lembaga antirasuah bukan kejadian luar biasa.
Menurut Alex, mereka yang kedapatan tengah melakukan tindak pidana korupsi dalam OTT KPK hanyalah mereka yang sedang sial.
"Saya kok masih merasa, orang yang kemudian tertangkap tangan atau berperkara terkena perkara korupsi itu apes. Bukan kejadian yang luar biasa," ujar Alex dalam keterangannya, Rabu (14/12/2022).
Alex menyebut banyak pihak yang melakukan tindak pidana korupsi dan tak tertangkap tangan oleh KPK lantaran menjalankan perbuatannya dengan rapi. Alex menilai korupsi masih merajalela di Indonesia.
"Sebetulnya yang lain kelakuannya sama, hanya mereka lebih rapi dalam menyembunyikan, dalam melakukan tindakan dan menyembunyikan kekayaannya, lebih rapi," kata Alex.
Alex menyebut risiko koruptor tertangkap tangan itu sangat rendah. Menurut Alex, hal tersebut yang menyebabkan para penyelenggara negara atau pejabat masih melalukan praktik-praktik korupsi.
"Saya melihat risiko, diketahui atau risiko tertangkap koruptor itu rendah. Ini yang menyebabkan para penyelenggara negara, pejabat itu masih juga merasa nyaman untuk melakukan tindakan koruptif seperti itu," ungkap Alex.
Lebih lanjut Alex menilai, upaya pemberantasan tindak pidana korupsi belum menghasilkan dampak yang signifikan. Hal itu terlihat dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang stagnan dalam lima tahun terakhir.
"Belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Indeks persepsi Indonesia, selama 5 tahun terakhir berkutat di angka 37 atau 38, pernah di angka 40, turun lagi 38," kata Alex.
"Kalo kita jadikan tolok ukur pemberantasan korupsi. Artinya apa? Memang belum menunjukan hasil yang cukup menggembirakan," Alex menambahkan.
Advertisement
Pemahaman Masyarakat soal Korupsi Tidak Sejalan dengan Perilaku
Sebelumnya, Alexander Mmenyebut masyarakat Indonesia sudah paham arti tindak pidana korupsi. Namun menurut Alex, pemahaman mereka tak sejalan dengan perilaku.
"Masyarakat kita memang semakin paham soal korupsi. Tapi ketika kita ukur perilaku mereka itu enggak sejalan dengan pemahaman," ujar Alex dalam keterangannya, Rabu (14/12/2022).
Alex menyebut, masyarakat memahami bahwa memberi uang kepada pejabat atau penyelenggara negara dengan maksud tertertu masuk dalam tindak pidana suap dan gratifikasi.
Menurut Alex, meski mereka tahu tindak pidana suap dan gratifikasi membuat mereka di penjara, namun mereka tetap melakukannya lantaran suap menyuap sudah menjadi hal yang lumrah dilakukan di Indonesia.
"Jadi orang masih memberikan sesuatu ke penyelenggara negara, itu masih dianggap sesuatu yang lumrah. Orang ketika mengurus perizinan, dia memberikan sesuatu. Itu juga bukan suatu hal yang buat mereka menjadi merasa bersalah, wajar saja. Bisnis seperti itu, enggak ada perizinan yang gratis," kata Alex.