Tak Hanya Mobil Listrik, Kendaraan BBG Juga Harus Dapat Insentif

Rencana pemberian insentif untuk pembelian kendaraan ramah lingkungan diharapkan membawa manfaat (benefit) yang besar bagi negara.

oleh Liputan6.com diperbarui 22 Des 2022, 20:39 WIB
Diterbitkan 22 Des 2022, 20:21 WIB
PGN menginisiasi program gas bumi untuk transportasi darat dan kapal nelayan tradisional, akan menggunakan CNG. Kendaraan tersebutn akan dikonversi bahan bakar dari menggunakan BBM menjadi Bahan Bakar Gas (BBG). (Dok PGN)
PGN menginisiasi program gas bumi untuk transportasi darat dan kapal nelayan tradisional, akan menggunakan CNG. Kendaraan tersebutn akan dikonversi bahan bakar dari menggunakan BBM menjadi Bahan Bakar Gas (BBG). (Dok PGN)

Liputan6.com, Jakarta Rencana pemberian insentif untuk pembelian kendaraan ramah lingkungan diharapkan membawa manfaat (benefit) yang besar bagi negara.

Selain kendaraan listrik, kendaraan dengan Bahan Bakar Gas (BBG) juga disarankan untuk mendapat insentif, karena memiliki tujuan yang sama dan mendorong optimalisasi target bauran energi nasional.

Pengamat Energi Iwa Garniwa, mengatakan penggunaan energi terbarukan telah menjadi tuntutan global, termasuk di Indonesia. Maka wajar jika diperlukan insentif untuk merealisasikannya.

Meski begitu, Indonesia perlu untuk memiliki program sendiri yang lebih tepat sasaran dan terukur. Menyesuaikan dengan potensi yang ada di dalam negeri serta mempertimbangkan kemampuan dan daya beli masyarakat. ”Tujuannya adalah ketahanan energi nasional yang didukung dengan kemandirian dan kedaulatan,” katanya, Kamis (22/12/2022).

Iwa yang merupakan profesor serta Guru Besar Fakultas Teknik Elektro Universitas Indonesia (UI) ini menjelaskan, menuju penggunaan kendaraan full listrik butuh tahapan.

Terlebih ada sekitar 24 juta kendaraan roda empat serta sekitar 120 juta sepeda motor berbahan bakar minyak (BBM) yang perlu diperhatikan. ”Ketika kita langsung ke kendaraan listrik, itu semua mau diapakan? Jadi perlu transisi,” terangnya.

 

Kaya Akan Sumber Energi

Antrean Panjang Akibat Minimnya SPBG
Bajaj, taksi, dan bus Transjakarta antre mengisi BBG di SPBG Pemuda, Jakarta, Kamis (15/11). Minimnya keberadaan SPBG menyebabkan antrean panjang kendaraan yang akan mengisi BBG hingga ke pinggir jalan menimbulkan kemacetan. (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Pada saat yang sama, lanjut Iwa, Indonesia memiliki berbagai sumber energi ramah lingkungan yang bisa dioptimalkan pada fase transisi dimaksud. Terutama BBG yang programnya sudah sempat dijalankan namun belum masif.

Seperti program pemasangan konverter kit gratis. Selain pada kendaraan umum dan dinas, program sejenis juga telah dilakukan kepada ribuan nelayan di berbagai daerah.

”Saya berpikir ada program yang bagus. Dari BBM ke BBG. Saya beberapa kali naik taksi di Korea Selatan saja ternyata pakai gas. Jadi penting untuk tidak semata-mata fokus ke satu program saja,” ungkap Iwa.

Iwa menambahkan, yang terpenting adalah tahapan dalam rangka mengurangi emisi. BBG tetap dalam konteks tersebut. ”Padahal (konversi BBM ke BBG) itu sudah bagus. Ini juga penting karena Indonesia perlu tetap berhati-hati mengejar target zero emisi. Kalau BBG dioptimalkan, benefitnya jelas ada bagi negara,” ujarnya.

Dengan begitu, Indonesia tidak semata-mata melakukan konversi kendaraan dari BBM ke listrik yang dianggap ramah lingkungan. Akan tetapi juga mendapatkan manfaat dari optimalisasi sumber daya gas. ”Ketersediaan BBG jelas ada. Kan kita juga eksportir BBG,” imbuhnya.

 

Dukungan Pengusaha

Pemerintah Genjot Penggunaan BBG
Pengendara Bajaj mengantre untuk mengisi BBG di salah satu Stasiun Pengisian Gas, Jakarta, Rabu (25/2/2015). Pemerintah akan menggenjot penggunaan BBG dalam rangka konversi dari bahan bakar minyak pada moda transportasi. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Ketua Asosiasi Perusahaan Liquid & Compress Natural Gas Indonesia (APLCNGI) Dian Kuncoro mengatakan, rencana pemerintah memberikan insentif atas pembelian kendaraan listrik semestinya juga diikuti dengan insentif kepada kendaraan berbasis BBG.

Selain infrastruktur kendaraan BBG sudah banyak tersedia, gas bumi merupakan salah satu sumber energi dengan cadangan paling besar di Indonesia.

"Penggunaan BBG juga punya tujuan untuk mendorong peralihan pada penggunaan energi bersih dan mengurangi ketergantungan pada BBM. Biaya konversi ke BBG juga lebih terjangkau antara 15 - 30 juta dan perawatannya juga jauh lebih mudah,” kata Dian

Untuk mendukung langkah transformasi ke BBG tersebut, pemerintah telah merealisasikan pembangunan berbagai infrastruktur pseperti Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) dan Mobile Regasifications Unit (MRU) di berbagai lokasi, khususnya di Jabodetabek.

"Sayangnya kebijakan itu tidak berjalan optimal karena pemerintah kurang total dan tuntas dalam mendorong peralihan ke BBG. Padahal banyak sekali angkutan umum yang sukses dan mampu mengefisiensikan biaya operasional dengan menggunakan BBG," imbuhnya.

Iwa menambahkan, Indonesia masih butuh optimalisasi energi eksisting. Bauran energi belum dilakukan secara optimal. Menurutnya optimalisasi kendaraan listrik bisa dimulai dari daerah-daerah tertentu terutama yang kesulitan mendapatkan pasokan gas. Dengan begitu, pemerintah bisa sambil mengejar target bauran energi nasional. ”Saya setuju sekali dengan kendaraan listrik ini. Tapi saya khawatir dengan biayanya,” kata Iwa.

Termasuk juga tentang rencana pemberian insentif sebesar Rp80 juta untuk pembelian mobil listrik dan Rp8 juta untuk pembelian sepeda motor listrik yang menurutnya perlu dikaji lebih mendalam. ”Terutama dari sisi besarannya. Dasar hitungannya dari mana? Ini jadi kajian yang bagus juga sebenarnya.”

Sebab prinsipnya, lanjut Iwa, ketika memberikan insentif harus ada benefitnya selain tentu saja benefit berupa mengejar prinsip ramah lingkungan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya