Bank Sentral Negara Maju Diramal Lunakkan Suku Bunga di Kuartal I 2023

Moody's Analytics memperkirakan bank -bank sentral dunia akan mulai melunakkan suku bunga pada paruh pertama 2023.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 23 Des 2022, 19:00 WIB
Diterbitkan 23 Des 2022, 19:00 WIB
Ilustrasi Bank Sentral
Ilustrasi Bank Sentral. Photo copyright by Freepik

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom di Moody's Analytics memperkirakan bank -bank sentral di seluruh dunia kemungkinan akan mulai mengecilkan kenaikan suku bunga pada paruh pertama 2023.

Seperti diketahui, bank-bank sentral di berbagai negara maju, terutama The Fed, telah mendongkrak suku bunga dalam upaya mereka menahan lonjakan inflasi, yang telah menyebabkan biaya hidup terus naik.

"Kita mungkin akan melihat bank sentral melanjutkan kenaikan yang lebih kecil, mungkin 25 basis poin, satu atau dua kenaikan saat kita memasuki kuartal pertama tahun depan, sebagian untuk mengimbangi Federal Reserve, sehingga selisih suku bunga tidak melebar terlalu jauh antara bagian dunia ini dan Amerika Serikat,"  kata kepala ekonom Asia-Pasifik Moody's Analytics, Steve Cochrane, dikutip dari Channel News Asia, Jumat (23/12/2022). 

"Itu juga akan membantu mengurangi tekanan pada mata uang lokal, mengingat kekuatan dolar AS telah begitu mengganggu mata uang di berbagai negara di dunia ini," ujarnya. 

Meskipun masih tinggi, Cochrane melihat, inflasi di kawasan Asia sudah mulai menunjukkan penurunan.

"Jika Anda melihat inflasi garis atas, tampaknya memang memuncak di sebagian besar kawasan Asia-Pasifik sekitar dua bulan lalu. Kami melihat inflasi turun sedikit, itu pertanda baik," bebernya.

Namun Cochrane juga mengakui harga pangan di kawasan itu masih tinggi.

"Dan ini menjadi perhatian bank sentral di seluruh kawasan, terutama di pasar negara berkembang Asia, karena makanan merupakan komponen besar dari keranjang konsumsi," pungkasnya. 

Dia pun yakni bank-bank sentral di Asia Pasifik akan sangat fokus pada masalah inflasi tersebut. 

"Kami pasti akan melihat, menurut saya, beberapa pengetatan suku bunga yang berkelanjutan selama beberapa bulan mendatang, untuk memastikan bahwa inflasi terkendali di sini dan semoga juga di kawasan lain di dunia," imbuhnya. 

Menanti Pelunakan Suku Bunga The Fed

Wall Street
Pedagang bekerja di New York Stock Exchange saat Ketua Federal Reserve Jerome Powell berbicara setelah mengumumkan kenaikan suku bunga di New York, Amerika Serikat, 2 November 2022. (AP Photo/Seth Wenig)

Adapun Kepala ekonom global Citi, Nathan Sheets yang melihat konsumen global sudah cukup tangguh.

"Secara umum, konsumen global terus membelanjakan cukup banyak, dan menurut saya sebagian karena (karena) mereka mengumpulkan penghematan yang signifikan selama pandemi. Dan tabungan itu ditarik dan itu mendukung pengeluaran," Sheets menjelaskan.

Di sisi lain, tingkat suku bunga yang tinggi menyebabkan dolar AS menguat terhadap sebagian besar mata uang Asia.

Dolar telah memperoleh keuntungan yang kuat terhadap yen Jepang, yang telah terbebani oleh kebijakan Bank of Japan untuk mengendalikan imbal hasil jangka panjang.

The Fed kemungkinan akan melanjutkan rencana untuk memperlambat kenaikan suku bunga tahun depan.

Pada 14 Desember 2022 , suku bunga The Fed dinaikkan sebesar 50 basis poin, membawa suku bunga antara 4,25 dan 4,5 persen – tertinggi dalam 15 tahun.

"Dalam arti tertentu, kita mungkin melihat inflasi puncak," sebut Sheets.

"Mereka merasa perlu bergerak terlebih dahulu untuk mengatasi tekanan inflasi, dan melakukan semua yang mereka bisa untuk membuat inflasi yang kita lihat di berbagai ekonomi di seluruh dunia kembali mendekati target mereka," paparnya.

BI Naikkan Suku Bunga Acuan, Rupiah Ditutup Perkasa di 15.583 per Dolar AS

Ilustrasi Pantau Rupiah (2)
Ilustrasi Pantau Rupiah (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ditutup menguat pada Kamis sore seiring Bank Indonesia yang memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuannya.

Kurs rupiah ditutup menguat 5 poin atau 0,03 persen ke posisi 15.583 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 15.588 per dolar AS.

Analis Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX) Revandra Aritama mengatakan, BI mulai memperlambat laju kenaikan suku bunga acuan setelah pekan lalu bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve sebelumnya juga memperlambat kenaikan Fed Fund Rate (FFR).

"Dari kebijakan ini terlihat BI mengurangi agresivitas. Hal ini cukup masuk akal mengingat parameter ekonomi seperti nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik, sehingga belum diperlukan pengetatan kebijakan moneter secara masif yang dapat membebani pertumbuhan ekonomi," ujar Revandra, dikutip dari Antara, Kamis (22/12/2022).

Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) pada 21-22 Desember 2022 memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan BI alias BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,5 persen.

Suku bunga deposit facility juga dinaikkan sebesar 25 bps menjadi 4,75 persen dan suku bunga lending facility sebesar 25 bps menjadi 6,25 persen.

Menurut BI, keputusan kenaikan suku bunga yang lebih terukur tersebut sebagai langkah lanjutan untuk secara front loaded, pre-emptive, dan forward looking memastikan terus berlanjutnya penurunan ekspektasi inflasi dan inflasi sehingga inflasi inti tetap terjaga dalam kisaran 2-4 persen.

BI Janji Tak Agresif Naikkan Suku Bunga Acuan seperti AS

BI Kembali Pertahankan Suku Bunga Acuan di 5 Persen
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (tengah) menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur (RGD) Bank Indonesia di Jakarta, Kamis (19/12/2019). RDG tersebut, BI memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga acuan 7 Days Reverse Repo Rate (7DRRR) sebesar 5 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Bank Indonesia (BI) berjanji tidak akan lagi menaikkan suku bunga acuan secara berlebihan. Lantaran, BI memprediksi tingkat inflasi akan menurun diangka 3 persen pada 2023.

Hal itu disampaikan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam seminar outlook perekonomian Indonesia 2023 dengan tema resiliensi ekonomi melalui transformasi struktural, di Jakarta, Rabu (21/12/2022).

"Kami tidak perlu menaikkan suku bunga berlebihan, agresif seperti Amerika Serikat atau negara lain. Kami secara terukur, pastikan inflasi inti kembali di bawah 4 persen pada semester I/2023. As early as possible," tegas Perry, dikutip Jumat (23/12).

Perry menyebut kenaikan inflasi tentu tidak akan terus-menerus terjadi, sebab Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam menanggulangi inflasi.

Disisi lain, The Fed pun dinilai tidak akan terus menerus melakukan pengetatan kebijakan moneternya.  Oleh karena itu, Perry yakin hal itu akan berimbas terhadap Indonesia dan inflasi di dalam negeri turut mereda.

Bos BI memprediksi inflasi inti diyakinii akan mengalami penurunan yang cukup signifikan, yaitu di bawah 3 persen pada semester I tahun 2023. Begitupun inflasi secara keseluruhan diprediksi secara tahunan dapat berada diangka  3 persen.

"Akhir tahun depan inflasi kami perkirakan adalah di sekitar 3 persen, Indeks Harga Konsumen ya. Kalau inflasi inti sudah di bawah 3 persen pada semester I tahun 2023, tetapi kalau IHK karena dampak based, akhir tahun depan sekitar 3 persen," ujarnya.

Sementara itu, adanya peranan fiskal.dengab pemberian subsidi  mendorong tekanan inflasi bisa cukup terjaga. Sehingga mampu mengimbangi ketika suku bunga di Amerika Serikat masih berada di level tertinggi. 

Infografis Harapan & Langkah Nyata G20 Jadi Katalis Pemulihan Ekonomi
Infografis Harapan & Langkah Nyata G20 Jadi Katalis Pemulihan Ekonomi (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya