Liputan6.com, Jakarta - Mantan Ketua Bank Sentral AS atau Federal Reserve (The Fed) Alan Greenspan mengungkapkan bahwa dirinya melihat resesi Amerika akan menjadi hasil yang paling memungkinkan dari kenaikan suku bunga agresif untuk mengekang inflasi.
Meski data inflasi AS dalam dua bulan terakhir sudah menunjukkan perlambatan, Greenspan menyebut, kabar baik itu belum cukup untuk meyakini resesi akan terhindari.
Baca Juga
"Saya tidak berpikir itu akan menjamin pembalikan Fed yang cukup substansial untuk menghindari setidaknya resesi ringan," kata Greenspan, dikutip dari CNN Business, Kamis (5/1/2023).
Advertisement
Greenspan, yang sekarang menjadi penasihat ekonomi senior untuk Advisors Capital Management, meragukan The Fed akan segera melonggarkan suku bunga karena "inflasi bisa naik lagi dan kita akan kembali ke titik awal".
"Selain itu, ini berpotensi merusak kredibilitas Federal Reserve sebagai penyedia harga yang stabil, terutama jika tindakan tersebut terlihat hanya diambil untuk melindungi pasar saham daripada sebagai tanggapan terhadap kondisi keuangan yang benar-benar tidak stabil," ujarnya, dalam komentar yang dirilis di situs web perusahaan pada Selasa (3/1/2022).
Seperti diketahui, The Fed telah menaikkan suku bunga sebanyak tujuh kali pada 2022 lalu hingga di kisaran 4,25 persen -4,5 persen, tertinggi sejak 2007.
Proyeksi yang dirilis selama pertemuan kebijakan moneter pada Desember 2022 juga menunjukkan pejabat The Fed masih berharap untuk menaikkan suku bunga dengan poin persentase lainnya.
Tetapi Greenspan masih melihat beberapa kabar baik bagi investor. Dia memprediksi, pasar tidak akan serumit tahun lalu di 2023 ini.
"Saya percaya 2022 menjadi tahun yang sulit untuk mencapai puncak sehubungan dengan volatilitas pasar," katanya.
Sebagai informasi, Greenspan menjabat sebagai ketua Fed lima periode di bawah kepepimpinan empat presiden AS yang berbeda antara tahun 1987 dan 2006.
Dalam 12 bulan setelah Februari 1994, The Fed berhasil mencapai soft landing ketika Greenspan menaikkan suku bunga hampir dua kali lipat menjadi 6 persen dan menjaga ekonomi AS terhindar dari resesi.
IMF Ramal Sepertiga Ekonomi Dunia Bakal Resesi di 2023
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), Kristalina Georgieva memperingatkan bahwa sepertiga dari ekonomi global akan mengalami resesi tahun ini.
"Kami memperkirakan sepertiga perekonomian dunia akan mengalami resesi," kata Georgieva, dikutip dari BBC, Selasa (3/1/2023).
"Bahkan negara yang tidak dalam resesi, akan terasa seperti resesi bagi ratusan juta orang," ujarnya dalam program berita CBS Face the Nation.
Georgieva sebelumnya juga sudah mengatakan bahwa 2023 akan menjadi tahun yang "lebih sulit" daripada tahun lalu karena Amerika Serikat, Eropa, dan China melihat perlambatan ekonomi.
Perlambatan ini didorong sejumlah isu global yang membebani ekonomi global, salah satunya adalah perang Rusia-Ukraina, lonjakan inflasi, suku bunga yang tinggi, dan penyebaran Covid-19 di China.
Georgieva pun memperingatkan bahwa China, yang merupakan negara ekonomi terbesar kedua di dunia, akan menghadapi awal tahun 2023 yang sulit.
"Untuk beberapa bulan ke depan, akan sulit bagi China, dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi akan negatif, dampaknya terhadap kawasan akan negatif, pertumbuhan global juga bisa negatif," sebutnya.
Tak hanya negara Barat, Komentar Georgieva juga tidak terkecuali bagi negara Asia yang mengalami tahun yang sulit di 2022.
IMF pada Oktober 2022 telah memangkas prospek pertumbuhan ekonomi global untuk tahun 2023 ini. Penurunan proyeksi IMF didorong oleh perang di Ukraina yang berkepanjangan serta suku bunga yang tinggi di berbagai bank sentral di seluruh dunia untuk mengendalikan inflasi.
Advertisement
Bagaimana Pandangan Ekonom?
Katrina Ell, seorang ekonom di Moody's Analytics di Sydney, memberikan pandangannya tentang ekonomi dunia.
"Sementara baseline kami menghindari resesi global selama tahun depan, kemungkinan salah satunya sangat tidak nyaman. Eropa, bagaimanapun, tidak akan lolos dari resesi dan AS tertatih-tatih di ambang (resesi)," katanya.
"Pembatasan Covid-19 domestik yang dilonggarkan China bukanlah peluru perak. Transisi akan bergelombang dan menjadi sumber volatilitas setidaknya hingga bulan Maret," sebut Ell.
Adapun Bill Blaine, ahli strategi dan kepala aset alternatif di Shard Capital, menggambarkan peringatan IMF sebagai alarm saat menyambut Tahun Baru 2023.
"Meskipun pasar tenaga kerja di seluruh dunia cukup kuat, jenis pekerjaan yang diciptakan belum tentu bergaji tinggi dan kita akan mengalami resesi, kita tidak akan melihat suku bunga turun secepat yang dipikirkan pasar," katanya kepada program Today di BBC Radio 4.
"Hal itu akan menciptakan serangkaian konsekuensi yang akan membuat pasar gelisah setidaknya selama paruh pertama tahun 2023," pungkasnya.
IMF: 2023 Bakal Jadi Tahun yang Sulit
Tahun 2023 akan menjadi tahun yang sulit bagi ekonomi global karena mesin utama pertumbuhan global yakni Amerika Serikat, Eropa dan China - semuanya mengalami pelemahan.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva.
Dikutip dari Channel News Asia, Senin (2/1/2023) Kristalina Georgieva mengatakan bahwa tahun baru akan menjadi "lebih sulit daripada tahun yang kita lalui sebelumnya".
"Mengapa? Karena tiga ekonomi besar - AS, UE, dan China - semuanya melambat secara bersamaan," ujarnya pada program berita Minggu pagi CBS Face the Nation.
"Untuk pertama kalinya dalam 40 tahun, pertumbuhan China pada 2022 berada di bawah atau di bawah pertumbuhan global," lanjutnya.
Selain itu, kasus Covid-19 di negara itu dalam beberapa bulan ke depan juga diprediksi masih akan menekan ekonominya tahun ini dan menyeret pertumbuhan regional dan global, kata Georgieva, yang melakukan perjalanan ke China dengan IMF akhir bulan lalu.
Seperti diketahui, China telah melonggarkan kebijakan nol-Covid-19 dan memulai pembukaan kembali pada ekonominya, meskipun konsumen tetap waspada ketika kasus virus corona melonjak.
Dalam pernyataan publik pertamanya sejak perubahan kebijakan Covid-19, Presiden Xi Jinping pada 31 Desember 2022 menyatakan China akan memasuki "fase baru".
"Saya berada di China pekan lalu, dalam gelembung di kota di mana tidak ada Covid-19. Tapi itu tidak akan bertahan begitu orang-orang mulai bepergian," sebut Georgieva.
"Untuk beberapa bulan ke depan, akan sulit bagi China, dan dampaknya terhadap pertumbuhan China akan negatif, dampaknya terhadap kawasan akan negatif, dampak terhadap pertumbuhan global akan negatif," pungkasnya.
Advertisement