Pasal Power Wheeling Dicabut dari RUU EBT, Pengamat: Harus Terus Dikawal

Power wheeling membolehkan perusahaan swasta untuk membangun pembangkit listrik dan menjual setrum kepada pelanggan rumah tangga dan industri melalui jaringan PLN.

oleh Arief Rahman H diperbarui 24 Jan 2023, 12:10 WIB
Diterbitkan 24 Jan 2023, 12:10 WIB
PLN Tambah Porsi Pemakaian EBT
PLN menambah porsi pemakaian EBT.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah mencabut skema power wheeling yang ada di Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT). Langkah ini dinilai bisa menghemat penggunaan dana APBN.

Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengungkap, power wheeling dihapus pemerintah melalui daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU EBT. Guna memastikan sejalan dengan upaya tersebut, Fahmy menyebut kalau ini perlu dikawal kedepannya.

"Berhubung power wheeling berpotensi merugikan negara dan memberatkan rakyat serta melanggar UUD 1945, UU ketenagalistrikan dan Keputusan MK, penarikan pasal power wheeling dari RUU EBT merupakan langkah yang sangat tepat," kata dia dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Selasa (24/1/2023).

"Selanjutnya, semua pihak harus ikut mengawal proses pembahasan RUU EBT agar sesuai dengan DIM, sehingga tidak ada lagi penyelundupan pasal siluman serupa dengan power wheeling yang tidak sesuai dengan DIM," sambung Fahmy.

Power wheeling merupakan mekanisme yang membolehkan perusahaan swasta Independent Power Producers (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual setrum kepada pelanggan rumah tangga dan industri.

Skemanya, penjualan setrum IPP dengan mempergunakan jaringan distribusi dan transmisi milik PLN melalui open source dengan membayar fee yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM.

Penerapan power wheeling berpotensi menambah beban APBN yang merugikan negara. Pasalnya, power wheeling akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30 persen, dan pelanggan non-organik hingga 50 persen.

Dia memandang, Penurunan jumlah pelanggan PLN itu, selain dapat memperbesar kelebihan pasokan PLN, juga menaikkan harga pokok penyediaan (HPP) listrik.

Dampaknya, dapat membengkakan beban APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN sebagai akibat tarif listrik PLN di bawah HPP dan harga keekonomian.

"Power wheeling juga berpotensi merugikan rakyat sebagai konsumen, dengan penetapan tarif listrik yang diserahkan pada mekanisme pasar. Dengan power wheeling, penetapan tarif listrik ditentukan oleh demand and supply, pada saat demand tinggi dan supply tetap, tarif listrik pasti akan dinaikkan," urainya.

 

Langgar Undang-Undang

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tenayan menyuplai 31% dari energi listrik yang dibutuhkan Riau dan menyuplai 4% dari energi listrik yang dibutuhkan Pulau Sumatera. (Liputan6.com/Pool/PLN)
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tenayan menyuplai 31% dari energi listrik yang dibutuhkan Riau dan menyuplai 4% dari energi listrik yang dibutuhkan Pulau Sumatera. (Liputan6.com/Pool/PLN)

Lebih lanjut, Fahmy menilai kalau skema power wheeling sendiri masuk dalam kategori liberalisasi kelistrikan. Sehingga melanggar Pasal 33 ayat 2 UUD 1945.

Aturan itu berbunyi: cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Power wheeling sesungguhnya merupakan pola unbundling yang diatur dalam UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan.

"Pola unbundling itu sudah dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui keputusan Nomor 111/PUU-XIII/2015 MK memutuskan bahwa unbundling dalam kelistrikan tidak sesuai dengan UUD 1945. Lalu UU itu diganti dengan UU No.30/2009, dengan menghilangkan pasal unbundling," pungkas Fahmy Radhi.

 

Rampung Juni 2023

Cadangan kapasitas listrik di Jawa dan Bali saat ini sebesar 12 GW. Cadangan daya tersebut dapat dimanfaatkan untuk pengembangan bisnis dan industri, salah satunya industri baterai. (Dok PLN)
Cadangan kapasitas listrik di Jawa dan Bali saat ini sebesar 12 GW. Cadangan daya tersebut dapat dimanfaatkan untuk pengembangan bisnis dan industri, salah satunya industri baterai. (Dok PLN)

Sebelumnya, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menjamin Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBT) rampung tahun depan. Pasalnya, RUU EBT ini jadi satu landasan aturan penting dalam proses transisi energi di Indonesia.

Sugeng menyampaikan, pembahasan aturan ini sempat sedikit molor karena lambatnya pemerintah menyetorkan daftar inventarisasi masalah (DIM). Sehingga, perlu waktu tambahan untuk pembahasan aturan tersebut.

"Jadi kapan undang-undang energi baru terbarukan? Bismillah, Insyaallah paling lambat bulan Juni 2023 sudah selesai," ujar dia dalam Forum Transisi Energi, Kamis (21/12/2022).

Dia mengatakan, pembahasan bisa dilanjutkan setelah pemerintah menyetorkan DIM bersama dengan surat presiden. Selanjutnya, RUU inisiatif DPR ini akan dibentuk panja untuk pembahasan lebih detail.

 

UU Migas

Selain RUU EBT, Sugeng melihat perlu adanya aturan UU Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang menjadi landasan hukum. Ini menyangkut hasil revisi UU Migas eksisting yang beberapa pasalnya sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Kemudian, UU Migas juga menjadi penting untuk memberikan kekuatan hukum atas kerja dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Muaranya, pada kemudahan investasi yang masuk di Indonesia.

"Jadi itulah memang kalau kita mengejar Net Zero emission tahun 2060 atau lebih cepat tampaknya, yang saya garis bawahi dua hal tadi, kita harus konsisten gitu loh," tegasnya.

Infografis Besaran Tarif Listrik Naik untuk Orang Kaya. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Besaran Tarif Listrik Naik untuk Orang Kaya. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya