Liputan6.com, Jakarta Fenomena kekeringan ekstrem atau El Nino memicu kekhawatiran pada ketersediaan biji robusta di produsen kopi besar seperti Vietnam dan Indonesia, yang berisiko mendorong lonjakan harga.
"Transisi yang sekarang banyak diharapkan ke kondisi El Nino di kuartal ketiga 2023 telah memicu kekhawatiran penurunan produksi di Vietnam dan Indonesia, di mana keduanya merupakan produsen kopi robusta utama," ungkap unit riset Fitch Solutions BMI dalam laporannya, dikutip dari CNBC International, Selasa (6/6/2023).
Baca Juga
Kawasan Asia Tenggara baru-baru ini mengalami panas yang memecahkan rekor sejak pertengahan Mei 2023.
Advertisement
"Di seluruh Asia Tenggara, kondisi El Niño dikaitkan dengan curah hujan di bawah rata-rata dan suhu yang lebih tinggi, yang keduanya menekan produksi kopi," kata BMI dalam laporannya.
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia, Vietnam, Indonesia, dan Brasil dikenal sebagai produsen robusta terbesar.
"Kami memperhatikan hujan lebat di Indonesia selama Q123, yang berdampak negatif pada kualitas biji kopi, dengan USDA memperkirakan penurunan sekitar seperlima dalam produksi kopi robusta," kata para analis.
Carlos Mera, kepala pasar komoditas pertanian di Rabobank, memperkirakan penurunan produksi dapat mencapai 10 persen menjadi 11,2 juta kantong robusta pada panen mendatang.Â
Sebagai informasi, El Nino adalah fenomena cuaca yang biasanya membawa kondisi yang lebih panas dan kering dari biasanya ke Samudera Pasifik tropis bagian tengah dan timur. Ilmuwan iklim memperkirakan bahwa El Nino tahun ini dapat terjadi pada paruh kedua tahun 2023.
El Nino Tahun 2016
Biji Robusta dikenal karena karakteristiknya yang pahit dan keasaman yang lebih tinggi, mengandung lebih banyak kafein daripada kopi arabika premium dan lebih mahal.
Selain Indonesia dan Vietnam, tanaman di robusta Brasil juga terkena dampak negatif dari kekeringan, menurut laporan BMI.
Masalah tersebut mendorong harga kopi instan dan espresso, yang sering dibuat dengan biji robusta, dapat mengalami tekanan di tengah kekhawatiran pasokan dan permintaan robusta yang lebih kuat dari biasanya, karena konsumen beralih ke pengganti arabika yang lebih murah.
Pada tahun 2016, kekurangan air terkait El Nino di Vietnam dan Indonesia menyebabkan penurunan produksi global mendekati 10Â persen, menurut statistik unit penelitian.
Shawn Hackett, presiden perusahaan pialang komoditas Hackett Financial Advisors, mengatakan bahwa musim El Nino bukan musim yang pertama kali terjadi di Vietnam dan Indonesia, hingga berujung penurunan produksi sebesar 20 persen pada robusta.
"Itu artinya kontraksi robusta cukup parah," ujarnya.
Advertisement
Permintaan Robusta
Biji Robusta menyumbang 40 persen dari produksi kopi dunia, dan biji arabika merupakan 60 persen sisanya dari produksi kopi global.
Biji arabika biasanya dianggap memiliki kualitas lebih tinggi dan harganya lebih mahal daripada kopi robusta.
Namun, tekanan ekonomi global mengarahkan permintaan ke arah robusta.
Harga Robusta didukung karena produsen produk kopi dan konsumen mengganti biji robusta dengan biji arabika yang lebih mahal untuk menghemat biaya selama masa inflasi, ungkap laporan BMI.
Harga kopi Robusta baru-baru ini melonjak ke level tertinggi dalam 15 tahun sebesar USD 2.783 per ton menjelang akhir bulan Mei. Harga terakhir diperdagangkan pada USD 2.608 per ton untuk kontrak berjangka Juli, menurut data dari Intercontinental Exchange.
Selain itu, harga premium biji arabika dibandingkan biji robusta juga anjlok ke level terendah sejak 2019 karena melonjaknya permintaan biji kopi yang relatif lebih murah.
"Asia, secara umum, lebih menyukai robusta daripada arabika, dan karena itu permintaan untuk robusta tumbuh jauh lebih cepat daripada permintaan untuk arabika," kata Hackett.
Hackett mengutip titik harga biji robusta yang lebih rendah di Asia dan palet populasi untuk minuman berbahan dasar biji robusta.