Liputan6.com, Jakarta - Israel sedang dalam pembicaraan untuk menjual tank Merkava bekas ke dua negara termasuk satu di Eropa. Ini akan menjadi ekspor pertama kendaraan lapis baja tersebut, demikian disampaikan seorang pejabat Kementerian Pertahanan pada Kamis, 15 Juni 2023.
Dikutip dari Times of Israel, Jumat (16/6/2023), the Head of the Ministry’s International Defense Cooperation Directorate atau lebih dikenal sebagai SIBAT, Yair Kulas menuturkan, unitnya meningkatkan lebih banyak penjualan peralatan dari pasukan pertahanan Israel.
Baca Juga
“Ada potensi beberapa ratus juta syikal di sana. Dunia mengejar sistem dan proses produksi membutuhkan waktu, dan tidak semua orang punya waktu untuk menunggu,” ujar Kulas.
Advertisement
Ia mencatat banyak negara Eropa berusaha segera kembali mengisi pasokan setelah menyumbangkan senjata senilai miliaran dolar Amerika Seirikat (AS) yang telah membantu mendorong kembali invasi Rusia.
“Ada dua negara potensia yang sedang mengadakan negosiasi lanjutan (tentang penjualan tank Mervaka). Saya dilarang menyebutkan nama mereka, tapi ada satu di benua Eropa,” ujar dia.
Merkava telah menjadi tank tempur IDF sejak 1980-an. Dalam beberapa tahun terakhir, the Armored Corps menggantikan sebagian besar model Merkava Mark 3 dengan Mark 4 yang lebih modern yang diperkenalkan pada 2003.
Kemungkinan potensi penjualan akan mencakup Merkava Mark 2 yang lebih tua, dan beberapa tank Merkava Mark 3 yang diperkenalkan pada 1990-an.
Kulas menuturkan, kelebihan sistem lainnya termasuk kapal militer dan pengangkut personel lapis baja akan dijual karena IDF telah membeli sistem yang lebih canggih. Pada 2021, Israel menjual 29 jet tempur F-16 tua ke Amerika Serikat (AS) dan Kanada untuk digunakan dalam pelatihan.
Penjualan Senjata Israel
Israel sejauh ini hindari memberikan bantuan militer langsung ke Kyiv sejak pasukan Rusia invasi Ukraina pada 24 Februari 2022, sebagai upaya hindari memicu krisis dengan Moskow.
“Negara-negara Eropa membantu Ukraina dan memasoknya dengan sistem. Pasokan di negara-negara tersebut sedang dikosongkan, mereka memperbaruinya dengan membeli sistem yang lebih modern dan mutakhir dan di sinilah industri Israel berperan,” ujar dia.
Penjualan senjata Israel mencapai rekor baru tahunan USD 12,5 miliar atau sekitar Rp 186,69 triliun (asumsi kurs 14.935 per dolar AS), berdasarkan rilis Kementerian Pertahanan pada Rabu pekan ini.
Pejabat mencatat permintaan senjata buatan Israel karena perang Rusia di Ukraina, dan peningkatan minat oleh negara-negara Arab yang baru-baru ini menormalisasi hubungan dengan Israel.
Advertisement
Konflik dengan Israel, Bagaimana Kondisi Ekonomi Palestina?
Sebelumnya, dikutip dari Kanal Bisnis Liputan6.com, konflik menahun Palestina-Israel terus memuncak. Tidak hanya dari segi politik, kondisi ekonomi kedua negara juga terdampak akibat pertikaian ini, terutama bagi Palestina.
Sebagai catatan, Palestina hampir tidak pernah memiliki ekonomi yang stabil sejak dilanda perang. Menurut laporan Bank Dunia bertajuk Palestinian Territories Economy Update - April 2021, pertumbuhan ekonomi Palestina di tahun 2017- 2019, dimana Covid-19 belum merebak, tercatat hanya 1,3 persen.
Pada tahun 2020, ekonomi negara ini minus 11,5 persen. Ketika kondisi politik memanas, pandemi datang dan membuat ekonomi Palestina semakin terpuruk.
"Otoritas Palestina sendiri telah berupaya keras untuk menanggulangi pandemi," jelas Direktur Bank Dunia untuk Tepi Barat dan Gaza Kanthan Shankar dalam laporannya.
Meski demikian, donasi dan bantuan terus mengalir untuk negara ini, walaupun jumlahnya terus menyusut. Shankar mengatakan, Palestina semakin kesulitan untuk melindungi warganya.
Lebih dari seperempat warga Palestina hidup di garis kemiskinan. Sejak pandemi melanda, jumlahnya lebih banyak. Untuk wilayah Palestina sendiri jumlahnya 22 persen, sementara untuk jalur Gaza jumlahnya 46 persen.
Selain itu, tingkat pengangguran anak muda Palestina mencapai 23,4 persen, dan di jalur Gaza sebanyak 43 persen. Angka ini jauh di bawah rata-rata negara kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.
Secara rinci, 121 ribu orang kehilangan pekerjaan. Sebanyak 96 ribu di antaranya berada di wilayah Palestina, terutama di sektor pariwisata, restaurant dan konstruksi.
Lalu, jaringan internet di wilayah Tepi Barat Palestina masih didominasi jaringan 3G. Untuk di Gaza, jaringannya masih 2G.