Inflasi Inggris Jinak, Tapi Masih Tertinggi di Negara G7

Indeks Harga Konsumen Inggris di bulan Juni tercatat 7,9 persen, turun dari 8,7 persen pada Mei 2023.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 20 Jul 2023, 10:15 WIB
Diterbitkan 20 Jul 2023, 10:15 WIB
Inflasi Januari Inggris Turun Tiga Bulan Berturut-turut
Pembeli melewati tanda di etalase toko di Oxford Street di London, Rabu (15/2/2023). Tingkat inflasi tahunan di Inggris turun menjadi 10,1% pada Januari 2023 dari 10,5% pada Desember, di bawah perkiraan pasar 10,3%. (AP Photo/Kirsty Wigglesworth)

Liputan6.com, Jakarta Tingkat inflasi Inggris kembali menunjukkan perlambatan pada kuartal dua 2023.

Melansir Channel News Asia, Kamis (20/2/2023) data resmi dari Kantor Statistik Nasional Inggris (ONS) menunjukkan bahwa Indeks Harga Konsumen negara itu menembus 7,9 persen, turun dari 8,7 persen pada Mei 2023, didorong oleh meredanya lonjakan harga pangan.

Angka inflasi ini juga menandai tingkat CPI terendah sejak Maret 2022. Namun, inflasi di Inggris masih menjadi yang tertinggi di antara negara-negara G7.

Data inflasi Inggris mendorong poundstering merosot terhadap dolar AS dan euro, meskipun Bank of England diperkirakan akan terus menaikkan suku bunga untuk menahan kenaikan harga,.

"Inflasi harga pangan sedikit mereda pada bulan (Juni) ini, meskipun tetap pada level yang sangat tinggi," kata kepala ekonom ONS Grant Fitzner dalam rilisnya.

Dia menambahkan bahwa meskipun biaya produksi tetap tinggi, "laju pertumbuhan telah menurun sepanjang tahun lalu".

Dalam pernyataan terpisah, Menteri Keuangan Inggris Jeremy Hunt mengakui bahwa inflasi yang tinggi masih menjadi kekhawatiran besar bagi keluarga dan bisnis.

"Cara terbaik dan satu-satunya untuk meredakan tekanan ini dan membuat ekonomi kita tumbuh kembali adalah dengan tetap berpegang pada rencana untuk mengurangi separuh inflasi tahun ini," ujarnya.

Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak telah menetapkan target mengurangi inflasi hingga 5 persen pada akhir tahun 2023.

Dalam upaya mendinginkan inflasi, Bank of England telah menaikkan suku bunga sebanyak 13 kali berturut-turut. Namun, langkah tersebut telah memicu gejolak hipotek karena pemberi pinjaman komersial menaikkan suku bunga pinjaman mereka, memperburuk krisis biaya hidup.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


OECD: Cuma Inggris Anggota G7 yang Alami Lonjakan Inflasi

Inflasi Januari Inggris Turun Tiga Bulan Berturut-turut
Seorang pembelanja melihat barang-barang di kios suvenir di Oxford Street di London, Rabu (15/2/2023). Angka inflasi awal tahun ini juga berada di bawah ekspektasi pada ekonomi, tetapi harga pangan dan energi yang semakin tinggi menekan daya beli rumah tangga Inggris. (AP Photo/Kirsty Wigglesworth)

Inggris kini menjadi satu-satunya negara di antara negara anggota G7 yang masih mengalami kenaikan inflasi yang tinggi, menurut data dari Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan atau OECD.

Melansir CNBC International, Rabu (5/7/2023) organisasi yang berbasis di Paris itu mengatakan bahwa inflasi year-on-year di negara G7 turun menjadi 4,6 persen pada Mei 2023, turun dari 5,4 persen pada April, mencapai level terendah sejak September 2021.

Tren penurunan diamati di sebagian besar ekonomi maju pada bulan Mei, dengan inflasi tahunan berdetak lebih rendah di AS, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, dan Jepang.

Sementara itu, inflasi konsumen Inggris naik menjadi 7,9 persen di bulan Mei 2023 jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kata OECD, naik sedikit dari 7,8 persen di bulan April.

Bulan lalu, Bank of England menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 5 persen.Ini menandai kenaikan suku bunga ke-13 BOE dan mendorong suku bunga dasar ke level tertinggi sejak 2008.

Langkah tersebut, yang memperbesar kekhawatiran krisis hipotek, menandai divergensi dari bank sentral utama lainnya yang mampu memperlambat atau menghentikan kenaikan suku bunga.

Indeks harga konsumen nasional OECD untuk Inggris mencakup biaya hidup dan diyakini sebagai ukuran inflasi yang paling komprehensif.

OECD pada awal Juni 2023 juga memperkirakan bahwa Inggris akan membukukan inflasi utama tahunan sebesar 6,9 persen tahun ini, tingkat tertinggi di antara semua negara maju. 


IMF: Inggris Tak Jadi Resesi, Ekonomi Tumbuh 0,4 Persen di 2023

Inflasi Inggris Sentuh Level Tertinggi dalam 40 Tahun
Orang-orang melintasi distrik perbelanjaan Regent Street dengan bendera Union tergantung menandai Platinum Jubilee untuk 70 tahun kepemimpinan Ratu Elizabeth II, di London, Rabu (18/5/2022). Tingkat inflasi Inggris naik ke level tertinggi dalam 40 tahun pada bulan April karena invasi Rusia ke Ukraina memicu kenaikan lebih lanjut dalam harga makanan dan bahan bakar. (AP Photo/Matt Dunham)

Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan perekonomian Inggris akan terhindar dari ancaman resesi tahun ini.

Melansir laman BBC, Rabu (24/5/2023) IMF kini meramal ekonomi Inggris akan tumbuh 0,4 persen di tahun 2023, setelah bulan lalu sempat diperkirakan akan berkontraksi sebesar 0,3 persen.

IMF menyebut, pertumbuhan ekonomi Inggris akan didorong oleh permintaan konsumen yang kuat dan penurunan biaya energi.

Tetapi badan itu juga mengingatkan bahwa Inggris masih dihantui oleh angka inflasi yang tinggi, dan suku bunga yang lebih tinggi masih perlu dipertahankan oleh Bank of England.

Saat berpidato di London, direktur pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan bahwa angka pertumbuhan yang meningkat dipicu oleh penurunan harga energi, meredakan kekhawatiran atas dampak Brexit dan peningkatan stabilitas keuangan.

"(Pemerintah telah mengambil) langkah tegas dan bertanggung jawab dalam beberapa bulan terakhir," ujarnya.

Tetapi Georgieva juga melihat pemotongan pajak belum memungkinkan, memperingatkan bahwa saat ini "tidak terjangkau, juga tidak diinginkan".

Laporan IMF juga mencatat bahwa risiko ekonomi Inggris cukup besar, dengan bahaya terbesar datang dari "persistensi yang lebih besar dari yang diantisipasi dalam penetapan harga dan upah", yang akan membuat inflasi lebih tinggi lebih lama.

Georgieva menyarankan, Inggris perlu mengatasi lonjakan masyarakat yang tidak bekerja, serta mereka yang memiliki penyakit jangka panjang.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya