Liputan6.com, Jakarta - Jepang mengumumkan perluasan sanksi terhadap Rusia menyusul serangan ke Ukraina. Pada Jumat, 28 Juli 2023, Jepang merilis daftar barang yang diperluas untuk larangan ekspor termasuk larangan ekspor kendaraan listrik.
Dikutip Indiatimes, Senin (31/7/2023), Rusia dilanda gelombang sanksi setelah mengirim pasukan ke Ukraina pada Februari tahun lalu, tetapi seruan telah berkembang dari Kyiv dan sekutunya untuk tindakan lebih keras terhadap Moskow.
Baca Juga
5 Pernyataan Erick Thohir, Minta Maaf Timnas Indonesia Kalah dari Jepang dan Harap Menang Lawan Arab Saudi
Jepang Berencana Pakai Trem Otonom Buatan China untuk Angkut Wisatawan ke Kaki Gunung Fuji
Turis Amerika Iseng Garuk Nama di Gerbang Kuil Jepang, Berujung Ditangkap Polisi dan Repotkan Kedutaan Besar
Jepang telah membekukan aset individu dan grup dari Rusia. Selain itu melarang ekspor sejumlah barang kepada militer Rusia termasuk organisasi. Serta ekspor jasa konstruksi dan teknik.
Advertisement
Pada Jumat, 28 Juli 2023, pemerintah Jepang memperluas daftar barang di bawah larangan ekspornya untuk memasukkan kendaraan yang dilengkapi dengan mesin 1.900 cc atau lebih, serta mobil hibrida dan listrik. Demikian disampaikan Kementerian Perdagangan Jepang.
Sanksi baru yang disetujui oleh kabinet Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida akan mulai berlaku 9 Agustus 2023.
“Karena sudah lebih dari setahun sejak Rusia invasi Ukraina, kami telah memperluas daftar barang di bawah larangan ekspor,” ujar Pejabat Kementerian, Noriyuki Kuroda kepada wartawan.
Kuroda menuturkan, sanksi terbaru mengikuti embargo serupa yang diungkapkan Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Barang-barang lain yang ditambahkan ke dalam daftar larangan ekspor termasuk baja, produk plastik, dan suku cadang elektronik yang dapat dialihkan untuk pemakaian militer.
Pada pertemuan G7 di Jepang pada Mei 2023, pemimpin yang tergabung dalam G7 setuju untuk memberikan sanksi kepada Rusia dari teknologi, peralatan industri dan layanan yang mendukung mesin perangnya.
Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa telah memberlakukan sanksi tegas terhadap Moskow atas invasi Rusia ke Ukraina, serta memberikan lebih banyak bantuan militer ke Kyiv.
Putin: Sanksi Membuat Rusia Lebih Kuat
Sebelumnya, Rusia akan terus menentang sanksi Barat. Hal tersebut disampaikan oleh Presiden Vladimir Putin dalam Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Kerja Sama Shanghai (KTT SCO).
Itu merupakan kemunculan pertama Putin dalam agenda internasional sejak pemberontakan Wagner bulan lalu.
Putin mendukung perjanjian perdagangan antar negara-negara SCO dalam mata uang lokal, kebijakan yang dipandang sebagai upaya untuk menumpulkan sanksi Barat.
KTT SCO 2023 berlangsung secara virtual, di bawah kepemimpinan India. Demikian seperti dilansir BBC, Rabu (5/7/2023).
Putin menggunakan KTT SCO 2023 untuk mengirim pesan jelas ke Barat dengan mengatakan, "Rusia melawan semua sanksi, tekanan, dan provokasi eksternal serta terus berkembang jauh dari sebelumnya."
"Saya ingin berterima kasih kepada rekan-rekan saya dari negara-negara SCO yang menyatakan dukungan atas kepemimpinan Rusia untuk melindungi tatanan konstitusional dan kehidupan serta keamanan negara."
Putin menambahkan bahwa lebih dari 80 persen perdagangan antara China dan Rusia menggunakan rubel dan yuan. Dia mendesak anggota SCO lainnya untuk mengambil langkah yang sama.
Presiden Rusia menyambut baik pengajuan Belarus, yang merupakan sekutunya, untuk menjadi anggota tetap SCO tahun depan.
Adapun tuan rumah KTT SCO 2023 PM India Narendra Modi meminta para anggota untuk meningkatkan perdagangan, konektivitas, dan kerja sama teknologi. Namun, dia tidak menyinggung perang Ukraina dan sikap China yang semakin tegas di Indo Pasifik.
Beberapa hari sebelumnya, Amerika Serikat (AS) menggelar karpet merah untuk PM Modi ketika dia melakukan kunjungan kenegaraan.
Sementara itu, ketika bicara tentang keamanan regional, PM Modi juga tidak menyinggung China. Kedua negara tetangga ini memiliki hubungan permusuhan akibat sengketa perbatasan yang terus berlanjut hingga hari ini.
Advertisement
India Dianggap Penyeimbang China
Barat disebut memandang India sebagai penyeimbang China, meskipun New Delhi tidak pernah secara terbuka "mengenakan" label tersebut. Dan India pun dinilai menahan diri dengan baik di SCO. Sebaliknya, PM Modi malah mendesak seluruh anggota untuk bekerja sama dalam terorisme lintas batas.
"Beberapa negara menggunakan terorisme lintas batas sebagai instrumen dalam kebijakan mereka, (mereka) memberi perlindungan kepada teroris... SCO tidak perlu ragu untuk mengkritik negara-negara tersebut," kata Modi.
Pernyataan Modi dinilai ditujukan ke tetangga sekaligus saingan India, Pakistan. Sebaliknya, PM Pakistan Shahbaz Sharif menyampaikan pidato yang dipandang tertuju ke India bahwa agama minoritas tidak boleh dimusuhi saat mengejar agenda politik domestik.
Ketika giliran Presiden China Xi Jinping berbicara, dia menyebutkan pentingnya menjaga perdamaian dan keamanan kawasan. Dia mendesak anggota SCO untuk mengikuti arah yang benar dan meningkatkan solidaritas dan rasa saling percaya.
Satu isu yang tampaknya disetujui oleh semua anggota dengan suara bulat adalah menjaga stabilitas di Afghanistan, menyusul pengambilalihan Taliban setelah pasukan AS ditarik dua tahun lalu.
SCO Dibentuk untuk Membatasi Pengaruh Barat
China, Rusia, dan empat negara Asia Tengah membentuk SCO pada tahun 2001 untuk membatasi pengaruh Barat di wilayah tersebut. India dan Pakistan bergabung pada 2017.
SCO menjadi lebih relevan bagi Rusia dan China menyusul memburuknya hubungan mereka dengan Barat.
Para ahli mengatakan potensi kelompok tersebut tidak dapat diremehkan, meskipun ada forum yang lebih menonjol seperti BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan), G20, dan G7.
SCO mengelompokkan sekitar 40 persen populasi dunia dan lebih dari 20 persen PDB global.
Inklusi Iran sebagai anggota penuh pada pertemuan tahun ini akan meningkatkan portofolio energi SCO, namun di lain sisi memicu kemarahan di Barat.
Advertisement