Liputan6.com, Jakarta - Polemik penyelesaian pembayaran utang rafaksi minyak goreng hingga saat ini masih belum menunjukkan titik terang. Pemerintah sejauh ini belum membayar utang rafaksi minyak goreng ke pengusaha.
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) pun sangat menyayangkan respon Pemerintah, utamanya Kementerian Perdagangan yang terkesan membiarkan berlarut larut tanpa adanya kepastian dan kejelasan pembayarannya.
Baca Juga
Diketahui Kementerian Perdagangan saat ini berutang kepada Aprindo sebesar Rp 344 miliar. Namun, utang gabungan kepada produsen minyak goreng dan pengusaha ritel berjumlah Rp 800 Miliar.
Advertisement
"Kan kita mungkin hanya menunggu, menunggu, dan menunggu. Ini uang bagi negara sesuatu yang kecil Rp 344 miliar. Tapi Aprindo sebagai asosiasi pengusaha ritel Indonesia ini sesuatu yang besar (nominalnya) untuk para peritel yang ada di Indonesia," kata Ketua Umum Aprindo, Roy N Mandey dalam Konferensi Pers Rafaksi Migor, di Jakarta, Jumat (18/8/2023).
Kendati masih dihadapkan pada ketidakpastian, Aprindo masih terus berupaya untuk menyelesaikan polemik pembayaran utang rafaksi minyak goreng tersebut dengan lima langkah.
Langkah pertama, Roy menegaskan pihaknya akan terus menindaklanjuti polemik tersebut ke Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan agar bisa terkomunikasikan ke Kementerian Perdagangan.
"Jadi, posisi akhir Aprindo, kita akan memfollow up terus kepada Kemenkopolhukam yang saat ini berada dalam komunikasi dan koordinasi kepada Kemendag," ujarnya.
Bisnis Ritel Lagi Turun
Selanjutnya, langkah kedua, Aprindo berencana akan melakukan pemotongan tagihan kepada distributor atau supplier minyak goreng. Hal itu dilakukan karena bisnis ritel saat ini sedang menurun, ditambah polemik rafaksi belum terselesaikan.
"jadi, poin 2, dari perusahaan peritel ya kepada distributor migor. Akan ada pemotongan tagihan. Karena apa? karena ritel lagi rendah, bila penyelesaian rafaksi belum selesai," katanya.
Langkah ketiga, Aprindo akan melakukan pengurangan pmebelian minyak goreng jika penyelesaian rafaksi belum selesai dari perusahaan peritel kepada ditributor minyak goreng.
Kemudian, langkah keempat, Aprindo akan menghentikan pembelian minyak goreng oleh perusahaan peritel kepada distributor minyak goreng, jika tidak ada ketidakpastian terkait rafaksi.
Terkakhir, pihaknya akan menggugat hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) melalui kuasa perusahaan peritel kepada Aprindo.
"Terakhir gugatan hukum. PTUN melalui kuasa perusahaan peritel kepada Aprindo," pungkasnya.
KPPU Minta Pemerintah Segera Bayar Utang Minyak Goreng Rp 344 Miliar ke Pengusaha
Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) meminta pemerintah segera membayar utang selisih harga minyak goreng (rafaksi) kepada pengusaha ritel. Mengingat masalah utang minyak goreng ini berpotensi merugikan masyarakat kedepannya.
Direktur Ekonomi KPPU Mulyawan Ranamanggala mengatakan untuk proses pembayaran itu diperlukan adanya aturan penguat dari Kementerian Perdagangan (Kemendag). Pasalnya, Permendag Nomor 3 Tahun 2021 mengenai selisih harga minyak goreng sudah tidak berlaku lagi.
Diketahui, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengancam akan melakukan boikot atas penjualan minyak goreng di pasaran jika rafaksi tak kunjung dibayarkan. Mulyaman menilai hal ini bisa berdampak pada kerugian masyarakat lebih jauh kedepannya.
"Untuk itu, KPPU menyarankan Pemerintah c.q. Kementerian Perdagangan mengeluarkan regulasi yang isinya adalah melaksanakan kewajibannya untuk membayar pelaku usaha yang telah selesai diverifikasi sesuai dengan Permendag No. 3 Tahun 2022. Persoalan ini patut menjadi prioritas Pemerintah guna menghindari kerugian atau dampak yang lebih luas kepada masyarakat," ujar dia, dalam keterangan resmi, Kamis (11/5/2023).
"Terlebih minyak goreng merupakan salah satu komoditas yang sangat dibutuhkan masyarakat, sehingga adanya gangguan dalam pasokan akan mengakibatkan kenaikan harga minyak goreng dan pada akhirnya akan sangat berpengaruh terhadap tingkat inflasi," sambung Mulyawan.
Mulyawan mengatakan adanya gangguan kebijakan berkaitan dengan rafaksi dapat menimbulkan iklim usaha yang tidak kondusif, karena tidak memberikan kesempatan berusaha yang sama bagi para pelaku usaha. Hal ini bertentangan dengan salah satu tujuan pembentukan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
"KPPU melihat kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan rafaksi (selisih antara Harga Acuan Keekonomian/HAK dengan Harga Eceran Tertinggi/HET), yakni Permendag No. 3 Tahun 2022, berdasarkan penilaian menggunakan Daftar Periksa Kebijakan Persaingan Usaha (DPKPU) belum mempertimbangkan aspek efisiensi dalam pelaksanaannya," tuturnya.
Advertisement
Potensi Kerugian
KPPU mencatat, berdasarkan informasi dari Pemerintah, HAK minyak goreng kemasan bulan Januari 2022 adalah sebesar Rp17.260, yang berada di bawah harga rata-rata Januari 2022 sebesar Rp20.914. Sementara berdasarkan Permendag No. 3 Tahun 2022, HET minyak goreng kemasan adalah sebesar Rp14.000.
Peraturan tersebut mengatur Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) melakukan pembayaran subsidi dari selisih HAK dan HET yang ditetapkan sebagai akibat pelaksanaan kebijakan satu harga minyak goreng kemasan yakni Rp14.000.
"Dengan tidak dilaksanakannya kebijakan Permendag No. 3 Tahun 2022, diperkirakan terdapat tagihan rafaksi sebesar Rp1,1 triliun yang tidak dibayarkan," terangnya.
Tagihan tersebut berasal dari produsen minyak goreng dan distributor yang mencapai lebih kurang Rp700 miliar dan sebesar Rp344.355.425.760 kepada sekitar 600 korporasi ritel modern di seluruh Indonesia. Dalam hal ini pelaku usaha mengalami dua kali kerugian, yakni selisih HAK dengan harga pasar dan selisih harga HAK dengan HET.