Liputan6.com, Jakarta Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) ikut menyoroti soal rencana larangan penjualan rokok eceran dan larangan iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau. Aturan ini dinilai akan turut berdampak pada pekerja di industri hasil tembakau (IHT).
Hal ini lantaran dinilai akan mematikan keberlangsungan mata pencaharian dari jutaan orang yang menggantungkan hidupnya di industri tembakau.
Baca Juga
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kemnaker, Indah Anggoro Putri mencontohkan soal rencana larang penjualan rokok eceran dan memajang rokok di tempat penjualan.
Advertisement
“Berdasarkan data BPS, ada 25 juta pekerja yang akan terdampak dari larangan tersebut," kata dia dikutip Selasa (5/12/2023).
Kemudian, terkait larangan iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau. Ini juga dinilai akan berdampak negatif terhadap para pekerja lintas sektor dan industri, termasuk industri periklanan.
“Yang jelas kami dari Kemnaker khawatir akan ada pengurangan tenaga kerja, tidak hanya di IHT, tapi juga di periklanan, khususnya di produksi iklan,” tambahnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Periklanan Indonesia (DPI), Janoe Arijanto, mengaku pihaknya dan asosiasi periklanan dan media kreatif lainnya tidak pernah dilibatkan dalam diskusi perumusan dalam aturan tersebut. Sementara, potensi dampak dari aturan tersebut terus menghantui keberlangsungan industri.
“Kawan yang bergerak di industri kreatif jumlahnya kurang lebih 800 ribu tenaga kerja. Sementara, iklan produk tembakau sendiri kontribusinya bisa mencapai Rp9 triliun. Bayangkan bila aturan ini diberlakukan, kawan di billboard juga tidak bisa menayangkan iklan produk tembakau dan pendapatannya akan berkurang cukup signifikan,” keluh Janoe.
Janoe mengatakan, industri periklanan dan media kreatif telah mematuhi etika periklanan yang berlaku (PP 109/2012), termasuk mengatur bagaimana rokok harus diiklankan dan diatur, seperti aturan yang tidak boleh memperlihatkan aktivitas merokok dan tidak boleh ditonton oleh anak di bawah umur 18 tahun.
Kemenkeu soal RPP Kesehatan: Cukai Rokok Efektif Tekan Konsumsi
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberi masukan terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah turunan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (RPP Kesehatan). Regulasi ini tengah digodok, dimana rencananya akan turut mengatur soal produk tembakau atau rokok.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menilai, kebijakan soal pengenaan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sejauh ini sudah cukup efektif untuk menekan angka konsumsi.
Pengenaan cukai rokok sendiri diatur dalam dua regulasi terpisah. Antara lain, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/2022 tentang perubahan atas PMK Nomor 193/2023 tentang Tarif CHT Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya.
Kemudian, PMK 191/2022 tentang Perubahan Kedua atas PMK 192/2021 tentang Tarif CHT berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris.
"Dari sisi kami, Kemenkeu meyakini cukai rokok itu instrumen yang selama ini cukup efektif untuk menekan konsumsi dan produksi. Jadi kami melihat dari pengaturan yang ada saat ini, itu sudah cukup memadai," kata Prastowo di Four Seasons Jakarta, Selasa (28/11/2023).Pertimbangkan
Advertisement
Berbagai Aspek
Menurut dia, Kemenkeu sudah mempertimbangkan berbagai aspek dalam menegakkan aturan tersebut. Mulai dari sektor ketenagakerjaan, imbas terhadap sektor industri lain, hingga aspek kesehatan.
"Karena kita kan suka mempertimbangkan berbagai aspek. Contohnya kepekerjaan, lalu keberlangsungan usaha, termasuk switching ke sektor-sektor lain. Itu juga harus kita perhitungkan ya, karena ada roadmap-nya ya.Termasuk tentu yang paling utama adalah kesehatan," terangnya.
Sebagai masukan pada RPP Kesehatan, Prastowo mengatakan, Kemenkeu hanya berwenang untuk urusan teknis seperti mengatur besaran cukai rokok.
"Terkait yang sekarang sudah dilakukan biaya cukai saja.Penindakan terhadap rokok ilegal, lalu mengatur besaran tarif, penggulungan dan sebagainya," ujar Prastowo.