Amerika Hibah Rp 15,6 Miliar untuk Studi Kembangkan EBT di Indonesia Timur

PT PLN (Persero) mengantongi dana hibah USD 1 juta, atau setara Rp 15,6 miliar (kurs Rp 15.600 per dolar AS) dari Badan Perdagangan dan Pembangunan Amerika Serikat atau The United States Trade and Development Agency (USTDA).

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 13 Feb 2024, 20:30 WIB
Diterbitkan 13 Feb 2024, 20:30 WIB
PT PLN (Persero) siap hadirkan listrik dengan total kapasitas 42 megawatt peak (MWp) yang bersumber dari energi baru terbarukan (EBT)
PT PLN (Persero) siap hadirkan listrik dengan total kapasitas 42 megawatt peak (MWp) yang bersumber dari energi baru terbarukan (EBT) untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan industri di Batam, Kepuluan Riau. (Dok PLN)

Liputan6.com, Jakarta PT PLN (Persero) mengantongi dana hibah USD 1 juta, atau setara Rp 15,6 miliar (kurs Rp 15.600 per dolar AS) dari Badan Perdagangan dan Pembangunan Amerika Serikat atau The United States Trade and Development Agency (USTDA).

Dana hibah tersebut untuk mendukung studi kelayakan terhadap pembangunan infrastruktur energi baru terbarukan (EBT) yang dijalankan PLN di lima daerah terluar, terdepan dan tertinggal (3T) di wilayah Indonesia Timur.

Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menjelaskan, kolaborasi dan kemitraan sangat penting untuk memajukan transisi energi di Indonesia. Hal ini dalam rangka mendukung langkah Pemerintah Indonesia yang telah mengumumkan target Enhanced-Nationally Determined Contribution (E-NDC) pada tahun 2030 dan Net Zero Emissions (NZE) 2060.

 

"Kolaborasi sangat penting untuk mempercepat transisi energi di Indonesia. Kemitraan ini tentu saja sejalan tujuan PLN untuk meningkatkan bauran energi terbarukan dalam rangka mewujudkan Net Zero Emissions," kata Darmawan, Selasa (13/2/2024).

Direktur Keuangan PLN Sinthya Roesly menyampaikan, dana hibah sekitar USD 1 juta dari USTDA itu akan digunakan untuk membiayai layanan jasa yang diperlukan sehubungan dengan persiapan studi kelayakan teknis dan ekonomi proyek mini-grid EBT Indonesia di wilayah 3T Indonesia Timur.

Kegiatan ini mencakup desain solusi teknik yang terperinci, evaluasi dampak ekonomi, lingkungan, hingga dampak lain dari pembangkit listrik EBT ketika dijalankan. Studi ini juga penting untuk menganalisis dan mendukung implementasi PLN dalam mempersiapkan proyek EBT di wilayah 3T di kemudian hari.

"Lewat kolaborasi ini kita ingin meningkatkan akses kelistrikan di lima wilayah 3T menjadi 24 jam lewat dukungan energi hijau. Saya harap kolaborasi ini menjadi langkah awal yang bisa membawa pengaruh besar bagi masyarakat Indonesia," tutur Sinthya.

Pembangkit Hibrida

Sinthya melanjutkan, bersama USTDA, PLN akan mengembangkan pembangkit hibrida dengan mengkolaborasikan antara Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) eksisting dan Solar PV serta battery storage di lima lokasi 3T potensial di Indonesia Timur.

"Kami berkomitmen menjalankan roadmap transisi energi berdasarkan trilema energy, yaitu energy security, energy equity, environmental sustainability. Lewat studi dan pengembangan yang berkualitas kami optimis pendistribusian EBT dapat dilakukan dengan adil, terjangkau, dan dapat diterima masyarakat secara andal serta berkualitas," imbuhnya.

 

Pengembangan EBT

PT PLN (Persero) melalui subholding PLN Nusantara Power (NP) menjalin kolaborasi dengan Powerchina International Group Limited (Powerchina)
PT PLN (Persero) melalui subholding PLN Nusantara Power (NP) menjalin kolaborasi dengan Powerchina International Group Limited (Powerchina) dalam rangka mengakselerasi bauran energi baru terbarukan (EBT) di tanah air, khususnya tenaga angin. (Dok. PLN)

Direktur USTDA Enoh T Ebong menyampaikan, kolaborasi pengembangan EBT dengan PLN ini telah sejalan dengan visi global USTDA dalam mendorong pertumbuhan keberlanjutan di negara berkembang. Pihaknya melihat transformasi penggunaan EBT akan berimplikasi terhadap mitigasi krisis iklim, khususnya lewat penyediaan akses kelistrikan yang dapat diandalkan.

"Kemitraan kami dengan PLN menunjukkan komitmen Amerika Serikat untuk mendukung transisi energi Indonesia dan ambisi pembangunan ekonomi jangka panjang bagi Indonesia. Dengan menawarkan sumber daya teknis dan teknologi yang tersedia, kami melihat peluang besar untuk memperluas akses energi ramah lingkungan di seluruh Indonesia," ungkapnya.

The Charge d’Affaires ad interim US Embassy Indonesia, Michael F Kleine menambahkan, bantuan dana USTDA sejalan dengan hasil pertemuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden tahun lalu terkait dengan upaya meningkatkan hubungan bilateral antar kedua negara. Salah satunya melalui kerja sama energi bersih.

"Oleh karena itu, kami di Kedutaan Besar AS sangat bersemangat dengan proyek ini, melalui kolaborasi inovasi dan perdagangan, dengan tujuan yang sama. Kita akan mencapai tujuan yang kita inginkan dan sekali lagi menjadikan tahun ini bukan hanya tahun kemakmuran, tetapi juga energi bersih," tutup Michael.

Revisi Aturan PLTS Atap Bisa Genjot Pemanfaatan EBT Tanpa Bebani APBN

Mengurangi 685 Juta Kg Emisi Karbon dengan Solusi PLTS Atap Tanpa Investasi
Mengurangi 685 Juta Kg Emisi Karbon dengan Solusi PLTS Atap Tanpa Investasi. foto: istimewa

Sebelumnya, persetujuan Pemerintah atas revisi PLTS Atap dinilai dapat menumbuhkan investasi energi baru dan energi terbarukan sekaligus menggerakkan roda perekonomian tanpa membebani APBN.

Dalam klausul revisi Permen ESDM 26/2021 yang disetujui presiden tersebut, paparnya, memberi peluang bagi peningkatan produksi listrik energi baru terbarukan (EBT) oleh masyarakat dalam usaha berkontribusi bagi transisi energi dan penurunan emisi tanpa membebani keuangan negara.

Menurut Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) Salamudin Daeng, keuangan negara akan terbebani jika aturan tersebut tidak direvisi.

“Keuangan negara akan tergerus saat harus membeli listrik dari PLTS atap. Namun dengan adanya revisi yang sudah disetujui Presiden, klausul jual beli listrik antara pemilik PLTS atap dengan negara dihapus," kata dia dikutip Sabtu (10/2/2024).

Revisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 26 tahun 2021 mengenai Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap yang Terhubung ke Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum tersebut tetap memberikan izin bagi konsumen Rumah Tangga dan industri untuk menggunakan listrik yang dihasilkan oleh PLTS Atap, namun dengan syarat sesuai dengan kapasitas yang dipasang.

“Persetujuan Pemerintah atas revisi aturan PLTS Atap dipastikan mampu membuka peluang bagi investasi PLTS Atap yang merupakan energi baru dan energi terbarukan. Publik bisa berperan aktif dalam transisi energi di Tanah Air,” kata Salamudin

Saat ini, paparnya, pemerintah sudah tepat dalam mengatur PLTS atap yang hanya diperbolehkan untuk keperluan sendiri dan bukan untuk diperjualbelikan ke negara.

Perlu diketahui, jelasnya, daya yang dihasilkan dari pembangkitan PLTS atap tidak selalu stabil karena sangat bergantung pada cuaca. PLTS atap berfungsi optimal jika matahari bersinar sepanjang hari.  “Kalau mendung, daya yang dihasilkan tidak akan optimal," ungkapnya.

 

 

Investasi Mandiri PLTS Atap

Penggunaan PLTS
Teknisi Green Energy Nusantara Mandiri memasang PLTS Hybrid 6210 Wp battery 4,8 kwhpada atap rumah kantor di kawasan Manggarai Jakarta, Jumat (29/12/2023). (merdeka.com/Arie Basuki)

Selain itu, investasi mandiri PLTS atap tanpa jual beli listrik dengan negara, justru tidak akan mengganggu harga atau tarif dasar listrik yang berlaku. “Pemerintah bisa tetap mengendalikan tarif listrik agar tetap terjangkau bagi masyarakat tanpa ada campur tangan swasta. Ini penting untuk menjaga kedaulatan energi nasional.”

Selebihnya, Salamudin menambahkan, pemerintah harus tetap waspada terhadap pembahasan power wheeling yang berisiko masuk dalam pembahasan Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) karena konsepnya serupa dengan jual beli listrik yang dihapus pada aturan PLTS Atap.

“Banyak yang berkepentingan dengan isu power wheeling. Misalnya kepentingan asing yang ingin menguasai sektor ketenagalistrikan dengan mendapat pinjaman transmisi yang dimiliki oleh negara. Dengan demikian, tarif listrik bisa berisiko naik,” katanya.

Menurutnya, pihak swasta tidak mungkin membangun jaringan karena mahal, sehingga swasta ingin menerapkan power wheeling. “Dengan adanya skema itu, swasta dapat menggunakan jaringan negara tanpa harus berinvestasi untuk menjual listrik dari pembangkit mereka kepada konsumen secara langsung.”

Konsep power wheeling itu, paparnya, tidak tepat dan harus dihilangkan karena berisiko menihilkan peran negara dalam menjaga kedaulatan energi. “Padahal secara undang-undang, isu ketenagalistrikan harus terintegrasi dan dikuasai negara untuk kepentingan rakyat.”

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya