Jerman dan Prancis Kalah Telak dari Indonesia dalam Hal Ini

Jerman, Prancis dan Italia mencatatkan defisit APBN antara 5%-7%, sedangkan Indonesia di bawah 3%.

oleh Gagas Yoga Pratomo diperbarui 23 Jun 2024, 20:00 WIB
Diterbitkan 23 Jun 2024, 20:00 WIB
FOTO: IMF Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Suasana gedung perkantoran di Jakarta, Sabtu (17/10/2020). Jerman, Prancis dan Italia mencatatkan defisit APBN antara 5%-7%, sedangkan Indonesia di bawah 3%. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan optimisme terhadap defisit APBN Indonesia untuk bisa dipertahankan di bawah 3%. 

Airlangga menjelaskan dengan rancangan defisit APBN tersebut, diharapkan juga dapat menjadi dorongan bagi semua pihak untuk tetap optimis terhadap kondisi perekonomian nasional saat ini dan ke depannya.

“Baru jadi alarm itu kalau kita lihat defisit anggaran di negara-negara Uni Eropa (UE) yang rata-rata 5%-7%. Alarmnya bunyinya di Eropa bukan di Indonesia, Indonesia masih di bawah 3%,” kata Airlangga dalam keterangan resmi, dikutip Minggu (23/6/2024).

Lebih lanjut, Airlangga turut menyampaikan Bank Sentral UE juga sudah mengingatkan negara-negara anggotanya untuk memelihara tingkat defisit anggaran di bawah 3%.

Airlangga mencontohkan Jerman, Prancis, Italia, yang defisitnya antara 5%-7%, dan Indonesia di bawah 3%, 

"Jadi tidak perlu panik. Mereka sudah dapat peringatan dari Bank Sentral UE kalau negara-negara UE harus ikut seperti negara-negara Asia,” lanjut Airlangga.

Selain kemampuan menjaga fundamental ekonomi Indonesia agar tetap kuat menjadi hal yang terpenting, Airlangga juga meyakini kebijakan perekonomian Pemerintah di tahun depan masih akan tetap sejalan dengan kebijakan yang ada saat ini.

Kemudian, neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2024 tercatat memperoleh surplus USD 2,93 miliar dan mampu melanjutkan tren surplus selama 49 bulan berturut-turut. Meski tereduksi dengan defisit sektor migas, surplus neraca perdagangan tersebut didukung oleh surplus sektor nonmigas sebesar USD 4,26 miliar. 

Peningkatan ekspor nonmigas Indonesia pada Mei 2024 dibandingkan April 2024 diikuti dengan meningkatnya nilai ekspor ke sebagian besar negara tujuan utama seperti Tiongkok, Amerika Serikat, dan Jepang. Selain itu, ekspor Indonesia ke ASEAN dan UE juga mengalami kenaikan

Selain dari segi trade surplus, pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif tinggi di 5,11%, kemudian inflasi rendah di 2,8%, kemudian juga dari daya saing juga relatif tinggi. Peringkat daya saing Indonesia naik sebanyak 7 tingkat pada 2024 ini, tertinggi dalam 6 tahun terakhir. 

IMD World Competitiveness Ranking 2024

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perkonomian RI Airlangga Hartarto kunjungan kerja ke Jerman. (Foto: Kemenko Bidang Perekonomian)
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perkonomian RI Airlangga Hartarto kunjungan kerja ke Jerman. (Foto: Kemenko Bidang Perekonomian)

Di sisi lain, terkait riset IMD World Competitiveness Ranking 2024 mencatat Indonesia menduduki posisi ke-27 dari 67 negara, di mana pada 2023 lalu Indonesia berada di posisi ke-34. Airlangga menyebut secara fundamental Indeks Keyakinan Konsumen juga baik, PMI kita juga positif di atas 50

Meskipun kondisi fundamental ekonomi masih stabil, namun Airlangga mengatakan Pemerintah masih terus menjaga faktor sentimental regional dan mendorong masuknya investasi. 

“Devisa Hasil Ekspor juga kita dorong, dan juga kita minta kepada para pengusaha yang ekspornya masih punya devisa di luar negeri untuk dimasukkan ke dalam negeri,” pungkasnya.

Waspada, Rupiah Loyo Berpotensi Bikin Harga Obat Makin Mahal

dolar ke rupiah
Nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar, selalu mengalami perubahan setiap saat terkadang melemah terkadang juga dapat menguat.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mewaspadai nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terus melemah.

Faisal mengingatkan, pelemahan rupiah berlarut ini tentunya akan membuat barang-barang impor menjadi lebih mahal.  

Alhasil itu akan membuat beban industri yang harus meng-impor bahan baku semakin tinggi. Imbasnya, konsumen di dalam negeri pun akan turut terkena dampak kenaikan harga untuk beberapa barang, dalam hal ini Faisal mengambil contoh produk obat-obatan. 

"Hampir semua sektor itu memiliki ketergantungan terhadap impor walaupun dengan level yang berbeda-beda. Yang paling besar ketergantungan impor pada sektor-sektor seperti obat-obatan, farmasi," ujar dia kepada Liputan6.com, Minggu (23/6/2024).

Selain obat-obatan, ia juga melihat produk industri manufaktur semisal untuk sektor otomotif hingga elektronik pun cukup memiliki ketergantungan terhadap impor bahan baku dan bahan penolong.

"Industri tekstil juga kita tahu bahwa kapas mengimpor. Lalu industri makanan beberapa bahan antaranya kita belum cukup produksinya di dalam negeri," imbuh Faisal.

Menurut dia, kondisi ini jadi penyebab kenapa pelaku industri relatif mengalami peningkatan impor. Lantaran proses produksi yang kompleks, di mana tidak semua bahan bakunya bisa didapat di Indonesia. 

"Walaupun kita juga mengekspor, sebagian kita juga mengimpor pada jenis-jenis tertentu. Apalagi yang saya katakan tadi, untuk obat-obatan tingkat impornya masih relatif termasuk yang paling tinggi," kata Faisal. 

 

Rupiah Tertekan, Siap-Siap Harga BBM Naik pada Juli 2024

Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar Sudah Masuk Level Undervalued
Teller menukarkan mata uang dolar ke rupiah di Jakarta, Jumat (2/2). Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan, posisi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang berada di level Rp13.700 hingga Rp13.800.(Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, harga BBM milik PT Pertamina (Persero) disinyalir akan kembali mengalami kenaikan mulai Juli 2024, menyusul nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kian melemah. 

Padahal, Pertamina telah menahan harga BBM non subsidi miliknya naik sejak awal-awal tahun hingga Juni 2024, meskipun kurs rupiah dan harga minyak dunia fluktuatif.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai, kenaikan harga BBM non subsidi semisal Pertamax cs dalam waktu dekat memang tak terelakkan. 

Selain karena rupiah yang membuat ongkos impor BBM membengkak, harga minyak dunia yang terus bergerak naik jadi alasan kuat lain.

"Sangat mungkin harga BBM yqng non subsidi naik, apalagi harga minyak sekarang cenderung bergerak ke atas USD 80 per barel," kata Faisal kepada Liputan6.com, Jumat (21/6/2024).

Kendati begitu, ia tak bisa memperkirakan bagaimana gejolak harga BBM ke depan hingga akhir tahun. Lantaran beberapa faktor bisa mempengaruhi baik dari sisi positif ataupun negatif, semisal respon kebijakan fiskal pemerintah terhadap situasi saat ini. 

Terkait ketidakpastian ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat berjanji akan menghitung dan mempertimbangkan kemampuan fiskal negara terkait potensi kenaikan harga BBM setelah ditahan sejak awal tahun.

"Semuanya dilihat fiskal negara. Mampu atau tidak mampu, kuat atau tidak kuat," kata Presiden Jokowi beberapa waktu lalu, dikutip dari Antara. 

RI 1 menyatakan, kemampuan APBN untuk melakukan subsidi BBM akan dihitung dengan pertimbangan harga minyak dunia, terutama di tengah kondisi geopolitik. Menurut dia, semua aspek tersebut akan dikalkulasi dan dihitung lewat pertimbangan yang matang.

"Harga minyaknya sampai seberapa tinggi. Semuanya akan dikalkulasi, semua akan dihitung, semua akan dilakukan lewat pertimbangan-pertimbangan yang matang karena itu menyangkut hajat hidup orang banyak," kata Jokowi.

Sang Kepala Negara menilai, keputusan pemerintah terhadap harga BBM menyangkut hajat hidup orang banyak. "Bisa mempengaruhi harga, bisa mempengaruhi semuanya kalau urusan minyak," pungkas Jokowi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya