Liputan6.com, Jakarta Mulai 1 Januari 2025 tarif cukai rokok dipastikan akan naik kembali. Hal ini nantinya dipastikan akan berpengaruh terhadap harga rokok di pasaran. Indikasi tersebut menguat setelah DPR RI merestui Kementerian Keuangan untuk memberlakukan tarif baru cukai rokok tahun depan.
Untuk itu, kenaikan cukai rokok diharapkan tidak hanya dilihat dari segi finansial dan inflasi, tetapi juga dari dampak pada aspek pekerja.
Baca Juga
Faktanya, cukai dan pajak rokok yang lebih tinggi akan dibebankan langsung kepada konsumen. Mereka akan menanggung ongkos yang lebih tinggi untuk membeli rokok. Dengan kondisi tersebut, melambungnya peredaran rokok ilegal tidak bisa dihindari lantaran mahalnya harga jual eceran yang dipicu tingginya tarif cukai hasil tembakau, bersamaan dengan menurunnya produksi rokok legal.
Advertisement
Oleh karena itu, selain soal kesehatan, kenaikan cukai rokok harus melihat terlebih dahulu kemampuan ekosistemnya, terlebih konsumen. Pemerintah pun perlu meninjau juga dari sisi tingkat inflasi di masyarakat yang berkisar 2% untuk menjaga penerimaan negara dan upaya pengendalian konsumsi rokok juga tercapai.
Ekonom Tauhid Ahmad mengatakan daya beli masyarakat harus menjadi pertimbangan utama Pemerintah dalam menetapkan tarif cukai rokok tahun depan. Jika besaran tarifnya terlampau tinggi, justru akan membuka ceruk pasar yang makin luas bagi rokok ilegal lantaran gap harga dengan rokok legal kian melebar.
Dalam konteks ini, pilihan yang rasional jika konsumen memilih rokok yang lebih terjangkau sesuai dengan daya belinya, termasuk rokok ilegal. Dikutip dari data Kementerian Keuangan, produksi rokok ilegal mencapai 7 persen dari total rokok di Indonesia per tahun, maraknya rokok ilegal itu seiring dengan penurunan produksi rokok.
“Kalau terlalu tinggi maka akan ada gap harga beberapa jenis golongan rokok (khususnya SPM golongan I dan SKM golongan I) dengan golongan dibawahnya sehingga rokok ilegal akan muncul,” ujar Tauhid kepada media.
Penerimaan Cukai
Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), realisasi penerimaan cukai nasional sebesar Rp101,79 triliun pada semester I/2024, menurun 3,88% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Hal tersebut lantaran dipicu penurunan penerimaan cukai hasil tembakau sebesar 4,43% yang merupakan kontributor utama penerimaan cukai. Penurunan tersebut pun dinilai akibat terjadi fenomena downtrading, yakni produksi rokok lebih banyak dihasilkan oleh pelaku usaha golongan III yang memiliki tarif cukai lebih rendah.
Merujuk catatan tersebut, kebijakan tarif cukai saat ini dinilai belum efektif dalam menekan konsumsi perokok dan meningkatkan penerimaan negara. Bahkan Tauhid menilai, penurunan rokok legal terus berlangsung selama ini akibat dari kebijakan simplifikasi cukai yang diberlakukan Pemerintah.
Hal tersebut pun mengindikasikan penurunan volume produksi pabrikan rokok dimana dampak lanjutannya adalah permintaan pita cukai dari produsen rokok juga menurun, sehingga penerimaan CHT merosot.
Advertisement
Penyederhanaan Tarif Cukai
Dia mencatat dalam 3 tahun terakhir, penyederhanaan tarif cukai dari 10 golongan menjadi 8 golongan mengakibatkan penurunan produksi rokok legal yang cukup signifikan. “Kenaikan cukai yang berbeda tiap golongan menciptakan gap harga rokok yang tinggi sehingga rokok ilegal membesar,” jelasnya.
Tauhid pun mengimbau, dalam rencana penyesuaian tarif cukai rokok di 2025 agar Pemerintah juga bisa memberlakukan kembali kebijakan tarif multiyears. Menurutnya, terobosan ini memungkinkan kenaikan harga bisa diprediksi oleh pelaku usaha dan disesuaikan dalam jangka waktu 2 tahun serta implikasi sosial politiknya bisa diredakan.
Sebelumnya, Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengatakan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) perlu dibarengi dengan pengawasan ketat untuk melindungi industri hasil tembakau (IHT) dari peredaran rokok ilegal.
Ia mengatakan peningkatan tarif cukai tidak serta merta menurunkan minat merokok masyarakat. Namun justru konsumen cenderung mencari produk rokok yang harganya dianggap memenuhi kemampuan daya beli atau bahkan mencari alternatif lain dengan mengonsumsi rokok ilegal. "Harga merupakan variabel utama yang dapat mendistorsi perubahan keseimbangan berbagai pilar yang ada dalam IHT, penerimaan, kesehatan, tenaga kerja, dan peredaran rokok ilegal," katanya