Liputan6.com, Jakarta Rapat Paripurna DPR RI dengan agenda mengesahkan Revisi Undang-undang atau RUU Pilkada menjadi UU ditunda. Rapat sedianya dijadwalkan pukul 09.30 WIB, namun dibatalkan usai diskors. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco selaku pimpinan rapat beralasan karena tidak kuorum.
Lantas apa itu kuorum?
Baca Juga
Dikutip dari laman dpr.go.id, pengambilan keputusan dalam rapat DPR pada dasarnya diusahakan sejauh mungkin dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat, apabila tidak terpenuhi, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak
Advertisement
Setiap rapat DPR dapat mengambil keputusan apabila dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota rapat atau disebut kuorum. Apabila tidak tercapai, rapat ditunda sebanyak-banyaknya 2 kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 24 jam.
Setelah 2 kali penundaan kuorum belum juga tercapai, cara penyelesaiannya diserahkan kepada Bamus (apabila terjadi dalam rapat Alat Kelengkapan DPR), atau kepada Bamun dengan memperhatikan pendapat Pimpinan Fraksi (apabila terjadi dalam rapat Bamus).
Keputusan Berdasarkan Mufakat
Pengambilan keputusan berdasarkan mufakat dilakukan setelah kepada anggota rapat yang hadir diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat serta saran, dan dipandang cukup untuk diterima oleh rapat sebagai sumbangan pendapat dan pemikiran bagi penyelesaian masalah yang sedang dimusyawarahkan
Keputusan berdasarkan mufakat adalah sah apabila diambil dalam rapat yang telah mencapai kuorum dan disetujui oleh semua yang hadir.
Keputusan Berdasarkan Suara Terbanyak
Keputusan berdasarkan suara terbanyak diambil apabila keputusan berdasarkan mufakat sudah tidak terpenuhi karena adanya pendirian sebagian anggota rapat yang tidak dapat dipertemukan lagi dengan pendirian anggota rapat yang lain. Pengambilan keputusan secara terbuka dilakukan apabila menyangkut kebijakan dan dilakukan secara tertutup apabila menyangkut orang atau masalah lain yang dianggap perlu.
Pemberian suara secara tertutup dilakukan dengan cara tertulis, tanpa mencantumkan nama, tanda tangan, fraksi pemberi suara atau tanda lain yang dapat menghilangkan sifat kerahasiaan, atau dapat juga dilakukan dengan cara lain yang tetap menjamin sifat kerahasiaan.
Keputusan berdasarkan suara terbanyak adalah sah apabila diambil dalam rapat yang telah mencapai kuorum dan disetujui oleh lebih separuh jumlah anggota DPR yang hadir.
Rapat Paripurna DPR Pengesahan RUU Pilkada Tidak Kuorum
Diberitakan sebelumnya, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco selaku pimpinan rapat Rapat Paripurna DPR RI dengan agenda mengesahkan Revisi Undang-undang atau RUU Pilkada ditunda karena tidak kuorum.
“Sehubungan dengan belum terpenuhinya syarat paripurna, maka sesuai dengan pasal 281 ayat 3 penundaan dilakukan paling lama dalam waktu 30 menit. Apakah dapat disetujui?,” tanya Dasco di ruang rapat paripurna di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (22/8/2024).
Rapat pun diskors dan ditunda selama 30 menit. Namun usai 30 menit, peserta rapat tak kunjung memenuhi syarat tata tertib pengambilan keputusan. Maka dari itu Sufmi Dasco memutuskan untuk melakukan penundaan.
“Sesuai tata tertib yang ada di DPR dalam rapat pengambilan keputusan diskors 30 menit dan sesuai aturan rapat tidak bisa dilanjutkan maka secara otomatis tidak bisa dilaksanakan,” Dasco menanandasi.
Advertisement
ICW Nilai Revisi UU Pilkada oleh DPR Sebagai Bentuk Korupsi Kebijakan
Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menghentikan pembahasan revisi Undang-undang (UU) Pilkada yang diduga bermaksud menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK). ICW menilai revisi UU Pilkada sebagai bentuk korupsi kebijakan.
"(Revisi UU Pilkada) Menguntungkan individu atau kelompok tertentu adalah bentuk korupsi kebijakan. Pembahasan di DPR harus segera dihentikan," kata Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Egi Primayogha dalam keterangan tertulis, Kamis (22/8/2024).
Menurut Egi, masyarakat secara luas juga memandang revisi UU Pilkada yang dilakukan DPR itu memiliki satu tujuan tertentu. Revisi UU Pilkada disebut guna kepentingan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Publik tidak bisa dibodoh-bodohi, sudah jelas bahwa revisi bertujuan untuk menguntungkan dinasti Jokowi dan kroninya," ucap Egi.
Oleh karenanya, kata Egi publik layak marah terhadap Jokowi yang diyakini menjadi aktor utama revisi UU Pilkada di DPR RI. Pasalnya, Egi menambahkan catatan penyalahgunaan kekuasaan oleh Jokowi sebagai kepala negara sudah sering terjadi.
"Publik jangan lupa daftar panjang keculasan Jokowi, mulai dari penghancuran KPK hingga kecurangan pemilu 2024," kata dia.