Awas, Kebijakan Ini Bisa Bikin Tarif Listrik Naik

Anggota Dewan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Riki Firmandha Ibrahim menilai pembahasan skema power wheeling pada RUU EBET sarat dengan kepentingan yang berisiko bertentangan dengan UUD 1945 karena membahayakan negara dan masyarakat.

oleh Septian Deny diperbarui 07 Sep 2024, 22:42 WIB
Diterbitkan 06 Sep 2024, 20:10 WIB
Potongan Harga Tambah Daya Listrik Melalui Progam Ramadan
Petugas memeriksa meteran listrik di Rusun Bendungan Hilir, Jakarta, Rabu (7/4/2021). Lewat program Ramadan Peduli, pelanggan rumah tangga daya 450 VA sampai dengan 7.700 VA dapat membeli produk Renewable Energy Certificate (REC) sebesar Rp 115.500. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Anggota Dewan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Riki Firmandha Ibrahim menilai pembahasan skema power wheeling pada RUU EBET sarat dengan kepentingan yang berisiko bertentangan dengan UUD 1945 karena membahayakan negara dan masyarakat.

“Klausul power wheeling sudah dua kali dibatalkan oleh MK, nah skarang ngapain pembahasannya masih masuk ke ranah yang sudah dinyatakan melanggar. Ngapain kita di situ,” tegas Riki dikutip Jumat (7/9/2024).

Dalam pembahasan RUU tersebut, lanjut Riki, masih terdapat indikasi kuat yang memaksakan skema power wheeling masuk ke dalam RUU EBET.

“Ini bakal berisiko mengerek tarif dasar listrik dan memperbesar anggaran subsidi yang diberikan oleh negara,” kata Riki yang kini juga menjadi anggota Dewan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia.

Riki menjelaskan, masuknya power wheeling berisiko membuat harga listrik energi terbarukan menjadi berbeda dengan harga listrik yang sudah ditetapkan pemerintah. “Proses distribusinya pun akan membuat biaya energi makin mahal karena negara akan kesulitan menentukan tarif dasar listrik,” kata Riki.

Untuk itu, Riki berharap agar RUU EBET lebih fokus pada insentif yang diberikan kepada pengembang energi baru terbarukan. “Bukan malah melegitimasi liberalisasi sistem ketenagalistrikan,” ungkapnya.

Lebih lanjut, menurut Riki, sebaiknya pembahasan RUU EBET juga berfokus pada bagaimana teknologi energi terbarukan dapat berjalan di Indonesia.

“Hal ini sejalan dengan pemberian insentif atas teknologi energi terbarukan tersebut,” katanya.

 

Pemberian Insentif

FOTO: Listrik Gratis di Tengah Pandemi Virus Corona COVID-19
Warga memeriksa meteran listrik di kawasan Matraman, Jakarta, Kamis (2/4/2020). Di tengah pandemi COVID-19, pemerintah menggratiskan biaya tarif listrik bagi konsumen 450 Volt Ampere (VA) dan pemberian keringanan tagihan 50 persen kepada konsumen bersubsidi 900 VA. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Dengan kebijakan pemberian insentif tersebut, Riki meyakini manfaat yang dihasilkan akan lebih besar untuk perkembangan atau pembangunan ekonomi melalui GDP.

“Apalagi ke depan ada pajak karbon, ada mengenai pinjaman hijau, dan lain sebagainya,” tegas Riki.

Dengan adanya pajak karbon yang dihasilkan dari RUU EBET, kata Riki, aturan itu bakal menguntungkan masyarakat.

“Bukan malah merugikan masyarakat dengan membebani tarif listrik yang tinggi,” katanya. Riki menegaskan, pembahasan yang memasukkan skema power wheeling ke dalam RUU EBET menjadikannya tidak tepat sasaran. “DPR dan pemerintah harusnya berpihak kepada masyarakat,” tutupnya.

Tak Mau Persulit Prabowo, Bahlil Minta RUU EBET Segera Rampung

Sertijab Menteri ESDM
Untuk diketahui, proses pelantikan Bahlil sebagai Menteri ESDM berlangsung di Istana Negara, Jakarta Pusat, pada Senin ini. (merdeka.com/Arie Basuki)

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, meminta Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) bisa segera dirampungkan.

Hal itu diutarakan oleh Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, usai mengikuti rapat pimpinan (rapim) perdana bersama Bahlil Lahadalia di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (20/8/2024).

"Tadi tuh masalah undang-undang, RUU nih harus segera diselesaikan, RUU EBET. Ini masih belum terjadwalkan untuk sidang lagi. Tadi beliau juga meminta itu dipercepat," kata Eniya.Dengan akselerasi tersebut, pemerintah saat ini ingin agar masa pemerintahan berikutnya di bawah Prabowo Subianto tak lagi kerepotan dalam menyusun regulasi terkait energi hijau.

"Kalau UU ada, agar pemerintahan berikutnya itu tidak terhambat membaca lagi atau mengidentifikasi lagi RUU-nya," ujar Eniya.

Didesak Banyak Pelaku Usaha

Selain itu, penyelesaian RUU EBET ini juga didorong lantaran pihaknya banyak mendapat desakan dari para pelaku usaha agar bisa mengikuti perdagangan karbon.

"Karena begitu RUU disahkan, kita bisa lari ke carbon market trading di sektor energi. Sudah banyak sekali yang minta bisa trading. Karena dengan investasi renewable, harapannya mereka tuh trading carbon. Itu kita fasilitasi di undang-undang yang ada. Itu yang paling banyak," ungkapnya.

Padahal sebelumnya, Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, memperkirakan bahwa RUU EBET tidak dapat disahkan dalam masa sidang DPR periode sekarang.

 

Sulit Selesai Tahun Ini?

ESDM
PLTB ini bisa mengaliri listrik 360 ribu pelanggan 450 KV. Proyek ini bagian dari proyek percepatan pembangunan pembangkit 35.000 MW, sekaligus bagian dari upaya Pemerintah mencapai target bauran energi nasional 23 persen dari EBT pada 2025.

Mulyanto, yang juga anggota Panja RUU EBET, pesimistis RUU tersebut dapat diselesaikan tahun ini, karena relatif berjalan lambat dan alot, khususnya terkait dengan pasal power wheeling.

"Jangankan disahkan di tingkat Paripurna DPR RI, tahap pengambilan keputusan di tingkat I Pleno Komisi VII saja belum," kata Mulyanto beberapa waktu lalu.

Terkait substansi, menurut Mulyanto, Fraksi PKS sendiri menolak dimasukkannya aturan power wheeling dalam RUU EBET tersebut. Aturan tersebut membolehkan pihak pembangkit swasta untuk menjual listrik EBET yang diproduksinya secara langsung kepada masyarakat dengan menyewa jaringan transmisi/distribusi milik negara.

"Norma ini secara langsung akan mereduksi peran PLN," sebut Mulyanto.

Ia menegaskan penolakan ini soal prinsip, karena bertabrakan dengan norma yang telah ada. Pihak swasta tidak dapat menjual listrik yang diproduksinya secara langsung kepada masyarakat, sebab listrik dikuasai negara dan pengusahannya dilakukan oleh badan usaha milik negara/daerah.

PLN merupakan single buyer listrik dari pembangkit yang ada, sekaligus menjadi single seller listrik kepada para pengguna. Ini adalah prinsip monopoli negara atas sektor kelistrikan sebagai amanat konstitusi agar listrik tidak dikuasai orang per orang, yang akhirnya harganya ditentukan oleh mekanisme pasar.

"Menjadikan pihak swasta dapat menjual listrik yang diproduksinya secara langsung kepada masyarakat jelas-jelas adalah liberalisasi sektor kelistrikan," tegasnya.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya