Deflasi 5 Bulan Berturut-turut, Ekonomi Indonesia dalam Bahaya?

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa Indonesia kembali mengalam deflasi pada bulan September 2024. Artinya, Indonesia mengalami deflasi secara lima bulan berturut-turut hingga September 2024.

oleh Tira Santia diperbarui 01 Okt 2024, 18:30 WIB
Diterbitkan 01 Okt 2024, 18:30 WIB
Pertumbuhan Ekonomi DKI Jakarta Turun 5,6 Persen Akibat Covid-19
Deretan gedung perkantoran di Jakarta, Senin (27/7/2020). Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta mengalami penurunan sekitar 5,6 persen akibat wabah Covid-19. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa Indonesia kembali mengalam deflasi pada bulan September 2024. Artinya, Indonesia mengalami deflasi secara lima bulan berturut-turut hingga September 2024.

BPS mencatat, pada September 2024 terjadi deflasi sebesar 0,12% secara bulanan, atau terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 106,06 pada Agustus 2024 menjadi 105,93 pada September 2024.

Lantas apakah hal itu berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi?

Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda, menilai dengan adanya deflasi tersebut dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi tahun 2024 yang dikisaran 5 persen.

"Akibatnya pertumbuhan ekonomi akan melambat. Target 5 persen saya rasa sangat moderat dan realistis dengan kondisi sekarang. Lebih dari 5 persen saya rasa bonus. Kurang dari 5 persen saya bilang wajar," kata Nailul Huda kepada Liputan6.com, Selasa (1/10/2024).

Nailul menilai, terjadinya deflasi secara 5 bulan berturut-turut membuktikan bahwa daya beli masyarakat Indonesia tergerus akibat kebijakan Pemerintah yang tidak tepat.

"Daya beli kita tergerus akibat kebijakan pemerintah yang salah obat. Saat ini, masyarakat tengah didera penurunan daya beli dengan salah satu faktornya adalah penurunan disposible income," ujarnya.

Kenaikan Iuran

Kebijakan Pemerintah yang tidak tepat itu yakni, banyak kenaikan iuran yang dilakukan Pemerintah, seperti kenaikan pajak dan hal lainnya, kemudian subsidi energi dipangkas. Namun, hal itu tidak sejalan dengan pendapatan masyarakatnya yang terus tertekan.

"Pendapatan masyarakat naik terbatas di angka 1,5 persen saja. Tapi terjadi kenaikan iuran dari pemerintah dalam bentuk pajak maupun lainnya. Subsidi dipangkas, harga-harga pada naik. Konsumsi otomatis akan semakin loyo. Dampak dari kebijakan tersebut ya akhir tahun ini terjadi deflasi secara konsisten dalam 5 bulan terakhir," pungkasnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Indonesia Deflasi 5 Bulan Beruntun, Krisis Ekonomi 1999 Bakal Kembali Terulang?

20161003-Pasar Tebet-Jakarta- Angga Yuniar
Pedagang merapikan barang dagangannya di Tebet, Jakarta, Senin (3/10). Secara umum, bahan makanan deflasi tapi ada kenaikan cabai merah sehingga peranannya mengalami inflasi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) menjawab kekhawatiran masyarakat terkait potensi pelemahan ekonomi seperti tahun 1999 usai Indonesia mengalami deflasi secara lima bulan berturut-turut hingga September 2024. BPS mencatat, ekonomi Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,12 persen.

Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menuturkan deflasi pada periode 1999 terjadi selama tujuh bulan berturut-turut. Dalam catatannya, deflasi terjadi pada Maret hingga September.

"Catatan angka inflasi dari BPS pada tahun 1999 setelah krisis finansial Asia, Indonesia pernah mengalami deflasi 7 bulan berturut-turut selama bulan Maret 1999 sampai september 1999," kata Amalia di Gedung Pusat BPS, Jakarta, Selasa (1/10).

Di mengungkapkan deflasi pada 1999 terjadi usai menurunnya harga barang secara drastis setelah nilai tukar Rupiah mengalami depresiasi hebat di tahun 1998. Akibatnya, harga barang terjun bebas seiring dengan pulihnya keseimbangan pasar.

"Pada saat itu setelah diterpa inflasi yang tinggi sempat waktu itu kan ada inflasi tinggi karena terjadinya depresiasi nilai tukar Rupiah, tetapi kemudian tekanan depresiasi yang menurun otomatis harga-harga juga kembali kepada mulai kembali kepada keseimbangannya, nah ini yang menyebabkan deflasi," ucap dia.

Dalam catatannya, deflasi secara berturut-turut pernah terjadi dalam kurun Waktu 2008 sampai 2009. Secara spesifik deflasi terjadi pada Desember 2008 sampai dengan Januari 2009 akibat anjloknya harga minyak dunia.

"Di tahun 2020 juga pernah terjadi deflasi 3 bulan berturut-turut sejak Juli sampai dengan September 2020," ucap Amalia.

Terkait dengan deflasi selama lima bulan pada 2024. Hal ini disebabkan oleh komoditas pangan, khususnya holtikultura yang mengalami kelebihan pasokan atau over supply.

"Penurunan harga pangan seperti produk tanaman pangan hortikultura yang memberikan andil ya karena supply, nah ini tentunya harga bisa turun karena biaya produksi turun, karena biaya produksi turun, tentunya ini akan dicerminkan pada harga di tingkat konsumen ikut turun," bebernya.

 

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

 


Deflasi Beruntun

Inflasi
Pembeli membeli sayuran di pasar, Jakarta, Jumat (6/10). Dari data BPS inflasi pada September 2017 sebesar 0,13 persen. Angka tersebut mengalami kenaikan signifikan karena sebelumnya di Agustus 2017 deflasi 0,07 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik ( BPS) melaporkan perekonomian Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,12 persen secara bulanan atau month-to-month (mtm) pada September 2024.

Dengan perkembangan tersebut, inflasi tahunan sebesar 1,84 persen secara year on year (yoy). Sedangkan secara tahun kalender ataupun year to date (ytd) terjadi inflasi sebesar 0,74 persen.

"Pada September 2024 terjadi deflasi sebesar 0,12 persen secara bulanan atau terjadi penurunan indeks harga konsumen dari 106,06 pada Agustus 2024 menjadi 105,93 pada September 2024," kata Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers di Gedung Pusat BPS, Jakarta, Selasa (1/10).

Amalia bilang, deflasi pada September 2024 merupakan capaian selama lima bulan berturut-turut. Bahkan, deflasi pada September 2024 lebih dalam dibandingkan Agustus 2024.

 


Penyumbang Deflasi

20161003-Pasar Tebet-Jakarta- Angga Yuniar
BPS merilis dari kelompok pengeluaran, bagan makanan mengalami deflasi sebesar 0,07% dengan andil dalam inflasi September 2016 sebesar -0,01%, Jakarta, Senin (3/10). Harga beras dan telur ayam terkoreksi turun. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Secara bulanan kelompok pengeluaran penyumbang deflasi bulanan terbesar adalah makanan, minuman, dan tembakau dengan deflasi sebesar 0,59 persen dan memberikan andil deflasi sebesar 0,17 persen.

Di sisi lain, terdapat komoditas yang memberikan andil inflasi diantaranya secara segar dan kopi bubuk dengan andil inflasi masing-masing sebesar 0,02 persen.

Kemudian, biaya kuliah akademi atau perguruan tinggi, tarif angkutan udara dan sigaret kretek mesin (SKM) dengan andil inflasi masing-masing sebesar 0,01 persen.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya