Rupiah Kembali Perkasa Kamis 5 Desember 2024

Rupiah menguat seiring kelegaan investor pada pernyataan Ketua Federal Reserve, Jerome Powell yang mengisyaratkan kekuatan ekonomi AS dan tidak mengesampingkan ekspektasi untuk penurunan suku bunga pada Desember 2024.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 05 Des 2024, 19:40 WIB
Diterbitkan 05 Des 2024, 19:40 WIB
Donald Trump Kalah Pilpres AS, Rupiah Menguat
Petugas menghitung uang rupiah di penukaran uang di Jakarta, Senin (9/11/2020). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bergerak menguat pada perdagangan di awal pekan ini Salah satu sentimen pendorong penguatan rupiah kali ini adalah kemenangan Joe Biden atas Donald Trump. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melanjutkan penguatan pada Kamis, 5 Desember 2024. Rupiah ditutup menguat 33,5 point terhadap Dolar AS (USD), setelah sebelumnya sempat menguat 80 point di level Rp 15.903,5 dari penutupan sebelumnya di level Rp 15,937.

“Sedangkan untuk senin depan, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup menguat di rentang Rp 15.850 - Rp15.910,” kata Direktur PT. Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi dalam keterangan di Jakarta, Kamis (5/12/2024)

Rupiah menguat seiring kelegaan investor pada pernyataan Ketua Federal Reserve, Jerome Powell yang mengisyaratkan kekuatan ekonomi AS dan tidak mengesampingkan ekspektasi untuk penurunan suku bunga pada Desember 2024.

Namun, Powell tetap mengisyaratkan pendekatan yang lebih hati-hati terhadap pelonggaran di masa mendatang. Penguatan Rupiah juga berlanjut usai pencabutan status darurat militer oleh Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol yang menimbulkan tuntutan agar ia dimakzulkan oleh para legislator negara tersebut.

Kementerian Keuangan Korea Selatan pada Kamis (5/12) juga mengumumkan dana stabilisasi pasar sebesar 40 triliun won setelah deklarasi Yoon mengganggu pasar.

Bank of Korea dapat membeli obligasi dan memperluas operasi repo, dengan otoritas siap bertindak berdasarkan rencana darurat jika diperlukan.

“Investor tetap waspada karena Asia menghadapi risiko geopolitik yang meningkat, termasuk momok tarif perdagangan AS di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump yang akan datang. Fokus minggu ini adalah pada data paryroll nonpertanian utama di AS untuk kejelasan lebih lanjut tentang prospek suku bunga The Fed,” papar Ibrahim.

 

Apa Kata Ekonom Soal PPN 12%?

Penerimaan Pajak 2022 Capai Target
Petugas melayani wajib pajak di salah satu kantor pelayanan pajak pratama di Jakarta, Kamis (29/12/2022). Penerimaan pajak tercatat melampaui target 2022 meskipun tanpa pelaksanaan program pengungkapan sukarela atau PPS dan kenaikan tarif pertambahan nilai atau PPN menjadi 11%. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Ibrahim mengungkapkan, ekonom menilai urgensi kenaikan tarif PPN 12% pada 2025 hanya dilakukan karena termaktub dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang diteken pada 2021.

“Adapun, keinginan pemerintah menambah penerimaan negara lewat kenaikan PPN dikhawatirkan memukul daya beli masyarakat saat ini,” sebutnya. Semangat menaikkan PPN dalam Undang-Undang (UU) No.7/2021 yang diteken pada tiga tahun silam sudah berbeda dengan kondisi sekarang.

Saat itu, defisit fiskal diperbolehkan di atas 3% dan berdampak pada pembiayaan yang cukup besar. Melalui semangat untuk menambah penerimaan negara, PPN naik menjadi 11%.

“Melihat realisasi defisit APBN 2024 yang mencapai 1,37% dari PDB atau setara Rp.309,2 triliun per Oktober 2024, ekonom meyakini defisit akan lebih rendah dari target sebesar Rp 522,8 triliun atau 2,29% dari PDB. Artinya, akan ada potensi tambahan Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang dapat menutup defisit APBN tahun depan tanpa menggunakan utang,” kata Ibrahim.

Disebutkannya, ekonom menganggap belum ada urgensi penerapan PPN 12% pada tahun depan, kecuali amanah UU HPP. Sementara peraturan tersebut bisa diintervensi melalui penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau Perppu. Sebagaimana UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara yang tidak membolehkan defisit melebihi 3%.

“Sebagaimana UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara yang tidak membolehkan defisit melebihi 3%. Namun pada pandemi Covid-19, pemerintah menerbitkan Perppu yang kemudian menjadi UU No.2/2020 dengan memperkenankan defisit melebihi ketentuan awal,” papar Ibrahim.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya