Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) mengkritik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Menurut, Zulkifli Hasan, BRIN seharusnya fokus mengembangkan penelitian bibit tanaman unggul.
"Kita butuh bibit padi, kita butuh bibit jagung, kita butuh bibit sawit, kedelai, dan lain-lain. Tapi BRIN menelitinya moderasi beragama. Gimana? susah kan? Yang diteliti nasab. Kita perlunya bibit padi. Jadi begitu tertinggal," ucap kesal Zulkifli Hasan, Jakarta, Rabu (15/1/2025).
Baca Juga
Akibatnya, sektor pertanian Indonesia kian kekurangan aneka bibit unggul. Hal ini tercermin dari kian menurunnya produksi beras akibat kurangnya pengembangan bibit unggul.
Advertisement
"Jadi bayangkan betapa tertinggalnya kita. Karena pertanian, lembaga-lembaga lain nggak boleh riset. Riset hanya ada di BRIN," tegasnya.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, Presiden Prabowo mencanangkan program swasembada pangan. Salah satu target besar presiden adalah mewujudkan target besar tersebut pemerintah memutuskan tidak akan melakukan impor terhadap komoditas beras, jagung, gula, dan garam untuk tahun 2025.
"Oleh karena itu kami udah rapat sudah putuskan. Kita tahun ini enggak impor beras lagi. Enggak impor beras lagi. Jagung enggak, kemudian garam," tandasnya.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com
Â
Pemberhentian Impor Pangan di 2025 Berpotensi Genjot Penyerapan Gabah Petani
Sebelumnya, Pemerintah memastikan bahwa impor pangan akan diberhentikan mulai 2025. Hal tersebut diungkap oleh Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pangan Zulkifli Hasan. Langkah ini guna mendorong swasembada pangan nasional.
Zulkifli Hasan menyebut, swasembada pangan menjadi program prioritas utama pemerintah dari awal pencapaian target di 2029, kemudian dimajukan ke 2027.
Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi Digital CELIOS, Nailul Huda menilai kebijakan pemberhentian impor, terutama dalam komoditas beras, sudah tepat.
Karena dengan adanya pemberhentian impor, pemerintah bisa menyerap gabah dari petani, melalui Bulog, untuk bisa menjadi cadangan beras dalam negeri.
"Beberapa tahun terakhir, fungsi penyerapan gabah oleh Bulog ini tidak berjalan secara optimal. Akhirnya membuat harga beras melambung tinggi dan Pemerintah tidak bisa intervensi karena stok cadangan beras pemerintah sangat minim," ungkap Huda kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (3/1/2025).
Sama halnya untuk komoditas pangan lain, Pemerintah perlu melihat dari neraca komoditas masing-masing.
Â
Advertisement
Neraca Komoditas
Sebagai informasi, neraca komoditas disusun dari permintaan dalam negeri dan supply yang bisa dipenuhi dari dalam negeri. Permintaan ini digunakan untuk permintaan rumah tangga dan industri. Sedangkan supply dihitung dari kapasitas produksi pangan nasional.
"Bagi komoditas yang supply dari dalam negerinya masih sangat jauh dari kata cukup, ya impor bisa dilakukan dengan catatan harus prudent secara data," jelas Huda.
Di sisi lain, masih ada komoditas yang belum secara masif dikembangkan di dalam negeri.
"Saya rasa harus diupayakan terlebih dahulu untuk bisa dipenuhi dari dalam negeri. Sembari meningkatkan produktivitas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, impor bisa dilakukan secara prudent," imbuhnya.Â