Liputan6.com, Jakarta - Presiden Bank Dunia, Ajay Banga mengingatkan para pembuat kebijakan di seluruh dunia untuk tidak bereaksi tergesa-gesa, terhadap kebijakan tarif impor pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
"Satu-satunya saran saya kepada semua orang adalah jangan terlalu terburu-buru untuk menanggapi atau menilai," ujar Banga, dikutip dari The Business Standard, Selasa (28/1/2025).
Baca Juga
Menurut Banga, negara-negara di seluruh dunia perlu menunggu untuk melihat kebijakan apa yang benar-benar akan dilaksanakan pemerintahan Donald Trump.
Advertisement
"Saya pernah berurusan dengannya (Trump) di masa lalu. Dia orang yang sangat praktis, dia mengerti angka, dia mengerti pengaruh dan dia mengerti keuntungan. Anda harus menemuinya dan menjelaskan kepadanya apa yang Anda bawa," ungkap Banga, dalam sebuah wawancara di sela-sela KTT Energi Mission 300 Africa di ibu kota komersial Tanzania, Dar Es Salaam.
Adapun dalam minggu pertama menjabat sebagai Presiden AS, Trump menandatangani serangkaian perintah eksekutif dan rencana kebijakan, mulai dari tarif impor terhadap Kanada, Meksiko, dan Tiongkok hingga peninjauan ulang terhadap semua bantuan asing yang ada.
AS dan Kolombia mengakhiri gelombang perang dagang setelah Gedung Putih mengatakan mitra dagang AS terbesar ketiga di Amerika Latin itu telah setuju untuk menerima pesawat militer yang membawa migran yang dideportasi.
Rancangan kebijakan Washington yang sekarang ditunda, mencakup penerapan tarif yang tinggi dan meningkat pada semua impor Kolombia, larangan perjalanan, dan pencabutan visa pada pejabat pemerintah Kolombia.
Bank Dunia pun tidak mengesampingkan dampak dari pembatasan perjalanan.
"Jika visa mereka tidak berfungsi, itu masalah," ucap Banga.
Ketika ditanya tentang perintah penghentian kerja yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri AS atas semua bantuan asing ke AS, Banga mengatakan, pemberi pinjaman yang berpusat di Washington itu belum terpengaruh karena beroperasi secara berbeda dengan bantuan bilateral.
Pertumbuhan Ekonomi Global Berisiko Stagnan Imbas Tarif Impor Donald Trump
Namun, Bank Dunia sebelumnya mengungkapkan perekonomian global akan stagnan tahun ini, di tengah kekhawatiran termasuk tarif impor baru yang dikenakan pemerintahan presiden terpilih AS Donald Trump.
Melansir BBC, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan stagnan di kisaran 2,7% di 2025, menjadikan kinerja terlemah sejak 2019, selain dari kontraksi tajam yang terlihat pada puncak pandemi Covid-19.
Wakil Kepala Ekonom Bank Dunia, Ayhan Kose mengatakan, tarif perdagangan, yang akan diberlakukan Donald Trump dapat memiliki konsekuensi ekonomi di seluruh dunia.
Prospek pajak yang lebih tinggi yang diberlakukan pada impor ke AS mengkhawatirkan banyak pemimpin dunia karena hal itu akan membuat perusahaan lebih mahal untuk menjual barang-barang mereka di AD
Kose mengatakan, meningkatnya ketegangan perdagangan antara negara-negara ekonomi utama merupakan salah satu kekhawatiran terbesar terhadap ekonomi global pada 2025.
Kekhawatiran lainnya termasuk suku bunga yang tetap tinggi untuk waktu yang lebih lama dan meningkatnya ketidakpastian kebijakan yang merusak kepercayaan bisnis dan investasi.
Bank Dunia mengatakan bahkan kenaikan 10% tarif AS atas impor dari setiap negara akan mengurangi pertumbuhan ekonomi global sebesar 0,2% jika negara-negara tidak menanggapi.
"Jika mereka melakukannya, ekonomi global dapat terpukul lebih keras,” Kose menambahkan.
"Setiap kali Anda memberlakukan pembatasan perdagangan, akan ada konsekuensi buruk yang paling sering dialami oleh negara yang memberlakukannya," bebernya.
Advertisement
Daftar Negara yang Kena Tarif Impor Tinggi Donald Trump Februari 2025
Seperti diketahui, Donald Trump secara resmi diambil sumpahnya sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada hari Senin, 20 Januari 2025, sesuai dengan waktu setempat. Dalam pidato pelantikannya, ia tidak mengumumkan rencana untuk meningkatkan tarif impor terhadap beberapa negara, meskipun isu ini sempat menjadi sorotan selama masa kampanyenya.
Walaupun demikian, ia sudah memberikan sinyal bahwa kebijakan kenaikan tarif impor tersebut akan tetap dilaksanakan. Pada hari yang sama, Presiden Donald Trump menyatakan bahwa tarif baru mungkin akan dikenakan kepada Meksiko dan Kanada paling cepat pada awal bulan Februari.
"Kami berpikir dalam hal (pungutan) 25% pada Meksiko dan Kanada, karena mereka mengizinkan sejumlah orang melintasi perbatasan," ungkap Trump, seperti yang dikutip dari CNBC pada Selasa (21/1/2025).
Ia juga menyebut Kanada sebagai "pelaku yang sangat buruk." Presiden Trump menegaskan bahwa target penerapan tarif tersebut adalah sekitar 1 Februari 2025.
Pernyataan ini disampaikan kepada para jurnalis saat pemimpin baru tersebut memberikan serangkaian perintah eksekutif yang berfokus pada berbagai isu, mulai dari regulasi hingga kebebasan berbicara dan imigrasi.
Ada Ketidakpastian
Walaupun sudah menjadi rahasia umum bahwa Trump berencana untuk menerapkan bea masuk secara menyeluruh pada mitra dagang AS, masih ada ketidakpastian mengenai waktu dan lingkup penerapannya. Terdapat spekulasi bahwa tarif mungkin akan ditunda dan hanya diberlakukan pada barang-barang tertentu, bukan secara menyeluruh.
Dalam sambutannya, Trump tidak memberikan rincian lebih lanjut mengenai cara dan waktu penerapan tarif tersebut. Ia menunjukkan bahwa tidak akan ada tarif yang diberlakukan pada hari pertama ia menjabat, di tengah serangkaian penandatanganan perintah eksekutif yang dilakukan.
Tarif Impor 10% ke China
Selain Kanada dan Meksiko, Trump juga mengkaji tarif impor sebesar 10% terhadap China. Bea masuk tersebut mulai berlaku paling cepat pada 1 Februari mendatang.
"Kita berbicara tentang tarif 10% untuk China berdasarkan fakta bahwa mereka mengirim fentanil ke Meksiko dan Kanada," kata Trump kepada wartawan di Gedung Putih pada Selasa (21/1).
"Mungkin 1 Februari adalah tanggal yang kita lihat," lanjutnya.
Sebagai informasi, Fentanil, opioid sintetis, merupakan obat adiktif yang telah menyebabkan puluhan ribu kematian akibat overdosis setiap tahun di AS.
Trump juga mengaku ia sudah berbicara dengan Presiden China Xi Jinping melalui telepon terkait isu Fentanil dan perdagangan.
Advertisement