[VIDEO] Sudah Punya 76, Jakarta Masih Butuh 4 Mal Baru

"Ideal Jakarta itu punya 80 mal. Mungkin bisa dibangun lagi 4 mal kelas menengah," kata Ketua Umum APPBI Handaka Santosa.

oleh Nurseffi Dwi Wahyuni diperbarui 21 Okt 2013, 07:04 WIB
Diterbitkan 21 Okt 2013, 07:04 WIB
videografer-jakart-4-mal-131020b.jpg
Baru-baru ini Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo membuat gebrakan baru yaitu menghentikan sementara (moratorium) izin pendirian pusat perbelanjaan di ibukota.  Alasannya cukup sederhana, yaitu jumlah mal di Jakarta sudah terlalu banyak.

Bahkan mantan Walikota Solo ini menyebut Jakarta sebagai kota dengan mal terbanyak di dunia dengan 173 mal. Selain itu, mal juga dianggap sebagai  pemicu masyarakat menjadi lebih konsumtif.

Tapi hal ini dibantah oleh Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Handaka Santosa. Menurut dia, keberadaan mal tidak membuat masyarakat menjadi konsumtif.

Mal dibutuhkan tidak hanya sebagai tempat untuk berbelanja, tapi untuk aktivitas lainnya seperti bertemu dengan dengan kerabat atau rekan bisnis, makam malam bersama keluarga, atau sekadar jalan-jalan untuk cuci mata.

Untuk itu, Chief Executive Officer (CEO) Senayan City ini berpendapat Jakarta masih kekurangan mal. Dengan pertumbuhan ekonomi dan terus meningkatnya masyarakat kelas menengah, setidaknya perlu ada empat mal yang dibangun di ibukota.

Ditemui Nurseffi Dwi dari Liputan6.com di kawasan Senayan City, Jakarta, Handaka yang juga menjabat sebagai Vice President Director PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) bercerita panjang lebar soal kondisi pusat perbelanjaan di Jakarta, seperti ditulis Senin (21/10/2013).


Bagaimana tanggapan Anda terkait kebijakan moratorium izin pembangunan pusat perbelanjaan di Jakarta?

Sebetulnya kalau dilihat pusat perbelanjaan itu ada dua jenis yaitu mal dan trade centre yang mempunyai dua operasional yang berbeda, yang satu sewa dan satu strata title.

Kalau kita lihat memang populasi di kota Jakarta sangat tinggi. Belum pekerja yang datang pagi, pulang malam hari. Memang Jakarta secara kepadatan sangat tinggi.

Saat ini,  di Jakarta sudah ada 76 pusat belanja mal dan trade centre, makanya pas dibilang 170-an saya heran, dimana sisanya karena yang disebut pusat belanja itu ada kriterianya berdasarkan peraturan daerah. Jadi sebenarnya kalau supermarket, itu tidak bisa dikategorikan sebagai pusat perbelanjaan.

Menurut Anda, apa jumlah 76 itu sudah ideal buat Jakarta?

Yah, kita lihat saat ini ukuran cukup atau kurang untuk satu pusat perbelanjaan bisa dilihat dari kenyataannya di lapangan. Jadi kalau kita lihat saat ini retailer (penyewa toko) yang masuk pada satu mal, itu tidak ada tempat. Malah mereka masuk  dalam waiting list (daftar tunggu).

Ini yang menurut saya agak sedikit mengkhawatirkan karena antara supply (pasokan) dan demand (permintaan) tidak seimbang. Maka yang akan terjadi adalah harga sewa bakal naik kalau supply-nya kurang.

Memang kalau untuk mal yang kelas atas, saya rasa cukup. Tapi kalau mal yang kelas menengah terjadi kekurangan karena adanya pertumbuhan ekonomi, jumlah masyarakat kelas menengah yang naik. Kita tahu Indonesia ini bisa tumbuh karena adanya konsumsi domestik,  sekali lagi bukan konsumerisme tapi konsumsi domestik yang cukup tinggi.

Jadi kalau saya lihat sebetulnya saat ini ideal Jakarta itu punya 80 mal. Mungkin bisa dibangun lagi empat mal kelas menengah.

Namun di beberapa mal kelihatannya sepi pengunjung. Bagaimana tanggapan Anda?

Kalau dilihat memang sebagai pengelola pusat belanja, kita harus orientasinya kepada service (pelayanan). Bagaimana kita memberikan pelayanan, menyediakan fasilitas seperti tempat shalat, apakah kita sudah friendly dengan disable (penyandang cacat), apakah untuk pengendara kursi roda bisa turun-naik di mal dan juga fasilitas-fasilitas lain. Saya rasa ini yang sangat dibutuhkan konsumen.

Apakah benar semakin banyak mal malah bikin masyarakat makin konsumtif?

Setiap orang yang datang ke pusat perbelanjaan itu tidak semuanya belanja, ada yang ingin bertemu kerabat, atau ada yang makan. Karena pusat belanja itu merupakan satu meeting point dan lifestyle (gaya hidup) yang makin maju. Ini bukan konsumerisme, tapi memang ada kebutuhan untuk berbelanja. Kadang orang ke mal bukan buat beli baju untuk diri sendiri, tapi untuk relasi atau buat keluarganya sebagai oleh-oleh. Sifat dasarnya orang Indonesia kan senang berbagi.

Lalu jika moratorium berlanjut apa dampaknya?

Tentunya kalau pemerintah menetapkan seperti itu kami sebagai  wakil pengusaha akan ikutin.  Saya sangat sayangkan suatu ketetapan tanpa berdasarkan input yang correct atau survei di lapangan.

Itu bisa dilihat banyak mal yang okupansinya  (tingkat hunian) di atas 95% bahkan ada yang 100%. Jadi padat sekali saya kasihan para peritel, yang ingin menyewa dan buka usaha sendiri buka restoran, dan memproduksi fashion sulit sekali masuk.

Itu yang saya worry dan kalau memang suplainya terbatas, harga sewanya akan naik dan yang menderita peritel.  Tentunya harga sewa naik akan membuat harga jual barangnya bakal ikutan naik jadi yang kena ya konsumen. 

Jadi saya rasa bisa dicari jalan terbaik, diadakan survei satu kunjungan, apakah ada kemungkinan membangun lagi atau tidak. Saya sangat setuju untuk selanjutnya harus sesuai dengan tata ruang.

Apa pengelola mal sudah melakukan lobi ke Pemprov DKI agar moratorium diakhiri?

Tentunya kami sangat menghargai rencana pemerintah DKI Jakarta yang memiliki pemikiran positif. Jadi saran saya satu: lihat data di lapangan secara langsung.  Jadi tidak usah saling adu argumentasi, tapi lihat di lapangan. Saya sangat senang kalau diminta mendampingi pemerintah untuk  melihat kenyataan di lapangan.

Memang seberapa penting mal untuk Jakarta?

Kita tidak boleh lepas dari fungsi kota jakarta sebagai barometer dan sebagai ibukota negara, di mana Jakarta sendiri tidak hidup dari  pertambangan atau perkebunan.  Tapi lebih kepada jasa dan perdagangan, pusat perbelanjaan tentu menjadi salah satu daya tariknya.

Saya mendukung larangan membangun mal di jalur hijau. Malahan beberapa mal sudah menerapkan green concept (konsep ramah lingkungan) seperti air hujan dari atap masuknya langsung ke resapan dan tidak langsung ke got. Ada juga recycle (daur ulang) air buangan, saya rasa itu positf.  (Ndw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya