Kisah Gubernur BI Terkurung Tiga Isu Besar Krisis Ekonomi Dunia

Tiga isu besar harus dihadapi Gubernur BI yang baru Agus Martowardojo di awal kepemimpinannya. Bagaimana respon mantan Menkeu tersebut?

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 14 Nov 2013, 21:39 WIB
Diterbitkan 14 Nov 2013, 21:39 WIB
agus-marto-131023c.jpg
Tak ada pihak yang bisa menyangka bila ekonomi Indonesia akan mengalami tekanan berat di paruh kedua 2013 akibat kebijakan Amerika Serikat (AS) yang berniat mengurangi stimulus moneter atau dikenal tapering off? Tak ada pula yang berpikir jika Gubernur Baru Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo justru harus menghadapi persoalan berat di awal masa kepemilimpinannya.

Berbicara disela Bankers Dinner 2013, mantan Menteri Keuangan ini mengisahkan sinyal tapering off program stimulus Bank Sentral AS, The Federal Reserve, baru muncul dua hari setelah dirinya bergabung di BI. Dari sinilah, awal mula gejolak pasar keuangan Indonesia terjadi.

"Saya sungguh merasakan tantangan ekonomi yang tidak ringan di tahun ini," jelas Agus dalam acara Bankers Dinner di Jakarta, Kamis (14/11/2013) malam.    

Agus mengakui, Sinyal tapering off The Fed bergerak dengan singkat namun pengaruhnya justru mendunia. Sejak munculnya sentimen tersebut, aliran keluar modal portofolio asing mengalir deras hingga akhir Agustus 2013 yang berujung pada tekanan nilai tukar rupiah yang cukup tajam.

Selain isu dari Negeri Paman Sam, kepemimpinan BI di bawah Agus Martowardojo juga harus menghadapi tiga isu global yang sangat sensitif dan bisa berpengaruh besar terhadap perekonomian Indonesia pada 2013. Pertama, ketidakpastian mengenai kecepatan pemulihan global akibat pergeseran landskap ekonomi dunia.

Isu kedua, ketidaktegasan kebijakan di AS, baik penarikan stimulus moneter maupun penyelesaian batas anggaran serta penghentian belanja pemerintah. Dan ketiga, ketidakpastian perkembangan harga komoditas.

"Tiga isu ini tidak dapat dihindari sehingga menurunkan kinerja ekonomi Indonesia. Kuatnya tekanan global mengakibatkan neraca transaksi berjalan mengalami tekanan, dan nilai tukar rupiah melemah sejalan pemburukan neraca pembayaran serta peningkatan inflasi dari kenaikan harga BBM subsidi," tuturnya.

Menghadapi situasi buruk tersebut, pemerintah dan BI berupaya menempuh berbagai kebijakan untuk mengawal proses koreksi perekonomian. Respon kebijakan itu difokuskan pada upaya menjaga stabilitas ekonomi sehingga koreksi dalam jangka pendek tetap terkendali.

Tak terkecuali, BI juga mengaku harus menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 175 basis poin menjadi 7,5% selama Juni-November 2013. Disamping memperkuat operasi moneter, melakukan stabilisasi kurs rupiah terhadap dolar AS, memperkuat kebijakan makroprudensial, kerja sama antar bank sentral dan berkoordinasi dengan pemerintah.

Kebijakan tersebut mendapat dukungan dari pemerintah yang ikut merilis paket kebijakan ekonomi makro jilid I.

Respon kebijakan yang dibuat tersebut diklaim berbuah positif ditandai dengan mulai adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi, defisit neraca perdagangan kuartal III 2013 yang mulai berkurang, serta peningkatan aliran masuk modal asing. Tak hanya itu, Indonesia juga mulai melihat neraca pembayaran positif serta kurs rupiah yang stabil sejak akhir September 2013.

Pada saat yang bersamaan, Agus mengklaim, laju inflasi mulai terkendali dan telah menurun ke pola historis.

Dengan berbagai antisipasi dan kebijakan yang telah dibuat tersebut, bank sentral cukup yakin pertumbuhan ekonomi 2013 bakal mencapai 5,7% atau lebih rendah dibanding tahun lalu di level 6,2%. "Tapi masih lebih tinggi dibanding negara-negara peers dengan rata-rata sekitar 3,6%," pungkas dia.(Fik/Shd)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya