Liputan6.com, Jakarta - Para peneliti di Selandia Baru menyebutkan bahwa teori konspirasi mengenai COVID-19 meningkat secara drastis sejak varian delta muncul pada akhir Agustus 2021 lalu.
Mereka mengungkapkan, sejak 17 Agustus hingga 5 November 2021 terjadi pertumbuhan dan penyebaran disinformasi. Hal ini juga didukung pertumbuhan konten tentang COVID-19 di media sosial dan belum pernah terjadi sebelumnya.
"Kami mencatat bahwa ini berdasarkan urutan besarnya lebih dari kecepatan konten dan tersebar di tahun 2020, dan bahkan di paruh pertama tahun 2021," kata peneliti dari Kate Hannah dikutip dari stuff.co.nz, Senin (15/11/2021).
Advertisement
Baca Juga
Kate Hannah dan peneliti lainnya yakni Sanjana Hattotuwa, dan Kayli Taylor menganalisis sejumlah besar data di berbagai platform, baik Telegram hingga Facebook dan Instagram.
Mereka menyimpulkan lanskap disinformasi itu canggih, termotivasi, adaptif, tangguh, semakin keras, dan sangat mudah berubah.
Selama masa studi, mereka melihat pergeseran dari keraguan vaksin ke resistensi vaksin di antara kelompok inti yang dipantau di Telegram.
Mereka menemukan persepsi bahwa COVID-19 dan peluncuran vaksin Pfizer digunakan sebagai simbol untuk mendorong berbagai pandangan sayap kanan dan konservatif dari kontrol senjata, hak tanah pedesaan, hak tanah kedaulatan Māori, kebebasan berbicara, aborsi, eutanasia, dan reformasi hukum ganja.
Sementara itu, penggunaan meme juga digunakan sebagai penanda identitas dalam kelompok yang kuat dan memberikan kesempatan untuk mengolok-olok anggota kelompok lainnya.
"Konten ini berkisar dari tujuan lucu meme yang diketahui hingga konten seksis dan rasis yang eksplisit, citra kematian dan eksekusi, dan citra bersejarah dari Holocaust, Perang Dingin, dan peristiwa kekerasan atau ekstremis lainnya," tambah Taylor.
Para peneliti juga mengamati mereka yang paling aktif menyebarkan misinformasi dan disinformasi, menargetkan dan mengambinghitamkan komunitas yang sudah terpinggirkan atau rentan.
Sebagian besar konten berisi tuduhan COVID-19 sebagai pertarungan antara individu dan negara. Dalam hal ini, negara digambarkan sebagai tirani, pengkhianat, dan mengabaikan hukum.
Kemudian, penggunaan bahasa pada penyebaran misinformasi tersebut menjadi semakin kasar dalam 12 minggu terakhir di Selandia Baru.
"Bahasa yang secara khusus menargetkan individu dan kelompok minoritas telah menjadi lebih keras dan gamblang," ucap Taylor.
Penulis: Geiska Vatikan Isdy
*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tentang Cek Fakta Liputan6.com
Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.
Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi patner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun, tak akan mempengaruhi independensi kami.
Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.
Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.
Advertisement