Liputan6.com, Jakarta Di sebuah media lokal, terpampang berita adanya aksi borong takjil dari salah satu calon wali kota. Seru juga. Kemudian ada testimoni penjualnya yang memuja-muja si calon laksana dewa. Sementara kelihatan juga sikap "anggun dan berwibawa" si pemborong. Apalagi ketika si pembeli memberi pernyataan kepada wartawan.
"Tidak kurang dari 500 takjil saya beli dari pedagang dadakan, lalu saya bagikan lagi kepada warga," kta calon walikota ini sambil alisnya terangkat dan jarinya membetulkan gaya kumisnya.
Peristiwa itu bukan fiksi. Benar-benar terjadi di sebuah kota dingin di sebelah selatan Semarang. Sebuah kota yang sebentar lagi menggelar pemilihan walikota.
Advertisement
Menyaksikan peristiwa ini, mendadak ingat dengan humor pengemis. Salah satunya ketika mendapati pengemis dengan kaki 'buntung' sebelah mendadak bisa lari seperti Gundala atau The Flash tatkala ada razia Satpol PP. Atau pengemis berwajah memelas, tiba-tiba meradang dan memaki saat "hanya" diberi recehan lima ratus rupiah.
Hmmm....sebenarnya bukan humornya yang mengingatkan pada politikus si pemborong takjil. Namun mari kita teliti ulang. Derma yang diberikan ke pengemis itu, sejatinya semacam kompensasi ongkos risih daripada ekspresi simpati. Akhirnya ketemu formulanya. Di Indonesia, berderma itu seperti memaknai kebebasan yang harus diikuti kosa kata bertanggungjawab. Jadi berderm itu ternyata bersyarat.
Sampai di titik ini, mari kita lihat psikis si "pemberi" di hadapan pihak yang "diberi". Mekanisme "memberi" rupanya harus melewati birokrasi jiwa yang mbulet. Si "pemberi" serta merta mendapatkan tempat duduk imajiner yang serba dominan. Ketika mengulurkan tangan, si "pemberi" ini otomatis merasa berhak mengubah intonasi suaranya, gaya duduknya, gaya berjalannya, bahkan bentuk kumisnya, seperti si calon walikota di bagian paling depan tulisan ini.
Itu belum dramatis. Dari rangkaian perubahan jiwa si "pemberi" titik puncaknya adalah ketika ia juga merasa "berhak" ikut mengelola pemberinnya. Kalau dalam contoh di awal tulisan ini menjadi sngat dimengerti bagaimana si calon walikota merasa "berhak" menyuruh pihak yang dibelikan takjil itu untuk menyantapnya usai adzan maghrib. Meski yang diberi banyak juga yang tak berpuasa.
Ketika mengulurkan sekantung plastik kolak pisang, sang calon walikota tak lupa menyampaikan "nasehat". Hidup harus begini, harus begitu. Seikhlas apapun, ternyata pemberian itu menjadi bersyarat. Syarat paling kelihatan adalah bersedia mendengarkan nasehatnya.
Sampai disini, kekecewaan si pemberi bermula. Ketika ia mendapati pihak yang "diberi" manggut-manggut di depannya, namun diam-diam sekantong kolak itu ia embt di belakangnya.
Dipastikan berawal dari situ, ia akan mulai selektif ketika memberi bantuan ke depan. Semakin mendekati hari lebaran, daftar bantuan akan semakin panjang. Dan pasti akan disertai semakin panjang pula persyaratannya.
Daftar persyaratan itu setidaknya sudah tercermin pula target pemberian dari si penderma. Ini penting untuk mengantisipasi adanya kekecewaan. Karena pengalaman menunjukkan bahwa kaum pemberi senantiasa dikecewakan. Termasuk rakyat yang memberikan suaranya seringkali dikecewakan.
Mari bersiap menyambut aneka takjil politik dengan cengengesan saja. (*****)
Penu;is:
EdhiePrayitnoIge
Penulis, cerpenis, guyonis, novelis. Asli Muntilan mukim di Semarang. Twitter : @edhiepra1
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6
Â