Liputan6.com, Jakarta - Piala Dunia 2022Â Qatar dimulai hari ini, 20 November, yang tentunya membangkitkan kegembiraan dan antisipasi para penggemar sepak bola di seluruh dunia.
Namun, bahkan jika kamu bukan penggemar berat sepak bola, beberapa kontroversi tentang Piala Dunia 2022 ini mungkin pernah terdengar.
Baca Juga
Mengutip The Vox, Minggu (20/11), sejak FIFA, Badan Pengatur Sepak Bola Internasional memberikan Piala Dunia 2022 kepada Qatar pada 2010, turnamen ini telah terjerat dalam jaringan skandal yang kusut.
Advertisement
Jaringan itu mencakup segala sesuatu mulai dari tuduhan korupsi dan penyuapan selama proses penawaran untuk menjadi tuan rumah turnamen, hingga tuduhan bahwa Qatar menggunakan acara tersebut untuk "mencuci olahraga" catatan pelanggaran hak asasi manusianya.
Setidaknya 6.500 buruh migran telah meninggal di Qatar sejak turnamen tersebut diberikan kepada negara tersebut pada 2010 silam.
Kabar ini kemudian diperburuk dengan keputusan kontroversial FIFA untuk memindahkan jadwal ke musim dingin di belahan bumi utara untuk menghindari musim panas Qatar yang sangat panas.
Keputusan ini kemudian menuai kritik karena dianggap sebagai bukti bahwa FIFA memiliki favoritisme terhadap negara yang menjadi tuan rumah tahun ini.
Nyatanya, masih terdapat beberapa kontroversi lain mengenai pelaksanaan Piala Dunia 2022 di Qatar. Berikut dihimpun sejumlah kontroversi Piala Dunia 2022 dilansir The Vox:
1. Tuduhan Korupsi dan Penyuapan
Pada 2014, Sunday Times yang berbasis di Inggris melaporkan tentang sejumlah email yang bocor dan dokumen lain yang menunjukkan bahwa pejabat sepak bola Qatar yang terkemuka dan mantan anggota komite eksekutif FIFA, Mohammed bin Hammam, diduga telah membayar suap senilai jutaan dolar kepada pejabat FIFA.
Penyelidikan berikutnya terhadap tuduhan korupsi yang dilakukan oleh kepala penyelidik etika FIFA dan mantan pengacara Amerika Serikat Michael J. Garcia menemukan bukti adanya penyimpangan serius dalam proses penawaran tetapi tidak memberikan bukti konklusif bahwa pejabat Qatar telah menggunakan suap untuk mempengaruhi hasil pemungutan suara.
Namun masalah FIFA hanya semakin dalam dari sana. Pada Mei 2015, Departemen Kehakiman AS membuka dakwaan terhadap sembilan pejabat FIFA, menuduh para pejabat tersebut melakukan pemerasan, penipuan, dan pencucian uang sehubungan dengan skema yang luas untuk menjual hak siar untuk turnamen.
Segera setelah itu, pihak berwenang di Swiss mengumumkan penyelidikan paralel terhadap dugaan korupsi dalam proses penawaran untuk Piala Dunia 2018 di Rusia dan turnamen 2022 di Qatar.
Advertisement
2. Buruh Migran yang Dibayar Rendah
Bahkan untuk negara-negara kaya sumber daya seperti Qatar, menjadi tuan rumah Piala Dunia adalah pekerjaan logistik yang sulit, membutuhkan investasi miliaran dolar di stadion baru, infrastruktur transportasi, dan akomodasi untuk melayani ratusan ribu penggemar yang menghadiri turnamen.
Hingga akhir 2010-an, sebagian besar dari sekitar 2 juta buruh migran Qatar, yang merupakan sekitar 94 persen dari total tenaga kerja di negara itu, dipekerjakan melalui sistem tenaga kerja paksa yang dikenal sebagai sistem kafala (atau sponsor), yang mengikat pekerja melalui serangkaian kontrak secara hukum.
Beberapa diantaranya juga memiliki kasus yang berkaitan dengan hak asasi. Pada tahun 2021, Guardian melaporkan bahwa lebih dari 6.500 pekerja dari India, Pakistan, Nepal, Bangladesh, dan Sri Lanka telah meninggal di Qatar sejak 2010.
Sementara itu, para pekerja yang diwawancarai oleh kelompok-kelompok nirlaba seperti Amnesty International telah melaporkan mengalami berbagai pelanggaran termasuk pencurian upah, jam kerja yang berlebihan, kondisi kerja dan kehidupan yang berbahaya, dan pelecehan fisik dan seksual.Â
3. FIFA Tak Memenuhi Janji Sustainbility
FIFA telah berjanji bahwa turnamen tahun ini akan menjadi Piala Dunia pertama yang netral karbon dalam sejarah kompetisi.
Tetapi para peneliti yang telah mempelajari rencana keberlanjutan turnamen mengatakan bahwa janji itu bergantung pada beberapa penghitungan.
Rencana penyelenggara untuk membeli offset karbon dalam memenuhi janji netralitas karbon mereka nyatanya tak terpenuhi.
Untuk mengimbangi jejak emisi total turnamen, penyelenggara perlu membeli sekitar 3,6 juta kredit, setengahnya telah mereka setujui untuk dibeli dari kelompok yang disebut Global Carbon Council. Tetapi, sejauh ini mereka hanya telah telah membeli kurang dari 350.000 kredit, menurut pengungkapan publik oleh pihak FIFA.
Namun terlepas dari namanya, Global Carbon Council sebenarnya bukan lembaga internasional. Sebaliknya, lembaga ini berbasis di Qatar dan terhubung dengan entitas milik negara Qatar. Hubungan dengan pemerintah Qatar ini kemudian menimbulkan pertanyaan serius tentan independensi standar.Â
Advertisement