Liputan6.com, Jakarta - Selama satu tahun, tiga bulan, dan 10 hari terakhir penderitaan warga Palestina di Jalur Gaza tak terbendung.
Sepanjang itu, serangan Israel seperti dikutip dari Al Jazeera (17/1/2025), telah menewaskan setidaknya 46.707 warga Palestina, nyaris 18.000 di antaranya adalah anak-anak, dan melukai 110.265 lainnya. Angka-angka yang sebenarnya diyakini jauh lebih tinggi.
Advertisement
Baca Juga
Hari-hari berisi pengeboman, penganiayaan, luka, pengungsian, kelaparan, hingga kematian membuat siapapun, khususnya di Jalur Gaza, mendambakan gencatan senjata segera. Karena itu, ketika Amerika Serikat (AS) dan Qatar pada Rabu (15/1), mengumumkan Israel dan Hamas mencapai gencatan senjata, sorak-sorai terdengar.
Advertisement
Berikut pernyataan lengkap Joe Biden saat mengumumkan tercapainya kesepakatan gencatan senjata antara Hamas dan Israel seperti dikutip dari situs web Gedung Putih:
Hari ini, setelah berbulan-bulan diplomasi intensif yang dilakukan oleh AS, bersama dengan Mesir dan Qatar, Israel dan Hamas telah mencapai kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran sandera. Kesepakatan ini akan menghentikan pertempuran di Gaza, mengalirkan bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan kepada warga Palestina, dan menyatukan para sandera dengan keluarga mereka setelah lebih dari 15 bulan dalam penawanan.
Saya telah memaparkan rincian rencana ini pada 31 Mei 2024, setelah itu disetujui secara bulat oleh Dewan Keamanan PBB. Ini adalah hasil dari tidak hanya tekanan ekstrem yang dihadapi Hamas dan perubahan perhitungan regional setelah gencatan senjata di Lebanon serta pelemahan Iran — tetapi juga dari diplomasi AS yang gigih dan telaten. Diplomasi saya tidak pernah berhenti dalam upaya mewujudkan ini.
Meskipun kami menyambut kabar ini, kami juga mengingat keluarga-keluarga yang kehilangan orang tercinta dalam serangan Hamas pada 7 Oktober, serta banyak orang tak bersalah yang tewas dalam perang yang menyusul. Sudah saatnya pertempuran ini dihentikan dan kita mulai bekerja untuk membangun perdamaian dan keamanan. Saya juga memikirkan keluarga-keluarga di AS, tiga di antaranya masih memiliki sandera hidup di Gaza, dan empat lainnya menunggu kepulangan jenazah setelah penderitaan yang sangat berat. Dengan kesepakatan ini, kami bertekad membawa mereka semua pulang.
Saya akan berbicara lebih lanjut tentang hal ini segera. Untuk saat ini, saya sangat senang bahwa mereka yang telah disandera akan dipertemukan kembali dengan keluarga mereka.
Sementara itu, pengumuman Kementerian Luar Negeri Qatar menyebutkan, "Perdana Menteri sekaligus Menteri Luar Negeri Negara Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al-Thani mengumumkan bahwa upaya mediasi bersama yang dilakukan oleh Qatar, Republik Arab Mesir, dan AS telah berhasil mencapai kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan antara Gerakan Perlawanan Islam Palestina (Hamas) dan Israel."
Pengumuman tercapainya gencatan senjata antara Hamas dan Israel ini muncul setelah negosiasi intensif di Doha selama berminggu-minggu.
AS mengirimkan utusan Timur Tengah era Biden, Brett McGurk, dan utusan Timur Tengah era Donald Trump mendatang, Steve Witkoff, dalam negosiasi di Doha. Adapun delegasi Israel, termasuk Direktur Mossad David Barnea, kepala badan keamanan internal Israel (Shin Bet), bersama dengan penasihat militer dan politik.
Pelantikan Trump pada 20 Januari dipandang sebagai tenggat waktu de facto untuk menggolkan kesepakatan gencatan senjata. Pada awal Januari 2025, Trump mengancam akan ada "balasan keras" kecuali sandera yang ditahan Hamas dibebaskan sebelum dia menjabat, sementara di lain sisi Biden juga mendesak upaya terakhir untuk mencapai kesepakatan sebelum dia meninggalkan Gedung Putih.
Reaksi Dunia
Dunia merespons penuh harapan atas kabar gencatan senjata Hamas dan Israel.
"Indonesia apresiasi kesepakatan gencatan senjata sesuai dengan yang selama ini terus kita dorong bersama dengan masyarakat internasional. Langkah penting berikut adalah memastikan kesepakatan tersebut dilaksanakan segera dan secara komprehensif, untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak," demikian pernyataan tertulis Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Sugiono via platform media sosial X.
Sugiono menambahkan, "Kita harapkan gencatan senjata ini bisa menjadi momentum mendorong perdamaian di Palestina. Saya tegaskan juga bahwa perdamaian hanya dimungkinkan jika Palestina telah merdeka dan berdaulat, sesuai dengan solusi dua negara yang telah disepakati masyarakat internasional."
"Indonesia juga siap berkontribusi kepada upaya pemulihan kehidupan bermasyarakat di Gaza, baik itu melalui bantuan kemanusiaan, dukungan terhadap peran UNRWA ataupun upaya rekonstruksi Gaza."
Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim via X menyatakan, "Meskipun kita menyambut pengumuman gencatan senjata yang sangat dibutuhkan di Gaza, hilangnya puluhan ribu nyawa warga Palestina dan pengungsian lebih dari dua juta orang tidak boleh dan tidak akan dilupakan. Keadilan dan akuntabilitas atas tindakan yang diambil selama konflik ini tetap sangat penting."
"Gencatan senjata ini harus menjadi batu loncatan menuju tujuan yang sudah lama tertunda, yaitu pembentukan Negara Palestina yang layak, berdaulat, dan merdeka."
Perdana Menteri Australia Antony Albanese menyebutkan, "Kesepakatan ini adalah langkah konstruktif menuju perdamaian dan stabilitas di kawasan. Hari ini harus menandai dimulainya babak baru bagi rakyat Israel dan Palestina. Kami berharap ini akan memberi kesempatan bagi rakyat Palestina untuk membangun kembali, mereformasi pemerintahan mereka yang sangat diperlukan, dan mengejar penentuan nasib sendiri. Australia tetap tegas dalam mengutuk kekejaman Hamas pada 7 Oktober dan ideologi yang mendasari organisasi teroris ini. Tidak ada tempat bagi Hamas dalam pemerintahan Gaza di masa depan."
"Setelah berbulan-bulan konflik, kami merasakan kelegaan yang luar biasa bagi para sandera, keluarga mereka, dan rakyat Gaza. Mari kita berharap gencatan senjata ini akan mengakhiri pertempuran dan menandai awal perdamaian yang berkelanjutan. Belgia siap untuk membantu," demikian pernyataan Perdana Menteri Belgia Alexander de Croo.
Perdana Menteri Inggris Keir Starmer menuturkan, "Untuk rakyat Palestina yang tidak bersalah, yang rumahnya berubah menjadi zona perang dalam semalam, serta bagi banyak yang telah kehilangan nyawa, gencatan senjata ini harus memungkinkan lonjakan besar dalam bantuan kemanusiaan, yang sangat dibutuhkan untuk mengakhiri penderitaan di Gaza."
"Selanjutnya, perhatian kita harus fokus pada bagaimana kita memastikan masa depan yang lebih baik secara permanen bagi rakyat Israel dan Palestina, yang berlandaskan pada solusi dua negara yang akan menjamin keamanan dan stabilitas bagi Israel, sekaligus mendirikan Negara Palestina yang berdaulat dan layak."
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan via X mengatakan, "Kami berharap bahwa kesepakatan ini akan bermanfaat bagi kawasan kami dan seluruh umat manusia, terutama bagi saudara-saudara kami di Palestina, serta membuka pintu bagi perdamaian dan stabilitas yang abadi."
Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez mengungkapkan, "Kesepakatan ini sangat penting untuk mencapai stabilitas kawasan. Ini merupakan langkah yang tak terhindarkan dalam jalan menuju solusi dua negara dan perdamaian yang adil yang menghormati hukum internasional."
Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab Sheikh Abdullah bin Zayed menekankan pentingnya agar baik Israel maupun Hamas mematuhi komitmen yang telah dibuat untuk mengakhiri penderitaan para tahanan Palestina dan sandera Israel. Dia juga mengatakan bahwa pengiriman bantuan kemanusiaan tanpa hambatan sangatlah mendesak.
Namun, benarkah gencatan senjata ini memang sudah disepakati secara sah oleh Hamas dan Israel?
Advertisement
Klaim Netanyahu dan Bantahan Hamas
Di tengah euforia, Israel memunculkan ketidakpastian.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada Kamis (16/1) pagi mengumumkan bahwa kabinet Israel tidak akan mengadakan pertemuan untuk meratifikasi kesepakatan gencatan senjata dan pembebasan sandera yang diumumkan oleh AS dan Qatar sampai Hamas menerima seluruh elemen kesepakatan.
"Hamas telah mengingkari beberapa bagian dari kesepakatan yang dicapai dengan para mediator dan Israel dalam upaya memaksa konsesi di menit-menit terakhir," bunyi pernyataan kantor perdana menteri Israel seperti dikutip dari The Guardian, menambahkan bahwa situasi ini telah menciptakan krisis di menit-menit terakhir.
Pernyataan kantor perdana menteri Israel tidak menyebutkan elemen mana yang dimaksudnya. Namun, laporan yang muncul di media Israel sebelum kesepakatan diumumkan menunjukkan bahwa penarikan Israel dari perbatasan Jalur Gaza dengan Mesir menjadi topik utama dalam diskusi di menit-menit terakhir. Para mediator kemudian menjelaskan bahwa masalah tersebut sudah diselesaikan.
Pada Kamis, dua anggota biro politik Hamas seperti dikutip dari CNA menolak tuduhan Israel bahwa mereka mengingkari beberapa bagian dari kesepakatan gencatan senjata dan pembebasan sandera.
"Tidak ada dasar atas klaim Netanyahu," ungkap Sami Abu Zuhri kepada AFP.
Seorang lainnya, Izzat al-Rishq, menegaskan, "Hamas berkomitmen pada kesepakatan gencatan senjata, yang diumumkan oleh para mediator."
Radio Kan dari Israel melaporkan pada Kamis bahwa tantangan kesepakatan gencatan senjata ini terkait dengan penentangan Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir.
Pada Rabu, Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Katz dilaporkan bertemu Smotrich setelah Ben-Gvir meminta Smotrich menarik partai mereka keluar dari pemerintahan koalisi jika kesepakatan gencatan senjata disetujui. Jika dilakukan, itu bisa menyebabkan jatuhnya pemerintahan Netanyahu.
Menurut laporan televisi Israel, Smotrich memberikan Netanyahu daftar syarat untuk mendukung kesepakatan gencatan senjata. Di antaranya, dia menuntut janji bahwa Israel akan kembali berperang jika Hamas berhasil mempertahankan kendali atas Jalur Gaza dan pembatasan ketat terhadap jumlah bantuan kemanusiaan yang dapat masuk ke wilayah kantong itu.
Dengan kata lain, kesepakatan gencatan senjata ini masih menggantung selama belum diratifikasi oleh kabinet Israel.
Gencatan Senjata 3 Fase
Kesepakatan yang dinyatakan oleh AS dan Qatar telah tercapai memiliki tiga fase.
"Hamas akan membebaskan 33 tahanan Israel pada tahap pertama, termasuk sipil perempuan, tentara perempuan, anak-anak, orang tua, dan warga sipil yang sakit dan terluka. Sebagai gantinya, sejumlah tahanan Palestina yang ditahan di penjara dan pusat penahanan Israel akan dibebaskan," ungkap Kementerian Luar Negeri Qatar.
"Rincian tahap kedua dan ketiga akan diselesaikan selama pelaksanaan tahap pertama."
Penasihat Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) Smith Alhadar menilai kesediaan Israel untuk terlibat negosiasi dengan Hamas tidak lepas dari dari tekanan regional.
"Negara-negara regional menekan Israel untuk segera deal dengan Hamas sebagai syarat mereka akan berpartisipasi dalam rekonstruksi Gaza yang butuh dana jumbo. Israel juga butuh dukungan politik Arab agar bisa keluar dari isolasi," tutur Smith kepada Liputan6.com.
Pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia (UI) Agung Nurwijoyo menuturkan kepada Liputan6.com bahwa tekanan domestik memberikan kontribusi terhadap kesediaan Israel bernegosiasi, khususnya keluarga sandera.
Terkait pertanyaan siapa yang akan memerintah Jalur Gaza pasca perang, diakui Smith adalah isu yang berat.
"Ini isu yang berat, yang belum dirundingkan oleh pihak-pihak terkait. Yang pasti Hamas tidak akan memerintah Gaza pasca perang karena tidak dikehendaki Israel, AS, Eropa, dan Arab. Bisa jadi Fatah yang akan memerintah setelah organisasi ini mereformasi diri dengan mendepak Mahmoud Abbas. Gagasan ini didukung AS, Eropa, dan Arab. Tapi Israel masih keberatan. Saya yakin pada akhirnya Israel akan setuju karena Israel tidak punya kartu tawar yang kuat untuk memaksakan kehendaknya," beber Smith.
Agung memiliki pandangan senada. Dia mengungkapkan, "Israel tetap memiliki intensi bahwa Hamas tidak lagi memegang Gaza. Namun, poin ini dapat dikatakan cukup berat dilakukan. Menurut saya yang perlu dipahami bahwa dengan ada atau tidak adanya Hamas peluang resistensi terjadi tetaplah ada selama faktor yang menyebabkan ekskalasi tidak terselesaikan."
Apakah para pengamat cukup optimistis kesepakatan gencatan senjata ini merupakan awal dari perdamaian permanen?
"Realitasnya, belum ada kesepakatan gencatan senjata yang berlaku permanen karena ada saja bentuk pelanggaran yang terjadi. Perlu disadari bahwa permasalahan besar dari kesepakatan gencatan senjata adalah bahwa tidak adanya aktor di lapangan yang dapat menjadi observer dalam melihat aktor-aktof baik Hamas/kelompok perlawanan lain dan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menjalankan hasil dari kesepakatan. Hal ini perlu jadi perhatian," sebut Agung.
"Yang jelas fase satu sudah jadi poin kesepakatan, sedangkan fase kedua dan ketiga masih jadi perbincangan secara detailnya."
Smith mengaku optimistis.
"Tapi perdamaian menyeluruh dan permanen tidak akan terwujud sampai Palestina memiliki negara. Semua bergantung pada Israel dan AS. Apakah mereka ingin Timur Tengah yang stabil dan rukun? Kalau itu yang diharapkan maka isu Palestina harus diselesaikan secara tuntas. Kalau tidak, siap-siap menghadapi turbulensi politik di kawasan pada waktu-waktu mendatang," tegas Smith.
Di Jalur Gaza, bombardir oleh Israel terus berlanjut. Badan pertahanan sipil Jalur Gaza mengatakan pada Kamis bahwa setidaknya 73 orang tewas dan 230 lainnya terluka akibat serangan udara Israel yang menghantam beberapa daerah.
Advertisement