Nilai Budaya, Histori, dan Musik Tradisi Nusantara dalam Tiga Film Dokumenter Nada Nusantara

Film Dokumenter Nada Nusantara memiliki segudang pembelajaran dari Budaya, Histori, hingga Musik.

oleh Anissa Rizky Alfiyyah diperbarui 09 Des 2022, 06:30 WIB
Diterbitkan 09 Des 2022, 06:30 WIB
Orang di Balik Nada Nusantara.
Ria Pinasthia, Linda Ochy, Arditho Pramono, Hilmar Farid, dan Ridho Hafiedz di Pemutaran Tiga Film Dokumenter Proyek Nada Nusantara. (LIputan6.com/Anissa Rizky)

Liputan6.com, Jakarta- Kementerian Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbudristek RI) bekerja sama dengan Yayasan Atma Nusantara Jati (ATSANTI) bergerak dalam pelestarian budaya lokal dengan memproduksi tiga film dokumenter

Berlokasi di Jawa Tengah, Ambon, dan Bali, Kemendikbudristek dan ATSANTI menyoroti sejarah budaya dan alat-alat musik yang keadaannya hampir punah di masing-masih daerah lewat proyek Nada Nusantara. 

Musisi terkenal Yura Yunita, Hafiedz Slank, Ardhito Pramono, dan Ello Dewa juga turut serta dalam produksi film dokumenter ini. 

“Musik-musik sekarang sudah dikolaborasikan dan terpaku dengan kurasi platform digital. Jadi, budaya dulu sudah enggak happening lagi,” ujar Ardhito di Penayangan Film Dokumenter Nada Nusantara di Fx Sudirman pada Rabu (8/12/2022).

Ardhito juga mengungkapkan bahwa dirinya ingin mencoba turut serta dalam mengenalkan kembali musik tradisi yang sebenarnya indah. 

Sebagai orang berdarah Ambon yang terkenal dengan musiknya, Ridho juga mengungkapkan hal yang sama. 

“Proyek ini juga muncul dari kekhawatiran. Gue sebenernya pengen capture musik tradisional dan pengen banget juga bikin aplikasi yang bisa dipakai anak SD SMp SMA secara detail. Biar mereka tahu alat musik tradisional ini tuh seperti ini. Oh, misalnya alat musik ini dipukul, ini digesek,” ujar Ridho. 

Ridho juga mengungkapkan kekhawatiran akan budaya musik tradisional Indonesia yang jika punah, Indonesia tidak memiliki kekayaan apapun lagi untuk generasi selanjutnya. 

Berangkat dari berbagai kekhawatiran tersebut, Ridho bersama dengan ketiga musisi lainnya berkolaborasi dalam tiga film dokumenter bertajuk Nada-Nada Penting, Mena Musik Ambonia, dan Musik Bhumi Sambhara Budhara.

Bali dan Alat Musik Mesin Tik, Penting

Nada-Nada Penting.
Film Dokumenter Nada-Nada Penting Produksi ATSARI dan Kemendikbudristek Bersama Ridho Hafiedz, Yura Yunita, dan Musisi Lokal Bali. (Nada Nusantara)

Film dokumenter Nada-Nada Penting yang mengambil tempat di bali menyoroti satu alat musik yang hampir punah bernama ‘Penting’.

“Menariknya, Penting ini merupakan alat musik yang inspirasinya dari salah satu Kaisar di Tokyo yang juga terinspirasi oleh mesin tik. Jadi, mesin tik dicampur gitar kemudian berkembang jadi Penting di Bali,” ungkap Sutradara Nada Nusantara Linda Ochy. 

Linda juga mengungkapkan bahwa saat ia pertama ke Bali, hanya tersisa 1 orang yang bisa membuat Penting. Dari Nada Nusantara, kini, ada hampir 10 orang bisa membuat Penting. 

Sambil mengenal falsafah hidup masyarakat Bali seperti satyam, siwam, sundaran, dan taksu Bali, Yura dan Ridho bertemu musisi Bali legendaris dari komunitas seni Karangasem. Wasesa Ananta adalah satu-satunya yang tersisa dan bersikeras membudayakan dan melestarikan Penting. 

Nada-Nada Kaya merupakan lagu hasil kolaborasi musisi Bali yang menangkap keindangan Penting dan proses perjalanan Nada Nusantara di Bali. 

Replikasi Alat Musik di Jawa Tengah

Musik Bhumi Sambhara Budhara
Film Dokumenter Musik Bhumi Sambhara Budhara Produksi ATSARI dan Kemendikbudristek Bersama Ridho Hafiedz, Ello, dan Musisi Lokal Bali. (Nada Nusantara)

Ridho dan Ello di Jawa Tengah melakukan perjalanan ke Candi Borobudur yang telah dikenal sebagai perpustakaan dunia dan sudah dibangun sejak abad ke-8 Masehi. 

Menariknya, puluhan alat musik terpatri di relief candi. Sebuah bukti nyata bahwa sejak awal peradaban, Nusantara telah mengenal musik dan berbagai seni. 

Ridho dan Ello  kemudian bertemu peneliti dan maestro musik yang berupaya mereplika alat musik yang ada di relief Candi Borobudur seperti luth, bar-zither, harpa, hingga saron. 

Peneliti, Maestro Musik, Taliwangsa Ethnic Ensemble, dan Sanggar Tari Avadana membantu musisi Ridho Hafiedz dan Marcello Tahitoe menyaksikan langsung bagaimana proses dan upaya yang dilakukan untuk menjaga warisan budaya masa lampau bisa terus hidup, dikenal, hingga terus dilestarikan ke berbagai generasi.

Ku Selalu di Sini adalah karya ciptaan Ello, Ridho, dan maestro-maestro musik di Jawa Tengah. 

Ambon dan Perselisihan Agamanya

Mena Musik Amboina, Nada Nusantara.
Mena Musik Amboina, Nada Nusantara. (Nada Nusantara)

Dari Ambon, lahir film dokumenter bertajuk Mena Musik Ambonia yang memotrete sejarah panjang terciptanya alat musik tiup dan pukul Ambon. 

Bersama Arditho Pramono, Ridho melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Ambon, seperti Hutumury, Amahusu, Batu Merah, hingga Dusun Tuni, untuk mengenal dan mempelajari berbagai alat musik Ambon. 

Perjalanan tersebut membawa mereka bertemu para maestro dan sanggar seni yang terus berupaya membuat, memainkan, melestarikan, dan meregenerasi alat-alat musik khas Ambon. 

Ridho dan Ardhito juga kemudian mengenal Tanah Ibu, Nusa Ina, budaya ambon yang kental akan persaudaraan lewat pela gandong. Hal tersebut juga adalah alasan mengapa akhirnya Ambon dijuluki Kota Musik Dunia. 

Nusa Ina adalah lagu hasil kolaborasi Ridho, Ardhito, dan musisi lokal Maluku yang menceritakan pela gandong. 

Pela Gandong sendiri merupakan salah satu cerita di tanah Maluku terkait dengan perselisihan agama. 

“Pela Gandong memperlihatkan bagaimana berselisih agama ternyata indah banget ketika di musik. Jadi semua orang di Ambon ketika mendengarkan liriknya menangis karena buat mereka ini sangat Pela Gandong,” ungkap Linda. 

Infografis Tahap Pengajuan Kebaya Jadi Warisan Budaya Takbenda UNESCO
Infografis Tahap Pengajuan Kebaya Jadi Warisan Budaya Takbenda UNESCO. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya