Liputan6.com, Jakarta Harga Bitcoin (BTC) masih berjuang bertahan di atas level USD 64.000 atau setara Rp 989,1 juta (asumsi kurs Rp 15.455 per dolar AS). Pergerakan harga Bitcoin masih dibayangi oleh data ekonomi AS yang menimbulkan kekhawatiran akan resesi, sehingga berdampak pada sentimen investor.
Trader Tokocrypto, Fyqieh Fachrur menjelaskan sentimen lain yaitu potensi penjualan besar dari kepemilikan BTC senilai USD 13 miliar oleh pemerintah AS menambah risiko pasokan yang dapat mempengaruhi harga BTC.
Baca Juga
Permintaan untuk ETF BTC spot mungkin akan menurun akibat kekhawatiran akan resesi, meskipun lonjakan permintaan bisa mendorong BTC menuju USD 70.000.
Advertisement
Pekan Krusial Pasar Kripto
Minggu ini bisa menjadi pekan yang krusial bagi pasar kripto dan pasar global setelah meredanya ketegangan pasca Simposium Jackson Hole. Kekhawatiran terhadap ekonomi AS akan menguji minat investor terhadap aset berisiko saat mereka menunggu data ekonomi penting dari AS.
Pada Kamis, 29 Agustus, data klaim pengangguran awal di AS akan memberikan petunjuk tentang kondisi pasar tenaga kerja. Jika angka klaim pengangguran melonjak tak terduga, hal ini bisa memicu kekhawatiran resesi dan mempengaruhi permintaan BTC.
“Jika pasar tenaga kerja melemah, hal ini bisa memaksa The Fed untuk mempertimbangkan pemotongan suku bunga yang lebih agresif guna mendukung ekonomi AS,” kata Fyqieh dalam keterangan resmi, dikutip Selasa (27/8/2024).
Kekhawatiran Resesi
Namun, kekhawatiran akan resesi mungkin akan mengurangi dampak positif dari kebijakan moneter yang lebih longgar terhadap pasar.
Selain itu, laporan Pendapatan dan Pengeluaran Pribadi AS yang akan dirilis pada Jumat juga akan mempengaruhi arah suku bunga The Fed.
Penurunan tak terduga dalam pendapatan dan pengeluaran pribadi bisa membuat investor semakin khawatir. Lebih jauh lagi, kekhawatiran akan resesi bisa berdampak signifikan pada permintaan ETF BTC spot di AS.
Advertisement