Kelas Bahasa bagi Penyandang Tuli Seharusnya Dibedakan Sesuai Tingkat dan Jenis Ketulian

Peneliti dari Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD), Universitas Brawijaya (UB), Malang, Alies Poetri Lintangsari melakukan identifikasi terhadap karakteristik mahasiswa tuli.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 11 Nov 2020, 12:00 WIB
Diterbitkan 11 Nov 2020, 12:00 WIB
telinga
telinga (sumber: Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta Peneliti dari Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD), Universitas Brawijaya (UB), Malang, Alies Poetri Lintangsari melakukan identifikasi terhadap karakteristik mahasiswa tuli.

Ia menemukan bahwa kelas bahasa bagi penyandang tuli seharusnya dibagi menjadi dua kelas yang berbeda sesuai klasifikasi tingkat dan jenis ketulian.

Dari hasil survei ditemukan bahwa klasifikasi tingkat dan jenis ketulian yang dialami oleh mahasiswa tuli di UB, 43 persennya telah tuli sejak lahir yang bisa dikategorikan sebagai pre lingual deafness.

Sedangkan 57 persen mahasiswa menjadi penyandang tuli di usia critical period yaitu usia 3-9 tahun yang masuk dalam kategori post lingual deafness.

“Jenis ketulian yang dialami oleh mahasiswa tuli memengaruhi proses pemerolehan bahasa, begitu pula dengan riwayat pendidikan terdahulu. Dari hasil kuesioner, dapat diketahui bahwa mahasiswa tuli sebesar 43 persen berasal dari SMA Inklusif sedangkan sisanya (57 persen) berasal dari SMALB,” tulis Alies dalam penelitiannya dikutip pada Selasa (10/11/2020).

Berdasarkan hasil observasi kelas ditemukan bahwa ada kecenderungan kemampuan yang berbeda oleh mahasiswa tuli yang bersekolah di SMA Inklusif dan mahasiswa tuli yang bersekolah di SMALB.

Begitu pula jenis ketulian yang dibagi menjadi dua yaitu pre lingual deafness dan post lingual deafness yang memengaruhi proses penguasaan bahasa pertama oleh anak tuli.

“Berdasarkan temuan ini, dapat disimpulkan bahwa seharusnya kelas bahasa dibagi menjadi 2 bagian dengan mempertimbangkan jenis ketulian, asal SMA dan juga kemampuan berbahasa baik reseptif ataupun ekspresif.”

Simak Video Berikut Ini:

Identifikasi Kemampuan Reseptif dan Ekspresif

Kategori selanjutnya adalah identifikasi kemampuan bahasa reseptif  (menerima) dan kemampuan ekspresif (mengekspresikan) oleh mahasiswa tuli.

Semua mahasiswa tuli berkomunikasi dengan cara membaca bibir, 86 persen menggunakan bahasa isyarat secara aktif, dan 86 persen sering berkomunikasi dengan tulisan.

“Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan reseptif mahasiswa tuli bergantung pada 3 media komunikasi, yaitu media oral (lips reading), media isyarat, dan media tulis, begitu juga kemampuan ekspresifnya.”

Dari hasil survei, diketahui bahwa kemampuan reseptif bahasa mahasiswa tuli sebagian besar didapat pada usia 3-9 tahun, sebagian besar mahasiswa tuli mulai mengetahui kata dan kalimat pada umur 3-9 tahun. Hanya 9 persen yang mengetahui kata dan kalimat di usia di bawah 3 tahun.

Sedangkan, kemampuan membaca dan menulis sebagian besar didapat pada rentang usia 3-9 tahun, bahkan ada 24 persen anak tuli yang baru bisa membaca dalam rentang usia 9-18 tahun.

Cara Identifikasi

Identifikasi karakteristik pembelajar tuli yang mengikuti kelas bahasa di PSLD UB dilakukan melalui survei dengan membagikan kuesioner dengan beberapa variabel untuk mengukur tingkat dan jenis kesulitan yang dihadapi oleh mahasiswa tuli ketika mengikuti kelas bahasa.

“Teknik yang digunakan adalah purposive (judgemental) sampling, teknik ini digunakan untuk situasi khusus yang digunakan sebagai media untuk menentukan orientasi tertentu.”

Alies menambahkan, teknik ini berguna apabila peneliti ingin melakukan investigasi lebih dalam. Partisipan dalam survei ini adalah 21 mahasiswa Tuli dari total keseluruhan 22 orang. Satu orang mahasiswa menolak berpartisipasi dalam kegiatan ini.

Infografis Disabilitas

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas
Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya