Pengalaman Pahit Jadi Inspirasi Marisa Hamamoto Buka Perusahaan Tari Inklusif

Marisa Hamamoto ingin memastikan bahwa siapa pun dapat mengikuti kelas tari bahkan ikut audisi, tanpa membedakan kemampuan fisik, ras, gender, dan keragaman lainnya.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 03 Okt 2021, 10:00 WIB
Diterbitkan 03 Okt 2021, 10:00 WIB
Marisa Hamamoto
Marisa Hamamoto. Foto. instagram @marisahamamoto

Liputan6.com, Jakarta Saat berusia 19 tahun, Marisa Hamamoto mengalami pelecehan seksual. Tidak lama setelah itu, ia menderita stroke yang paling ditakuti bagi penari. Dengan hidup bersama dua masalah ini, membuatnya bertekad mendirikan perusahaan tari yang terbuka bagi siapa saja yang mau, termasuk penyandang disabilitas mapun non-disabilitas.

Marisa Hamamoto ingin memastikan bahwa siapa pun dapat mengikuti kelas tari bahkan ikut audisi, tanpa membedakan kemampuan fisik, ras, gender, dan keragaman lainnya.

Meskipun ia paham betul bahwa untuk mencapainya akan membutuhkan banyak upaya, namun blasteran Asia-Amerika ini bukan tipe orang yang menghindari tantangan. Tekadnya ini membuatnya tampil di majalah People's Women Changing the World. Tekadnya ini juga yang membantunya mengatasi traumanya sendiri.

“Stroke memicu trauma bertahun-tahun akibat rasisme, body shaming, penolakan sebagai penari balet, dan kekerasan seksual dari guru tari yang tidak percaya kepada saya,” kata Hamamoto, dikutip dari SCMP.

Wanita yang kini menyandang gelar penari, pengusaha, sekaligus aktivis sosial di negara bagian California, AS, mulai menari ketika ia berusia enam tahun. Sejak traumanya, ia baru bisa kembali menari pada tahun 2010 setelah menemukan ballroom tari. Pada tahun 2012, ia pindah ke Los Angeles untuk memulai karir tari yang baru, hanya saja ia mendapati dirinya tidak merasa cocok dengan gaya tarian Hollywood.

 

Keluarga Hamamoto

Ayah Hamamoto adalah generasi ketiga Jepang-Amerika dari Hawaii. Ia bertemu dan menikahi ibunya yang asal Jepang, yang kemudian melahirkan Hamamoto dekat Nagoya di Jepang. Ketika ia berusia dua tahun, keluarganya pindah ke California.

Hamamoto yang bisa bilingual dan bikultural, tak bisa menghindari diskriminasi dan penolakan, terlebih karena ia tidak memiliki tipe tubuh yang tepat untuk menjadi penari balet. Ia juga diejek semasa sekolahnya di AS karena merupakan orang Asia sehingga ia berkuliah di perguruan tinggi di Jepang agar membuatnya tidak merasa terlalu Asia.

Masa pahitnya tidak berhenti disitu, ia bahkan pernah diserang secara seksual oleh seorang guru tari. "Saya dilecehkan dan tubuh saya merasa tidak ada lagi di dunia ini. Ada rasa sakit yang mengakar dimana-mana," katanya.

Pada tahun 2006, ia menderita stroke yang membuatnya menjadi difabel dari leher ke bawah. Namun setelah dua bulan di rumah sakit, ia bisa berjalan sendiri lagi.

"Saya tidak tahu bagaimana saya pulih. Tapi itu memungkinkan saya untuk membulatkan iman dan tekad. Dalam rasa sakit dan perjuangan, saya terus percaya bahwa perjalanan hidup saya memang ditakdirkan untuk menjadi penari dan saya dilahirkan untuk menari. Suatu energi kuat meyakinkan saya bahwa saya akan melakukan sesuatu yang lebih besar dan lebih luas dengan tarian," katanya.

Setelah beberapa penelitian, Hamamoto menemukan bahwa satu dari empat orang memiliki disabilitas di AS, tetapi kesempatan untuk menari di komunitas penyandang disabilitas sangat sedikit dan jarang.

 

Mendirikan perusahaan tari

Pada 2015 ia mendapat kesempatan mendirikan Infinite Flow, sebuah perusahaan tari profesional yang terbuka untuk orang-orang dari segala kemampuan dan usia. Para penari tampil di acara-acara pribadi, sekolah dan retret perusahaan. Pertunjukan mereka mengharukan, penuh haru dan bangga, menunjukkan bagaimana pengguna kursi roda bisa juga tampil anggun, bersemangat dan tidak ada bedanya dengan orang lain.

“Bagi kami, ini menjadi cara untuk menggunakan tari sebagai katalis untuk mempromosikan inklusi. Komentar yang saya dapatkan adalah, 'Marisa, penderita stroke yang sempat tidak bisa berjalan, sekarang mengajar tari'. Tapi saya anggap itu adalah takdir,” katanya.

Ia juga membuat film, Scoops of Inclusion, menampilkan penari multiras yang bertemu dengan guru olahraga difabel, editor surat kabar sekolah tunanetra dan guru musik tuli.“Ini tersedia untuk sekolah, keluarga, siapa saja yang ingin menontonnya. Jika ada satu hal yang sangat saya banggakan, itu adalah film ini,” kata Hamamoto.

Film ini memiliki pendekatan persimpangan terhadap disabilitas, pemahaman tentang bagaimana bagian dari identitas seseorang bercampur untuk menciptakan berbagai aspek diskriminasi dan hak istimewa, tambahnya. Film ini juga secara terbuka membahas isu ras dan gender.

“Perusahaan tari saya sangat beragam, dan saya ingin mengambil pendekatan yang sama di sini. Sampi muncul pertanyaan, 'Apa yang Anda pikirkan ketika mendengar kata 'disabilitas?' Pada Juli tahun depan, saya berharap 31 juta anak sekolah menengah pertama di AS telah melihatnya.”

Meskipun banyak orang tua yang katanya tidak ingin mengekspos anak-anak mereka pada gagasan disabilitas. Namun Hamamoto sangat optimis dan merasa bahwa semua orang pada akhirnya akan mendapatkannya.

“Masyarakat suka menaruh cerita kasihan pada penyandang disabilitas. Dengan Infinite Flow, saya ingin membawa kesadaran sehingga orang bisa bangga dengan keunikan mereka sendiri, sehingga kami tidak hanya berpacu pada stigma tetapi melihat cerita dan identitas mereka secara langsung. Dan saya disini untuk membongkar stigma yang orang coba masukkan ke dalam diri Anda. Sebab stiap orang harus dihargai apa adanya."

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas
Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya