Otak Albert Einstein Terbukti Tak Istimewa, Kok Jenius?

Tak hanya terobosan teori dan persamaan revolusioner, Albert Einstein juga mewariskan bagian tubuhnya yang menyimpan banyak misteri: otak.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 30 Mei 2014, 09:50 WIB
Diterbitkan 30 Mei 2014, 09:50 WIB
Albert Einstein
Albert Einstein

Liputan6.com, New York - Tak hanya terobosan teori dan persamaan revolusioner, Albert Einstein juga mewariskan bagian tubuhnya yang menyimpan banyak misteri: otak.

Saat begawan fisika Abad ke-20 itu wafat tahun 1955 lalu, dalam usia 76 tahun, dokter yang mengautopsinya Thomas Harvey sengaja menyimpan organ otaknya. Sang dokter mengiris-iris otak Einstein, menyelidikinya di bawah mikroskop. Ia juga memotretnya, menghasilkan 14 foto dari berbagai sudut pandang.

Hingga kini tak terhitung banyaknya ilmuwan yang melakukan studi, pemeriksaan, dan menganalisis organ yang berada di dalam kepala salah satu pemikir terbesar dari era modern.

Awalnya, diduga kejeniusan Einstein disebabkan otaknya yang berbeda, salah satunya ukurannya yang lebih besar. Atau, pada tahun 1985, studi yang dilakukan  Diamond et al mengklaim bahwa otak Einstein punya lebih banyak sel glia. Sel glia atau neuroglia berfungsi untuk menunjang dan melindungi neuron --jenis sel lain--, sedangkan neuron membawa informasi dalam bentuk pulsa listrik yang di kenal sebagai potensi aksi. Makin tinggi jumlah sel glia mungkin menunjukkan kekuatan otak yang lebih tinggi.



Namun, riset terbaru yang dilakukan Dr Terence Hines dari Pace University, New York, Amerika Serikat menunjukkan, penelitian sebelumnya cacat. Kesimpulan yang dihasilkan tim tersebut berpendapat, tak ada yang istimewa dalam otak Einstein. Otak sang ilmuwan sama dengan organ manusia lainnya. Demikian dilaporkan dalam Neuroskeptic, Discover Magazine.

Menurut Heins, 28 pengujian yang dilakukan pada tahun 1985 membandingkan otak Einstein dengan otak 'kontrol' lainnya. Dan hanya satu yang dianggap akurat dan signifikan oleh para peneliti.

Lebih jauh lagi, Hines mengklaim, analis mikroskopik 'menemukan secara esensial tak ada perbedaan antara otak Einstein dengan kontrol.'

Studi masa lalu yang paling terkenal menggunakan irisan otak Einstein. Namun Dr Hines mengatakan, "mempercayai bahwa analisis dari satu atau beberapa irisan kecil otak tunggal bisa mengungkapkan sesuatu yang berhubungan dengan kemampuan kognitif tertentu dari otak, adalah naif," demikian Liputan6.com kutip dari Daily Mail, Jumat (30/5/2014).

Dia menyarankan bahwa pengamat harus melakukan 'tes buta' saat membandingkan otak Einstein dan otak lainnya. Untuk memastikan apakah mereka melihat sesuatu yang membuatnya menonjol. "Jika memang ada perbedaan aktual, metode eksperimen seperti itu akan mengungkapnya," tulis Hines.

Einstein dikenal pernah menulis tentang dirinya sendiri, bahwa ia merasa bisa mengontrol otaknya. Dan pikirannya dirasa tidak hanya visual, tapi juga 'berotot'.

Dr Hines juga mengenyampingkan pengakuan Eisntein tersebut, dianggap tak bernilai dalam ilmu saraf. Menurutnya, tidak mungkin untuk melakukan penelitian otak yang akurat berdasarkan beberapa hal yang pernah dikatakan orang tersebut.

Lipatan Abu-abu

Sebelumnya, dalam foto yang dipublikasikan 16 November 2012 di jurnal Brain, mengungkap, Einstein memiliki lipatan di wilayah abu-abu otaknya, tempat pikiran sadar (concious) berada. Secara khusus, lobus frontal (frontal lobes), wilayah yang berkaitan dengan pikiran abstrak dan perencanaan, tak  biasanya memiliki lipatan rumit.

"Ini adalah bagian paling istimewa, canggih dalam otak manusia, kata Dean Falk, penulis pendamping laporan, sekaligus antropolog dari Florida State University, menyinggung soal wilayah abu-abu itu. "Dan milik Einstein sangat luar biasa."

Tim ilmuwan juga menemukan, secara keseluruhan, otak Einstein punya lipatan yang jauh rumit di cerebral cortex, materi abu-abu di permukaan otak yang bertanggung jawab atas pikiran sadar. Atau dalam bahasa sederhana, makin tebal materi abu-abu, makin tinggi IQ seseorang.

Falk mengatakan, banyak ilmuwan meyakini, makin banyak lipatan, makin banyak area ekstra untuk proses mental, yang memungkinkan lebih banyak koneksi antara sel otak.

Dengan makin banyaknya koneksi antara bagian yang saling berjauhan dari otak, seseorang akan mampu membuat "lompatan mental" menggunakan sel-sel otak yang jauh untuk menyelesaikan persoalan kognitif.

Sementara, prefrontal cortex, yang memainkan peranan kunci dalam pikiran abstrak, membuat prediksi dan perencanaan, juga memiliki pola lipatan rumit di otak Einstein.

Itulah yang mungkin membantu fisikawan itu mengembangkan teori relativitas. "Dia memikirkan sejumlah eksperimen, ketika ia membayangkan dirinya sendiri menaiki balok-balok cahaya," kata Falk. "Bagian prefrontal cortex-nya mungkin sangat aktif."

Tak hanya itu, bagian lobus oksipital (occipital lobes), yang bertanggung jawab pada pemrosesan visual, juga menunjukkan adalah lipatan ekstra.

Falk menambahkan, lobus parietal (parietal lobes) kiri dan kanan Einstein tidak simetris. Meski demikian, belum diketahui pengaruhnya atas kejeniusan ilmuwan itu.

Tak hanya hasil studi yang kerap bertentangan, otak Einstein sendiri merupakan pemicu kontroversi. Sebelum kematiannya pada 1955, dikabarkan bahwa ia meminta seluruh tubuhnya dikremasi. Tapi ahli patologi Thomas Stoltz Harvey memutuskan untuk mengeluarkan otaknya hanya 7,5 jam setelah kematian sang ilmuwan.

Meski melawan wasiat, putra Einstein, Hans mengizinkan otak tersebut digunakan demi kepentingan ilmu pengetahuan. (Mut)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya