Liputan6.com, Long Island - Butuh waktu hampir 13 tahun bagi Dorry Tompsett untuk mengumpulkan keberanian, memutar anak kunci dan membuka pintu lemari yang sekian lama tertutup rapat itu. Sejak suaminya Stephen Tompsett, ilmuwan komputer, tewas saat peristiwa teror 9/11, 11 September 2001 lalu.
Isi lemari itu masih utuh dan tak tersentuh. Di dalamnya stelan yang berderet di gantungan, tumpukan kemeja, kaus kaki, dan sepatu. Â
"Butuh waktu lama untuk melakukannya," kata dia seperti Liputan6.com kutip dari News.com.au, Kamis (11/9/2014).
Stephen Tompsett adalah 1 dari 11 warga Australia yang kehilangan nyawa dalam peristiwa 9/11. Ia tidak bekerja di World Trade Center (WTC), hanya kebetulan saja sedang menghadiri konferensi teknologi di restoran Windows on the World di atap Menara Utara. Ia sedang menyampaikan makalah, saat pesawat pertama menabrak -- mengirimkan api yang rasanya bak neraka bagi mereka yang ada di dalamnya.
Pesawat American Airlines Penerbangan 11 yang dibajak untuk menabrak gedung memicu lubang menganga di antara Lantai 92 dan 98, tiga tangga ambrol. Tak ada satupun manusia di sana yang selamat. Tak ada peluang untuk lari.
Sejumlah barang milik mendiang diberikan ke St Vincent de Paul. Beberapa diserahkan ke sejumlah keponakan di Australia. Dorry hanya menyimpan salah satu topi Stephen dengan motif khas Australia.
Dorry juga memutuskan menjual rumah yang pernah ia tinggali bersama Stephen dan Emily -- putri semata wayangnya yang kini sudah jadi sarjana sains, mengajar matematika dan komputer di sebuah sekolah di Boston di usia awal 20-an.
Rumah di Long Island, Amerika Serikat, itu terlalu besar. Seperti halnya keputusannya untuk membuka lemari sang suami, bukan karena ia melupakan pria yang amat cintai. Namun, apapun yang terjadi, hidup harus terus berlanjut.
'Bebas' Setelah 13 tahun
Baca Juga
Sementara itu di Dandenong Ranges, di luar kota Melbourne, Australia Paul Gyulavary mengenang kembarannya Peter Gyulavary, yang juga tewas dalam tragedi 9/11.
Kala itu, Peter (44) bekerja sebagai arsitek lingkungan di perusahaan Washington Group International di Lantai 91 Menara Selatan WTC, saat pesawat kedua, United Airlines Flight 175, menghantam bangunan di antara lantai 78 dan 84.
"Saat pesawat pertama menghantam Menara Utara, Peter tak bisa melihatnya dari tempatnya berada saat itu. Ia tak tahu apa yang terjadi," kata Paul.
Advertisement
Keyakinan terhadap kualitas bangunan yang aman membuat sejumlah orang memutuskan untuk tetap tinggal. Sebuah keputusan yang fatal.
"Sejumlah orang yang ketakutan dan khawatir mencoba keluar namun Peter tetap tinggal. Ia berada di Lantai 91 dan pesawat menerjang bagian gedung di bawahnya. Dia tak punya kesempatan lari," kata Paul, menambahkan bahwa hanya 4 orang dari lantai atas titik tabrakan yang selamat.
Tahun ini, pada peringatan 13 tahun 9/11, Paul tak pergi ke New York -- kota di mana nyawa kembarannya terenggut. Ia akan menghadiri acara peringatan yang digelar di Melbourne.
11 September bagi Paul akan selalu menjadi hari yang menyedihkan. Tapi kini, ia sudah bisa mengenang saudaranya itu dengan cara bahagia.
"Saat itu ada lonjakan kemarahan dan rasa tak diperlakukan tak adil. Orangtua kami meninggal pada tahun 2000, aku tak punya kerabat yang tersisa, kesepian, seperti anak yatim piatu."
"Tapi 13 tahun kemudian, aku lebih mengingat hari-hari di mana kami tumbuh dewasa bersama, bukan tentang bagaimana Peter meninggal dunia. Kupikir, aku sudah melampaui kegelapan dan kesuraman 9/11," tambah dia. (Riz)