Liputan6.com, Beijing - Tayangan serpihan berwarna kemerahan yang mengambang di permukaan laut, jasad manusia yang terapung, memberi petunjuk tentang nasib tragis AirAsia QZ8501. Pesawat yang membawa 162 orang itu berakhir di Selat Karimata. Tangis keluarga yang menanti kabar, pecah. Duka yang menyeruak di dada menggantikan rasa cemas.
Kenyataan itu terkuak dengan pahit, namun, setidaknya keluarga dan kerabat memperoleh jawaban atas penantian mereka, 2 hari sejak QZ8501 dinyatakan hilang pada Minggu 28 Desember 2014.
Berbeda dengan keluarga penumpang Malaysia Airlines MH370. Sudah 10 bulan mereka menanti tanpa kepastian, entah sampai kapan.
"Selama ini kami hidup di tengah kecemasan, ketakutan, kebencian. Hidup kami kacau, tapi kami hanya orang biasa yang tak bisa berbuat apapun," kata Dai Shuqin, yang kehilangan adik perempuan, adik ipar, keponakan, dan keponakan menantunya, serta seorang cucu, seperti Liputan6.com kutip dari Manila Bulletin, Jumat (2/1/2015).
Apa yang terjadi pada MH370, yang take off 8 Maret 2014 lalu dari Kuala Lumpur, Malaysia menuju Beijing masih misteri. Pesawat itu menghilang setelah membelok jauh dari jalur dan terbang selama beberapa jam dalam kondisi sistem komunikasi yang tak aktif -- sebelum akhirnya bahan bakar habis dan kapal terbang itu diperkirakan jatuh.
Berdasarkan data satelit, MH370 disimpulkan berakhir di lokasi 1.800 kilometer di lepas pantai barat Australia, namun belum ditemukan bukti keberadaan pesawat yang membawa 239 orang di dalamnya itu. Hingga kini.
Saat mendengar AirAsia hilang kontak Minggu pagi, keluarga MH370 langsung bersimpati dengan keluarga QZ8501. Pada 8 Maret lalu mereka ada di posisi yang sama. "Saya bisa merasakan hawa dingin yang mereka rasakan," kata Jiang Hui, yang ibunya berada di MH370.
Dua hari kemudian, saat nasib AirAsia dipastikan berakhir di Selat Karimata, rasa iri terbesit di hati sejumlah keluarga korban MH370.
"Setidaknya keluarga penumpang AirAsia lebih beruntung dari kami. Karena mereka tahu apa yang sesungguhnya terjadi dengan segera," kata Song Chunjie yang kakaknya ikut hilang bersama MH370. Saya tahu, mengatahui kabar buruk itu sangatlah menyakitkan, namun perasaan kami lebih sakit, harus hidup tanpa kepastian dan harus menunggu untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi."
"Mereka bisa menemukan Osama bin Laden yang cuma satu orang," tambah pebisnis berusia 50 tahun itu. "Kok bisa mereka tak bisa menemukan pesawat sebesar itu?...Kita harus mendapatkan jawabannya, agar tragedi yang sama tak terjadi lagi di masa depan."
Sejak MH370 hilang, keluarga penumpang saling menguatkan satu sama lain. Kebanyakan dari mereka tinggal di hotel yang sama di di timur laut Beijing saat menanti kabar hilangnya pesawat milik maskapai negeri jiran, Malaysia.
Sepuluh bulan berlalu, mereka masih menuntut jawaban -- sebuah sikap yang dianggap bisa memicu ketidakstabilan sosial.
Sejumlah keluarga korban mengaku berada dalam pengawasan polisi, 16 dari mereka pernah ditahan, bahkan sempat menjadi sasaran pemukulan. Namun, mereka tak menyerah. Untuk menagih jawaban dari Malaysia Airlines, pemerintah China, juga Malaysia.
Lebih Buruk dari Rasa Sedih
Dr George Hu, seorang psikolog klinis di Beijing United Family Hospital and Clinics mengatakan, keluarga dan kerabat MH370 mengalami fenomena psikologis yang biasa dialami orangtua yang anaknya hilang akibat diculik.
"Yang lebih buruk dari kesedihan adalah perasaan tidak tahu -- antara harus berduka atau berharap. Itu sangat berat," kata dia. Sejumlah orang, dia menambahkan, menganggap perasaan itu lebih berat dari rasa duka saat orang-orang yang dicintai meninggal.
Rabu kemarin, Presiden Tiongkok Xi Jinping menegaskan, para penumpang yang hilang dalam MH370 belum dilupakan.
"Tahun ini kita mengalami saat-saat sedih," kata dia, pelan dan muram, dalam pidato Tahun Barunya. "MH370 hilang dan lebih dari 150 saudara kita belum ditemukan. Kita belum melupakan mereka dan harus melanjutkan upaya dan mencoba segala cara untuk menemukan mereka."
Salah satu keluarga penumpang MH370, Steve Wang menganggap, selagi tidak ada kesimpulan, maka masih ada harapan.
"Misteri itu akan terpecahkan," tambah dia. "Mungkin makan waktu yang sangat, sangat lama: 3 tahun, 5 tahun, 10 tahun atau 20 tahun. Apa pun mungkin terjadi." (Ein/Tnt)
Advertisement