Liputan6.com, London - Pagi-pagi pukul 6 setiap hari kerja, Charleh Dickinson bermeditasi dan yoga sebentar sebelum mengecek email kerjanya. Mungkin ini cara memulai hari yang biasa-biasa saja buat kebanyakan pengusaha.
Tapi tak seperti kebanyakan pemilik usaha lainnya, Charleh saat ini juga masih menjadi mahasiswi tahun ketiga di Sheffield Hallam University. Artinya dia harus kuliah sembari bekerja 50 jam seminggu untuk mengelola Designed2Eat -- merk makanan sehat miliknya yang didirikan bersama ayahnya dua tahun silam.
Kalau ayahnya, Peter Dickinson, lebih banyak di belakang layar mengurusi masalah akuntansi dan hukum perusahaan. Berbeda dengan Nona Dickinson yang beraksi di garis depan perusahaan.
Advertisement
Jadi di sela-sela waktu kuliah dan belajar, mahasisiwi manajemen pemasaran makanan ini bisa saja sedang mengurusi penjualan, uji produk baru ataupun mengelola media sosial merk tersebut.
Seolah masih belum cukup sibuk, Charleh juga bekerja paruh-waktu di perusahaan kehumasan, ikut klub ski di universitasnya, berolahraga rutin setiap hari, dan menjalin hubungan dengan sang kekasih.
"Aku gemar dengan rutinitas dan selalu bangun pagi pukul 6 -- bagiku itu normal saja," kata wanita berusia 20 tahun ini seperti dikutip dari BBC, Jumat (4/12/2014). "Hari-hariku benar-benar sibuk sehingga aku harus kesana kemari seperti ayam tanpa kepala agar semuanya beres tepat waktu. Ya, hadapi saja."
Berkat keuletan Dickinson, usahanya keluarganya pun mulai berbuah hasil.
Designed2Eat yang diinvestasikannya dana 4 ribu pound sterling (kebanyakan dari dana pinjaman mahasiswanya) ditambah 10 ribu pound sterling dari ayahnya, kini punya 30 penyalur (stockist) di Britania Raya dan Eropa.
Termasuk di antaranya pusat kebugaran, toko hasil tani dan Sheffield Hallam University, dan usaha ini sudah menghasilkan 4 ribu pound sterling setiap bulan.
Meski menghabiskan banyak sekali waktu mengurusi Designed2Eat, Dickinson tak merasa mengabaikan studinya.
"Dampaknya positif -- aku ini peringkat pertama di tahun keduaku," katanya. "Banyak orang di kelasku pergi magang keluar, tapi aku merasa memperoleh pengetahuan yang lebih baik karena sembari menjalankan usahaku."
Baca Juga
Mengikuti Tren
Tren yang Sedang Berkembang
Semangat kewirausahaan ini muncul di kampus-kampus di seluruh Inggris. Menurut riset yang diadakan Bank Santander, hampir seperempat mahasiswa sudah punya bisnis atau usaha sendiri, atau berencana punya usaha selagi kuliah.
Johnny Luck, kepala eksekutif National Association of College and University Enterpreneurs (NACUE) menyebutkan jumlah mahasiswa yang mendirikan usaha sendiri di universitas terus meningkat karena dua hal.
"Yang pertama, teknologi memungkinkan orang untuk memulai bisnis digital dengan lebih mudah, dan kita hidup di dunia yang saling terhubung di mana petunjuk dan nasehat bisa diperoleh dengan lebih mudah,” katanya.
"Yang kedua, sejak krisis keuangan,daya tarik untuk bergabung dengan perusahaan besar dikalahkan oleh kehebohan usaha rintisan (start-up). Orang ingin menjadi enterpreneur.”
Pola pikir kewirausahaan Chris Rea, lulusan bisnis Amerika Serikat, terpicu segera setelah dia tiba di Exeter University lima tahun silam. Awalnya dia meluncurkan sebuah merk topi beanie, tapi Rea baru benar-benar melihat peluang bisnis saat Onesie jadi tren dadakan pada tahun 2012.
Bersama dengan temannya sesama mahasiswa Tom Carson, mereka terjun mengikuti tren tersebut dengan investasi masing-masing 1.500 pound sterling dari tabungan dan dana pinjaman mahasiswa mereka untuk membiayai pembuatan sampel dan membuat situs web. Setahun kemudian Young Ones Apparel sudah berkembang menjadi penjual semua jenis pakaian, termasuk sweater dan kaos oblong, yang dijual di berbagai universitas di Inggris.
"Kewirausahaan sudah mengalir secara alami dalam diriku," kata Rea, wanita 23 tahun yang sekarang bekerja penuh mengurusi merk tersebut. "Dengan Onesie itu, aku cuma berpikir kalau aku bisa menghasilkan uang sendiri selagi kuliah maka aku akan tidak terlalu bergantung pada orangtuaku."
Akan tetapi, Rea mengakui kalau dia kerepotan menyeimbangkan kegiatan belajar dan bekerjanya.
"Di tingkat dua, aku salah membagi waktu. Semuanya baru bagiku, dan saat aku memperoleh pesanan besar yang kupikirkan cuma uang dan uang. Aku tak memikirkan sama sekali tujuan akhir kuliahku."
Rea memperbaiki nilainya yang buruk di tahun keduanya dengan manajemen waktu yang lebih baik, walaupun kesibukannya sebagai atlet hoki internasional untuk Amerika Serikat menyulitkan studinya sa-- karena dipanggil untuk bertanding di Brazil dan Amerika di tahun ketiganya.
Seolah gangguannya belum cukup, Rea muncul di acara Dragon’s Den di masa-masa ujian di tahun ketiganya, dengan tawaran 75 ribu dari Duncan Bannatyne untuk membeli 40% saham perusahaannya.
Duo itu menerimanya saat acara, namun kemudian membatalkannya. Saat itu Young Ones sudah berkembang menjadi perusahaan serius, dengan penjualan tahunan mencapai 220 ribu pound sterling dan keuntungan kotor sekitar 40 ribu pound sterling yang diinvestasikan lagi ke perusahaan.
Tanpa Henti
Tekanan macam ini sudah biasa bagi si calon Doktor Imperial College Serge Emerge yang kini berusia 26 tahun -- saat ia bersiap-siap untuk meluncurkan merk jam tangan pintar miliknya bersama dengan co-founder Omer El Fakir, 27, temannya sesama calon doktor juga dan Alireza Tahmasebzadeh, 21 tahun.
Merk jam tangan ini sudah memperoleh pendanaan awal sekitar 500 ribu dolar sejak didirikan tahun 2013 lalu, dan sudah meningkat hingga 1,4 juta dolar lewat kampanye crowdsourcing untuk membantu penyelesaian produk ini April depan.
Untuk mencapai tujuan ini, Emerge telah membuat aturan ketat –- 4 hari dalam seminggu dia dedikasikan untuk studi doktornya, dan 3 hari untuk Blocks. Tanggung jawabnya meliputi pengembangan perangkat lunak dan penjalinan kemitraan baru.
"Selama hari-hari itu aku kerja terus menerus dari jam 10 pagi hingga jam 10 malam. Menjalankan start-up dengan modal besar adalah tanggungjawab yang besar. Tak ada waktu lagi untuk kehidupan sosial, tapi cukup sering kami makan malam dengan para pegawai untuk membantu membangun tim."
Walaupun Blocks punya potensi besar, Emerge tak pernah berpikir untuk meninggalkan studinya untuk fokus hanya mengurusi bisnisnya. "Topik PhD-ku adalah sesuatu yang saya minati –memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan kesehatan-itu topik yang menarik," katanya.
"Ada tekanan dari kedua hal tersebut, tapi aku sangat antusias akan keduanya. Satu hal berharga yang aku pelajari ialah anda bisa berhasil dalam studi sambil menjalankan start-up asalkan anda efisien.”
Luck juga membantah kalau menjalankan usaha bisa mengacaukan kuliah. “Sangat susah dan menantang, dan mungkin kuliah akan terpinggirkan sedikit, tapi bagi kebanyakan orang ini meningkatkan kualitas CV mereka.” katanya.
"Penting sekali memiliki pola pikir dimana anda menyelesaikan masalah -- ada tuntutan akan hal tersebut, dan itu sesuatu yang tak bisa anda dapatkan dari buku teks saja."
Advertisement