Liputan6.com, Brussel - Serangan bom di Belgia memberikan sejumlah bukti baru terkait kegagalan pihak keamanan memonitor kelompok radikal itu. Dua bom yang meledak di bandara dan stasiun bawah tanah menjadikan Brussel, jantung kota Eropa, menjadi inkubator terorisme.
Salah satu contoh kasat mata adalah otoritas Belgia telah mengetahui setidaknya satu dari dua bersaudara yang meledakkan diri pada 22 Maret 2016--Ibrahim el-Bakraoui-- berhasil masuk Turki dan mencoba bergabung dengan ISIS di Suriah. Hal itu dikemukakan oleh pihak berwenang Ankara.
Baca Juga
Menurut petugas yang tak ingin identitasnya terungkap demi alasan keamanan, Ibrahim el-Bakraoui berhasil dihentikan petugas keamanan Turki pada musim panas lalu dan dideportasi ke Belanda. Namun, baru-baru ini pihak keamanan Belgia mengatakan, saat itu mereka tidak menyamakan keinginan Ibrahim untuk bergabung dengan ISIS dengan kemungkinan ancaman teroris.
Advertisement
Sementara, sang adik, Khalid el-Bakraoui yang masih berusia 27 tahun, juga diketahui berada di Turki. Tapi tak diiketahui, apakah Belgia mengetahui gerak-geriknya itu.
Baca Juga
Namun ternyata, Khalid el-Bakraoui menjadi bagian dari operasi logistik untuk operasi teror Paris. Ia lantas bergabung dengan saudaranya untuk melakukan teror Belgia. ISIS mengklaim kedua serangan itu dilakukan oleh anggotanya.
Petunjuk tidak berhenti di sini saja, demikian dilansir Washingtonpost, Kamis, 24 Maret 2016. Seorang warga Belgia keturunan Maroko, Najim Laachraoui teridentifikasi sebagai salah satu bomber bunuh diri di bandara Belgia. Menurut polisi, pemuda 24 tahun itu juga turut berperan serta merakit bahan peledak yang mematikan.
Hal itu terungkap lewat tes DNA yang ditemukan di salah satu ledakan di Paris. Hal ini membawa satu kesimpulan bahwa Laachraoui tidak hanya mempersiapkan serangan Paris, tetapi juga terlibat di teror Belgia.
Otoritas Belgia gagal mengendus serangan ini yang hanya empat bulan setelah pihak berwenang mengatakan, serangan Paris dirancang di sebuah daerah pinggiran Molenbeek, di Brussel. Kota yang diisi oleh para pekerja dan kebanyakan penduduknya berasal dari Afrika Utara disinyalir tempat cikal bakal teroris muda.
Namun, kendati ratusan penggerebekan dilakukan di seantro Eropa, jaringan di balik serangan Prancis tak pernah terungkap sepenuhnya. Akibatnya, sisa-sisa anggotanya berhasil membuat aksi di tempat lain.
Berikut ini grafik jaringan teroris Paris dan Belgia yang disinyalir berafiliasi dengan ISIS di Suriah dan Turki:
Kegagalan Operasi Keamanan
Masalah di Belgia termasuk kegagalan operasi tim antiteror menangkap dan mengungkap jaringan itu.
Contohnya, pihak berwenang telah mengatakan setidaknya salah satu dari pelaku, Khalid el-Bakraoui, adalah orang yang mencari dan menyewakan safe house bagi pelaku teror Paris, termasuk orang paling dicari di Eropa, Salah Abdeslam.
Namun, dua terduga teroris berhasil kabur dari rumah perlindungan itu tiga hari sebelumnya, sebelum Abdeslam berhasil ditangkap.
Para ahli memperkirakan dua orang yang kabur itu kemungkinan adalah Bakraoui bersaudara.
"Andai operasi pencarian mereka dilakukan dengan cara berbeda, kemungkinan besar pelaku tak bisa kabur dari atap apartemen," kata Jean-Charles Brisard, Ketua Center for Analysis of Terorism in Paris.
"Ini gila! Seharusnya dalam serangan operasional hal itu tidak bisa terjadi," ungkap Brisard geram.
Salah satu penyebab kegagalan operasi penangkapan di Belgia adalah lemahnya intelijen mereka. Negara multibahasa--Prancis, Jerman, dan Belanda--itu kerap kali dirundung perseteruan kekuasaan yurisdiksi. Belgia telah mengalami kemunduran kekuasaan semenjak 1980-an di mana kekuasaan federal terkonsentrasi di badan lokal dan komunitas.
Contohnya adalah ibu kota Brussel yang memiliki enam jenis polisi, masing-masing melaporkan atau bertanggung jawab ke wali kota yang berbeda. Informasi apa pun jarang dibagi di antara sesama agen. Akibatnya mudah sekali menghancurkan mereka.
Seperti Abdeslam misalnya. Ia bisa saja sembunyi di Brussel dengan nyaman. Hal itu karena kemudahan dan terbukanya perbatasan di Eropa yang membuat orang lalu lalang dari satu negara ke negara lainnya di Uni Eropa. Abdeslam dan kawan-kawannya dengan mudah mondar-mandir Belgia dan Prancis tanpa diketahui pihak keamanan.
Selain itu, Belgia dengan negara berpenduduk 11,2 juta paling banyak "mengirimkan" tentara asing ke ISIS dibanding negara-negara lain di Eropa. Salah satu penyebabnya adalah negara itu cenderung memiliki jumlah polisi lebih sedikit.
Padahal, ibu kotanya, Brussel adalah rumah bagi 2.500 organisasi internasional termasuk NATO dan markas Uni Eropa. Secara nasional, Polisi Federal Belgia hanya memiliki anggota 12.000 orang.
Advertisement
Peraturan Konyol
Kegagalan lain adalah polisi Belgia memiliki peraturan konyol. Menurut Menteri Kehakiman Belgia Koen Geens, dua hari setelah serangan Paris, Abdeslam berada di sebuah flat di Molenbeek.
Namun, karena peraturan negara itu yang hanya membolehkan penggerebakan berlangsung dari pukul 21.00 hingga 5.00, kecuali aksi kriminal tengah berlangsung dan kasus kebakaran, polisi wajib menunggu perintah hingga menjelang senja untuk mengejar otak teror bom Paris itu.
Oleh sebab itu, dalam kurun waktu tersebut, Abdeslam bisa menghilang kapan pun.
Faktor lain lagi adalah keamanan Bandara Brussel terburuk di Eropa. Awal tahun ini, pekerja bandara telah memperingatkan otoritas setempat kalau alarm deteksi bom tidak bekerja. Hal itu diungkapkan oleh Christina Schori Liang, senior fellow di Geneva Center for Security Policy.
Selain kegagalan masalah keamanan, masalah sosial dan bahasa juga sangat berpengaruh. Dengan adanya gelombang pengungsi dalam beberapa dekade, imigran dan keluarganya harus hidup keras di Belgia. Tak sedikit dari mereka yang susah mendapatkan pekerjaan.
Menurut statistik, pemuda Belgia yang lahir di luar Uni Eropa rata-rata penganggurannya mencapai 43,6 persen dibanding pemuda yang lahir di negara itu yang hanya 23,2 persen.