Liputan6.com, Jakarta - Ketua Mahkamah Agung (MA) Sudan, Haider Ahmed Daffalla bersama rombongan melakukan kunjungan ke Indonesia. Ia memenuhi undangan Ketua MA RI, M. Hatta Ali.
"Kami sangat senang dapat berkunjung ke Jakarta untuk memenuhi undangan Hatta Ali," ujar Daffalla dalam konferensi pers yang digelar pada Jumat, (8/4/2016) di Hotel Grand Hyatt Jakarta.
Baca Juga
Sebelumnya MA RI pernah berkunjung ke Sudan pada pertengahan bulan Juni 2015.
Advertisement
Kedatangan mereka ke Indonesia bertujuan dalam tukar kunjungan dan kerjasama antara MA Indonesia dengan Sudan. Selain itu Daffalla dan rombongannya juga ingin bertukar informasi serta pengalaman, salah satunya di bidang teknologi informasi (IT).
"Kami bertujuan untuk bertukar informasi dan pengalaman. Pada kesempatan ini kami juga ingin melihat perkembangan atas capaian yang sudah diraih oleh MA Indonesia, termasuk masalah IT yang sekarang sedang dikembangkan di Sudan."
Dalam konferensi pers tersebut, Daffalla juga menjelaskan secara singkat tentang sistem peradilan yang ada di Sudan. Negara yang memiliki dasar hukum Al Quran dan Hadist tersebut, menempatkan Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi.
Baca Juga
Sedikit berbeda di Indonesia, MA di Sudan memiliki beberapa majelis sidang yang terdapat di beberapa provinsi, serta majelis kasasi yang terdapat di 3 wilayah, yaitu di Jazirah, Laut Merah, dan Kordofan.
Baru-baru ini juga ditambah dua majelis kasasi yang ada di Darfur Besar dan Sungai Nil Selatan.
Menurut Daffalla, tujuan tersebarnya majelis tersebut untuk memudahkan para pencari keadilan dalam mengakses MA.
Hal berbeda lainnya adalah, MA Sudan memiliki direktorat yang khusus mengurusi sertifikasi tanah dan polisi pengadilan, misalnya untuk melakukan eksekusi dan sebagainya.
Komisi Yudisial (KY) di Indonesia juga berbeda dengan Sudan, karena KY diketuai langsung oleh ketua Mahkamah Agung. Sedangkan anggotanya adalah wakil-wakil ketua MA, termasuk di dalamnya ada Menteri Kehakiman dan Menteri Keuangan.
Dalam kesempatan tersebut, Daffalla juga menjelaskan tentang independensi yang dimiliki oleh pengadilan di Sudan.
"Independensi sudah ada sejak lama dan mendapat kekuatan di mana hakim-hakim memiliki kebebasan untuk memutuskan perkara tanpa adanya intervensi."
Untuk menunjang independensi pengadilan, negara pun turut mendukung. Berbeda dengan Indonesia yang alokasi dananya diatur oleh DPR.
"Di Sudan ada kelebihan independensi peradilan sampai dengan keuangan. Lembaga peradilan di Sudan bisa mengurusi keuangannya sesuai dengan kebutuhan, sehingga tidak ada intervensi dari lembaga eksekutif maupun legislatif."
Karena kekuatan independensi tersebut, tak jarang hakim-hakim Sudan diperbantukan di negara lain.
Menurut salah satu stafnya, kualitas hakim Sudan sudah diakui Negara Teluk dan hingga kini terdapat 400 hakim yang dipinjam negara lain.
Untuk menjaga kualitasnya, hakim akan dimutasi setelah 4 tahun menjabat. Hal tersebut bertujuan untuk menambah pengalaman dalam menghadapi kasus di beberapa daerah, serta menjaga independensi.
Berdasarkan informasi dari Kedutaan Besar Sudan di Jakarta, Ketua MA Sudan dan rombongannya akan bertolak dari Indonesia pada Sabtu, 9 April 2016. Mereka menuju lawatan berikutnya ke Malaysia.