Liputan6.com, Roma - Sebuah penelitian terhadap 2000 set kerangka warga Romawi Kuno mengungkapkan bahwa kebanyakan penduduk di masa itu menderita penyakit artritis, mengalami patah tulang, dan lazimnya meninggal sebelum usia 30 tahun.
Penelitian itu sendiri melibatkan sejumlah ahli dari berbagai disiplin ilmu seperti osteopati, sejarah, dan antropologi. Mereka menggunakan teknologi pemindaian modern untuk menelaah kerangka-kerangka tersebut.
Baca Juga
Tulang-tulang itu digali di sekitar Roma atau yang dijuluki 'The Eternal City' dalam 15 tahun belakangan ini berbarengan dengan pengerjaan jalur kereta api cepat antara Roma dan Naples.
Advertisement
Baca Juga
Dikutip dari The Local pada Sabtu (28/5/2016), temuan itu mengungkapkan kehidupan yang keras pada masa Romawi Kuno, khususnya di kalangan rakyat jelata.
"Tulang-belulang itu berasal dari warga Romawi miskin maupun kelas pekerja. Kerangka-kerangkanya berasal dari makam-makam rakyat jelata dan menunjukkan banyaknya tulang yang patah atau retak, artritis kronis, dan kanker tulang," ujar Ahli Sejarah Kedokteran, Valentina Gazzaniga.
Gazzaniga juga menjelaskan fakta menarik terkait dengan temuannya itu.
"Yang menarik, usia rata-rata kematian pada kelompok sampel ini adalah 30 tahun, tapi tulang-tulang ini menunjukkan kerusakan parah karena sangat kerasnya kondisi pekerjaan saat itu," ujar Gazzaniga.
Para peneliti membeberkan gambaran suram yang dialami oleh kaum pekerja Romawi antara abad 1 dan 3 M, yaitu hancurnya hidung, tulang tangan, dan tulang selangka. Namun demikian, hasil pemindaian menunjukkan bahwa warga juga belajar merawat cedera-cedera tersebut.
"Karena retak dan patah kerap terjadi, orang Romawi mengembangkan solusi efektif menghadapinya. Pemindaian menunjukkan adanya teknik-teknik kedokteran yang cukup demi memungkinkan orang tetap bisa bekerja selama beberapa tahun setelah mengalami cedera parah," kata Gazzaniga.
Walaupun efektif, cara penanganan itu tidak 'halus'. Di masa kini, tulang yang patah dapat dikembalikan ke tempatnya melalui pembedahan untuk kemudian dibungkus dalam cetakan.
Namun yang dilakukan warga Romawi saat itu adalah sekadar memasang sangkar kayu pada daerah cedera agar tangan atau kaki tidak banyak bergerak. Lalu hal itu dibiarkan hingga tulang akhirnya menyambung kembali.
Selain bekas-bekas luka karena kurangnya keselamatan di tempat kerja, pemindaian juga mengungkapkan bahwa warga yang bekerja keras juga menderita saat mendekati ajalnya.
"Artritis kronis di sekitar beberapa tempat seperti bahu, dengkul, dan punggung terlihat pada kerangka-kerangka mereka yang mati muda pada usia 20-an. Kita bisa menduga bahwa beberapa orang ini mungkin menghabiskan hidupnya bekerja di pertambangan garam di sekitar sini, ini berdasarkan pola artritis yang tampak," kata Gazzaniga.
Kehidupan rakyat jelata Romawi sangat berlawanan dengan baiknya kesehatan di kalangan warga kaya dan kaum penguasa Patricia.
Pada tahun lalu, penelitian serupa dilakukan terhadap tulang-tulang yang sudah diawetkan di kota Pompeii. Penelitian itu mengungkapkan baiknya kesehatan warga kota hingga akhirnya mereka terkubur oleh abu letusan Gunung Vesuvius.
Penduduk Pompeii memang kaya raya dan kota itu sendiri dipenuhi vila-vila mewah. Mereka juga terhindar dari kerja kasar dan menyantap pangan yang beragam.
Lalu bagaimana dengan kelas pekerja Romawi?
"Sulit mencapai suatu kesimpulan tertentu tentang pangan mereka berdasarkan hasil-hasil ini. Kalau melihat caranya tulang-tulang ini sembuh dan banyaknya kanker tulang, bisa dibilang pangannya kurang bagus,” imbuh Gazzaniga.
Bukti sejarah dan telaahan lapisan enamel gigi menengarai bahwa lapisan bawah dalam masyarakat Romawi hidup dari pangan bermutu rendah dalam jumlah sangat terbatas, misalnya jelai yang membusuk atau roti basi.