Liputan6.com, Addis Ababa - Sementara persatuan Uni Eropa (UE) terancam menyusul keluarnya Inggris dari organisasi supra -nasional itu, integrasi di Uni Afrika (UA) dilaporkan justru semakin solid. Organisasi yang terdiri dari 54 negara itu akan merilis paspor khusus yang memberikan akses bebas visa kepada seluruh negara anggota.
Kehadiran paspor elektronik itu akan diresmikan dalam KTT Uni Afrika yang dijadwalkan berlangsung di Kigali, Rwanda akhir Juni ini. Seperti yang dilansir CNN, Jumat (8/7/2016), paspor ini akan didistribusikan kepada seluruh warga Afrika pada 2018 mendatang.
Baca Juga
"Proyek unggulan ini bertujuan khusus untuk memfasilitasi pergerakan bebas orang, barang, dan jasa di seluruh benua. Ini dilakukan dalam rangka mendorong perdagangan intra-Afrika, integrasi, dan pembangunan sosial-ekonomi," sebut Uni Afrika dalam sebuah pengumuman.
Advertisement
Peluncuran paspor ini merupakan bagian dari rencana aksi Agenda 2063 yang menekankan pentingnya integrasi yang lebih kuat untuk mencapai visi persatuan Pan-Afrika. Pergerakan bebas orang, barang, dan jasa sejak lama telah menjadi prioritas negara-negara anggota UA seperti halnya yang tercantum dalam Perjanjian Abuja pada 1991.
Sebelumnya, sejumlah negara telah lebih dulu menerapkan paspor khusus ini, seperti yang dilakukan oleh 15 negara anggota Masyarakat Ekonomi Negara-negara Afrika Barat, ECOWAS.
Kebijakan 'Pintu Terbuka'
Saat ini, hanya ada 13 negara anggota UA yang telah membebaskan warga Afrika lain masuk tanpa visa. Bukan tidak mungkin kebijakan pintu terbuka yang akan diterapkan oleh UA ini berangkat dari laporan Bank Pembangunan Afrika yang menyarankan dilonggarkannya persyaratan masuk akan mendukung pertumbuhan ekonomi seperti yang terjadi di Rwanda.
Akibat penghapusan visa, PDB dan pendapatan negara dari sektor pariwisata Rwanda dilaporkan meningkat.
Direktur Bidang Politik UA, Khabele Matlosa menyebutkan bahwa kebijakan pintu terbuka akan berdampak positif bagi para pekerja.
"Masalah kami sekarang adalah banyak anak muda mempertaruhkan hidup mereka untuk menyeberangi Gurun Sahara atau naik kapal ke Eropa. Jika kita membuka peluang di Afrika, kita bisa mengurangi risiko itu," ujar Matlosa.
Matlosa mengaku, ia telah mempelajari contoh integrasi di Eropa, namun dirinya meyakini bahwa UA tidak akan terancam oleh isu imigrasi atau hilangnya kedaulatan. Kedua hal itu merupakan alasan di balik hengkangnya Inggris dari UE.
"Afrika adalah benua migran jadi kita tidak mencurigai mereka di sini. Ini adalah ujian bagi Pan-Afrika, doktrin yang menyokong keberadaan UA. Kami berkomitmen atas filosofi itu," tegasnya.
Diakui Matlosa, bahwa program pendistribusian paspor hingga 2018 mendatang adalah target yang ambisius. Ia bahkan ragu hal itu akan terwujud.
Kebijakan pintu terbuka ini bukannya tanpa risiko. Sejumlah analis menyoroti tantangan logistik yang akan dihadapi UA.
"Tidak semua negara memiliki tingkat teknologi yang sama yang dibutuhkan untuk sistem biometrik dan pendaftaran warga mereka. Waktunya terlalu singkat, mungkin jangka waktunya harus ditambah hingga 2020," ujar peneliti senior di Institute for Security Studies, David Zounmenou.
Zounmenou juga mengingatkan, UA kemungkinan akan mendapat keluhan dari sejumlah negara anggota mengingat visa menjadi sumber pendapatan bagi mereka.
"Tidak setiap negara akan menyambutnya. Visa merupakan sumber pendapatan penting bagi beberapa negara anggota dan menghapusnya akan mempengaruhi kestabilan ekonomi mereka, kecuali ada kompensasi," imbuhnya.