Langit Amerika 'Merah Darah' Kala Gunung di Indonesia Mengamuk

Ledakan dahsyat Gunung Krakatau tak hanya membuat Bulan berwarna biru. Langit di Eropa dan Amerika pun seakan terbakar.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 17 Sep 2016, 20:17 WIB
Diterbitkan 17 Sep 2016, 20:17 WIB
Ilustrasi letusan Gunung Krakatau pada 1883
Ilustrasi letusan Gunung Krakatau pada 1883 (Wikipedia)

Liputan6.com, Jakarta - Hari itu di kota New York, Amerika Serikat, sesaat setelah jarum jam menunjuk ke pukul 17.00, langit tiba-tiba memerah di ufuk barat.

"Orang-orang di jalanan kaget bukan kepalang menyaksikan hal tersebut. Mereka berkerumun di sana-sini, menghadap ke arah matahari terbenam, melontarkan pertanyaan tak terjawab tentang apa gerangan yang sedang terjadi," demikian cuplikan artikel yang dimuat koran lawas New York Times, 28 November 1883, seperti Liputan6.com kutip dari situs New York Times, Sabtu (17/9/2016).

"Tak sedikit yang mengira, kebakaran besar sedang melanda."

Pasukan pemadam kebakaran di New York, Poughkeepsie, dan New Haven pun sontak sibuk melayani laporan masyarakat yang khawatir berat, mengira api sedang berkobar di suatu tempat.

Pemandangan serupa disaksikan di Norwegia. "Cahaya yang kuat terlihat kemarin dan hari ini sekitar pukul 17.00 di barat kota. Orang-orang yakin, kebakaran sedang terjadi," demikian dilaporkan koran lokal di negara itu.

Edvard Munch, seorang seniman, juga menjadi saksi fenomena tak biasa itu. Ia kala itu sedang berada di Jalan Ljabrochausseen di kota pelabuhan Christiania -- yang kini menjadi Oslo, ibukota Norwegia.

Pengalamannya kala itu ia tuliskan dalan jurnalnya.

"Saya sedang berjalan di sebuah jalan kecil dengan dua orang teman --  matahari sedang tenggelam -- segala yang ada di langit berubah menjadi merah darah -- saya merasa diterjang badai melankolis. Saya berhenti, merasa lelah, dan bersandar di pagar, di atas fjord dan kota yang biru kehitaman, tampak darah dan lidah-lidah api," tulis dia.

"Teman-teman berjalan terus, dan saya berdiri di sana, gemetar, dan diliputi rasa cemas. Dan saya merasakan jeritan tak berujung menusuk melalui alam raya.''

Langit yang merah tersebut ternyata berkaitan dengan sebuah bencana dahsyat yang terjadi beribu-ribu kilometer jauhnya. Di Indonesia yang kala itu masih bernama Hindia Belanda.

Dampak letusan Krakatau 1883, karang di dasar laut naik ke daratan (Wikipedia)

Pada Senin 27 Agustus 1883, tepat pukul 10.20, Krakatau meledakkan dirinya. Kekuatannya setara 150 megaton TNT, lebih 10.000 kali kekuatan bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki. Melenyapkan pulau dan memicu dua tsunami, dengan tinggi maksimal 40 meter, yang menewaskan lebih dari 35 ribu orang.

Suara ledakan dan gemuruh letusan Krakatau terdengar sampai radius lebih dari 4.600 km hingga terdengar sepanjang Samudera Hindia, dari Pulau Rodriguez dan Sri Lanka di barat, hingga ke Australia di timur. Letusan tersebut masih tercatat sebagai suara letusan paling keras yang pernah terdengar di muka bumi.

Akibatnya tak hanya melenyapkan sebuah pulau beserta orang-orangnya, melainkan membuat mandeg perekonomian kolonial yang berusia berabad-abad, demikian ungkap Simon Winchester, penulis buku, "Krakatoa: The Day the World Exploded, August 27, 1883" atau "Krakatau: Hari di Mana Dunia Meledak, 27 Agustus 1883".

Letusan Krakatau juga menciptakan fenomena angkasa. Abunya yang muncrat ke langit membuat Bulan berwarna biru.

Pasca letusan tersebut, Krakatau hancur sama sekali. Mulai pada tahun 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau, muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau. Ia sangat aktif dan terus bertumbuh.

Inspirasi Lukisan Termahal di Dunia


Karena Edvard Munch adalah seorang pelukis, pengalaman yang menghantuinya itu ia tumpahkan dalam bentuk lukisan pada 1893.

Ia melukiskan apa saja yang ada dalam ingatannya. Dan jadilah sebuah lukisan yang punya arti penting dalam sejarah seni dunia.

Judulnya, Der Schrei der Natur: Jeritan alam. Namun, dunia mengenalnya dengan 'The Scream'.

Lukisan itu sama sekali tak indah. Cakrawala merah darah dan dataran yang biru. Sosok manusia yang digambarkan di sana, di tengah jembatan, sedang menempelkan kedua tangan di pipi. Wajahnya mengekspresikan kekhawatiran. Kengerian.

Lukisan The Scream (Wikipedia)


Sejumlah orang mencibir, 'The Scream' itu mirip gambar anak TK atau SD. Namun, fakta berkata lain. Pada 2 Mei 2012, lukisan pastel karya pelukis ekspresionis Norwegiaitu laku terjual seharga US$120 juta atau jika dirupiahkan saat ini nilainya mencapai Rp 1,5 triliun. Luar biasa!

Lukisan yang diperkirakan dibuat tahun 1893 itu dianggap oleh banyak orang sebagai karya Edvard Munch yang paling penting. Ada yang menginterpretasikan, ia melambangkan manusia modern yang tercekam oleh serangan angst -- kecemasan eksistensial.

Namun, warna langit merah dalam The Scream mungkin adalah penggambaran dari apa yang ia saksikan sendiri: dampak dari letusan Krakatau. 

Lukisan The Scream (Reuters)

Donald Olson, fisikawan astronomi dari Texas State University menyebutkan, pada hari-hari di mana sang pelukis mengerjakan karyanya, langit memang berwarna merah gara-gara letusan Krakatau.

"Yang membuat senja terlihat merah di Eropa dari November 1883 hingga Februari 1884," kata dia.

Sang ilmuwan juga melakukan napak tilas ke titik yang digambarkan sang maestro dalam lukisannya. Untuk mengetahui sudut pandang Much saat melukis 'The Scream'.

"Dengan itu kami mengetahui bahwa Munch sedang menatap ke barat daya -- persis ke arah di mana senja terlihat merah akibat letusan Krakatau pada musim dingin 1883-1884," kata dia. Saat melukis, pikirannya mungkin melayang ke masa itu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya