Liputan6.com, Boston - Pada malam itu, 10 Agustus 1883, Edward Samson, seorang editor koran Boston Globe, kembali ke kantornya dengan terhuyung-huyung.
Saat itu sudah tidak ada orang di tempat kerjanya, para karyawan sudah pulang. Samson lalu berbaring di sofa dan tertidur.
Saat jam di dinding menunjukkan pukul 03.00, pria itu tersentak dari tidurnya. Terengah-engah, dengan napas tak teratur, dan mata membelalak, Samson dapat merasakan dadanya berdebar kencang. Dia panik.
Advertisement
Baca Juga
Mimpi buruk yang membangunkannya terasa sangat nyata. Dia masih dapat mendengarkan teriakan histeris dan pilu orang-orang yang berlari ketakutan dalam mimpinya.
Semuanya terasa seperti sebuah kenyataan. Dia menyaksikan gunung meletus dahsyat dengan lava panas mematikan mengalir ke laut.
Dalam mimpinya, pria itu menyaksikan sebuah pulau yang ia tidak tahu di mana tenggelam ke dalam lautan, akibat ledakan dahsyat gunung tersebut.
Abu pekat membubung ke langit. Puing-puing gunung bertebaran ke angkasa. Pemandangan yang mengerikan.
Dia kemudian bangkit dari sofa, berjalan menuju meja kerjanya. Samson mengambil sejumlah kertas lalu mulai menuliskan apa yang dilihatnya dalam mimpi buruknya.
Setelah menyelesaikan tulisannya, pria itu lalu pulang beristirahat hingga pengaruh alkohol hilang dari tubuhnya.
Malam berganti dan pagi pun datang. Kala itu seorang editor lainnya sudah terlebih dulu sampai di kantor Boston Globe.
Di melihat catatan yang dibuat Samson. Mengira tulisan itu adalah peristiwa yang benar-benar terjadi di suatu tempat, editor itu lantas memutuskan untuk mempublikasikannya.
Tanpa mengonfirmasi terlebih dahulu kepada Samson, tulisan sepanjang 8 kolom itu pun terbit dan disajikan di halaman depan.
Berita mengejutkan itu menggegerkan dunia. Kisah tentang gempa bumi dahsyat yang melenyapkan pulau bernama Pralape itu tersebar ke seantero jagad raya melalui telegram.
Banyak pertanyaan dilontarkan kepada kantor berita itu. Mereka meminta informasi lebih detail mengenai 'kiamat kecil' yang menewaskan puluhan ribuan orang itu.
Redaksi kemudian mulai mencari di mana letak Pulau Pralape yang dikabarkan berada di Samudera Hindia itu.
Namun hasilnya nihil. Mereka tidak dapat menemukan keberadaan pulau misterius itu.
Akhirnya, setelah menyadari kesalahan besar yang mereka buat, Boston Globe menulis sebuah artikel yang berisi permohonan maaf. Mereka juga menyatakan bahwa berita Pulau Pralade tidak benar.
Lewat beberapa hari setelah kejadian itu, tepatnya pada 27 Agustus 1883, Gunung Krakatau yang terletak di Samudera Hindia meletus dahsyat.
Kekuatannya setara dengan 150 megaton TNT, 10 ribu kali lebih kuat dari bom atom yang membumihanguskan Hisroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II.
Letusan mahadahsyat itu menyebabkan tenggelamnya sebuah pulau yang memicu terjadinya dua tsunami, dengan gelombang setinggi maksimal 40 meter.
Kejadian yang tercatat dalam sejarah sebagai bencana paling mematikan itu menewaskan setidaknya 36.417 korban jiwa.
"Beberapa tahun berikutnya, baru diketahui bahwa Krakatau punya nama lain dua abad sebelumnya. Ia disebut sebagai Pralape," demikian cuplikan artikel yang dimuat koran Gadsden Times, 7 Oktober 1966.
Kisah mengenai 'ramalan' malapetaka itu berkali-kali ditulis ulang di media massa, dunia maya, dan buku.
Salah satunya 'Dream ESP' yang menuliskan tentang kekuatan pikiran, karya Carl Llewellyn Weschcke.
Fakta atau Hoax?
Namun benarkah cerita mengenai mimpi 'ramalan' dan berita itu?
Selama beberapa tahun peneliti mencoba membongkar misteri tersebut. Mereka mencari informasi kebenaran cerita yang hingga saat ini belum ditemukan jawabannya itu.
Berita mengenai meletusnya Karakau memang benar terjadi, pada 1883. Boston Globe pun dibenarkan merupakan koran AS yang pertama kali dipublikasikan pada 1872.
Tapi, hasil pencarian arsip kantor berita tersebut mengenai Pulau Pralape tidak ditemukan. Liputan6.com pun juga tidak dapat menemukan laporan tersebut -- melakukan pencarian melalui jaringan nirkabel.
Yang ditemukan adalah 'Syair Lampung Karam' yang ditulis oleh saksi mata letusan Krakatau, Muhammad Saleh.
Puisi itu diduga merupakan dokumentasi satu-satunya yang dibuat pribumi. Syair tersebut ditulis dalam Bahasa Melayu beraksara Jawa.
Berikut cuplikannya:
"Serta pula dengan gelabnya, tidak berhenti goncang gempanya. Bukan Bumi yang menggoncangnya, gempa air laut nyata rupanya.
Dengan takdir Tuhan yang Ghani, besar gelombang tidak terperi. Lalulah masuk ke dalam negeri, berlarian orang ke sana ke mari.
Ada yang memanjat kayu tinggi, masing-masing membawanya diri. Ada yang gaduh mencari bini, ada yang berkata ‘Allahurabi."
Advertisement