Gary Johnson, 'Capres Ketiga' yang Membayangi Hillary dan Trump

Tak hanya Hillary Clinton dan Donald Trump yang akan bertarung dalam Pemilu AS pada 8 November 2016 mendatang.

oleh Andreas Gerry Tuwo diperbarui 25 Okt 2016, 17:29 WIB
Diterbitkan 25 Okt 2016, 17:29 WIB
Capres AS dari Partai Liberal Gary Johnson
Capres AS dari Partai Liberal Gary Johnson (Foto:Reuters)

Liputan6.com, Washington DC - Pemilihan Umum Amerika Serikat tinggal menghitung hari. Tanggal 8 November 2016 akan menjadi medan pertempuran antara dua capres Hillary Clinton dan Donald Trump sekaligus pertarungan antara kubu Republik dan Demokrat.

Namun, tak banyak yang tahu bahwa Pemilu AS ternyata memiliki calon lain.

Salah satu calon Presiden AS yang akan bertarung dalam pemilu 2016 ini adalah Gary Johnson. Pria kelahiran 1 Januari 1953 tersebut merupakan kandidat yang dicalonkan Partai Liberal Amerika Serikat.

Partai di luar Republik dan Demokrat--termasuk Liberal, di Amerika Serikat, biasa disebut "partai ketiga".

Johnson bukan orang baru dalam percaturan politik AS. Ia pernah menjabat Gubernur Negara Bagian New Mexico dari 1 Januari 1995 sampai 1 Januari 2003.

Selain menjabat Gubernur New Mexico, Johnson sampai 2011 tercatat sebagai kader Partai Republik AS.

Pemilihan Presiden AS 2016 merupakan kali kedua Johnson mencalonkan diri untuk jadi orang nomor satu di Negeri Paman Sam.

Pada 2012, ia sempat mencoba peruntungannya dalam pemilu. Namun, upayanya tersebut gagal.

Dalam perhitungan suara, Johnson hanya mendapat 1.275.821 suara atau 0,99 persen. Jauh di bawah suara Barack Obama dan penantangnya, Mitt Romney.

Di 2016, Johnson kembali memberanikan diri bertarung dalam pemilu. Tak main-main, ia berpasangan politikus senior AS dan eks Gubernur Massachusetts, William Weld.

Pasangan Jonson dan Weld pada pilpres ini digadang-gadang jadi kuda hitam. Pernyataan itu didasari beberapa hasil jajak pendapat menyambut berlangsungnya pilpres AS.

Pada Agustus lalu, jajak pendapat pemilu AS mencatat sebanyak 15 persen warga AS siap memberikan suaranya kepada Johnson.

Catatan itu merupakan sejarah bagi AS. Pasalnya, sejak pilpres AS digelar baru pertama kali calon "partai ketiga" mendapat suara dalam jajak pendapat di atas 10 persen.

Melihat perkembangan pesat Johnson, Partai Demokrat sempat kebakaran jenggot. Tagline "memilih partai ketiga sama dengan memilih Donald Trump" pun diluncurkan.

Selama berkecimpung dalam dunia politik, ia mendeskripsikan dirinya sebagai seorang konservatif dan sosial liberal. Ia pun menyebut ancaman terbesar bagi AS adalah Korea Utara.

Kritikan Tajam

Dalam perjalanan maju bertarung dalam pilpres, sama seperti Hillary dan Trump, kritikan dan cercaan juga tak luput diarahkan kepada Johnson.

Kritikan tersebut terkait kapabilitas Johnson dalam memimpin AS, terutama soal kebijakan luar negeri.

Hal ini terlihat saat Johnson menjadi bintang tamu di acara MSNBC yang dipandu panelis Mike Barnicle pada September lalu. Ketika itu, Barnicle menanyakan, "Jika Anda jadi presiden, apa yang Anda lakukan di Allepo?"

Respons Johnson cukup mengejutkan.

"Apa itu Allepo?" tanya Johnson kembali sambil memperlihatkan muka bingung.

Peristiwa itu betul-betul jadi bumerang baginya. Popularitas Johnson pun menurun drastis.

Mencoba meluruskan fakta yang ada, Johnson beralasan, ketika panelis menanyakan pertanyaan itu ia tiba-tiba blank. Ia malah berpikir kalau Allepo sebuah akronim yang tak ada hubungan dengan Suriah.

Walau mencetak blunder, Johnson punya tetap punya pendukung setia. Salah satunya mantan bassist Nirvana, Krist Novoselic.

Kolega legenda musik Kurt Cobain itu menyatakan ia pendukung Johnson. Noveselic juga berencana menyumbang dana bagi pasangan partai liberal ini untuk berkampanye.

"Dukungan saya kepada partai ketiga bukanlah bentuk protes. Dia adalah kandidat yang punya semangat besar, anggota parlemen berpengalaman, punya juga pengalaman eksekutif," tutur Noveselic.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya