Liputan6.com, Jakarta - Saat nama Barron Trump disebut dalam pidato inagurasi Donald J. Trump ikut berperan penting untuk mendapatkan dukungan anak muda dalam pemilihan presiden Amerika Serikat, publik bertepuk tangan panjang.
Pasalnya, putra bungsu dari Melania Trump, Barron dan sahabatnya Bo Loudon inilah, yang menyarankan Donald Trump untuk melakukan reli siniar dengan tampil di program-program YouTube dan siniar favorit anak muda, seperti YouTuber Logan Paul, komedian Theo Von, podcaster Lex Fridman, YouTuber Nelk Boys, komentator politik Ben Shapiro, pengusaha Patrick Bet-David, Adin Ross pemengaruh di platform Kick, dan podcaster terkenal Joe Rogan.
Advertisement
Baca Juga
Bahkan kabarnya Donald Trump menginstruksikan tim kampanyenya untuk ‘bicarakan dengan Barron’ sebelum mengonfirmasi penampilan publiknya di siniar.
Advertisement
Hasilnya memang di luar perkiraan. Di kalangan anak muda, pemilih Donald Trump melonjak melebihi Kamala Harris, saingannya dari partai Demokrat yang sempat disukai generasi milenial dan Z.
Dalam pidato inagurasinya, presiden terpilih AS ke-47 ini menyebut ia meraih total suara mayoritas (67 persen) dari Generasi Z kulit putih—terutama mereka yang tidak memiliki gelar sarjana. Padahal Partai Demokrat selama ini dikenal partai progresif, yang lazimnya didukung oleh anak muda.
Istilah “Efek Barron” kemudian dikenal untuk menamai cara baru untuk memenangkan pemilu. Apa yang dipahami Barron bukan hanya tentang politik, tetapi ia mengganti isi buku Panduan Menjadi Pemenang Pemilu. Dari yang mengandalkan media tradisional seperti televisi dan koran, menjadi mengandalkan interaksi langsung.
Dari yang memakai cuplikan-cuplikan pendek, berubah ke konten berformat panjang. Dari upaya memoles citra, menjadi menampilkan keaslian. Ini semua yang dilakukan Donald Trump sepanjang reli siniar lalu.
Sukses Fidias di Eropa
Tak berbeda dengan Barron, Fidias Panayiotou tahun lalu sukses menjadi anggota Parlemen Eropa dengan memanfaatkan teknik serupa.
Fidias awalnya dikenal sebagai prankster asal Siprus di YouTube, tapi ia memberanikan diri untuk mencalonkan diri menjadi anggota Parlemen Eropa dan meraih suara 19,4 persen, ketiga terbanyak saat pemilihan.
Kemenangan ini mengguncang dunia internet dan politik, khususnya di Eropa, dan menjadi berita utama di berbagai media, termasuk BBC. Saat mengajukan pencalonan pada bulan April, Fidias mengaku bahwa tujuan utamanya bukanlah untuk terpilih, melainkan untuk memotivasi generasi muda agar lebih terlibat dalam politik.
Hal ini justru sengat menarik dikarenakan berdasarkan analisis data exit poll, Fidias meraih 40 persen suara dari kelompok usia 18-24 tahun dan 28 persen dari kelompok usia 25-34 tahun. Dapat terlihat dari data tersebut, kebanyakan yang memilihnya adalah anak-anak muda yang bermain internet atau bahkan tadinya adalah subscriber YouTubenya.
Bagaimana caranya? Ia mengubah format konten YouTube dari cuplikan pendek video iseng menjadi wawancara dengan tokoh-tokoh yang bisa mengulas persoalan yang dihadapi Eropa: soal pengangguran, soal teknologi, soal politik, soal ketidakadilan ekonomi.
Ia juga tampil asli tanpa niatan mengubah citra. Dengan tampilan khas bercelana pendek dan kaos, ia mewawancara banyak orang itu. Bahkan ketika menjadi anggota Parlemen Eropa, ia tetap mengenakan pakaian yang sama untuk menghadiri rapat yang dihadiri kaum berjas perlente.
Pilihan media yang dipakai Fidias pun tetap sama, ia menggunakan media baru, alih-alih pergi ke stasiun televisi atau radio. Di media baru, ia bisa berinteraksi langsung dengan para penonton untuk memberi masukan atau bahkan ikut memilih apa yang harus ia lakukan.
Advertisement
Pilihan Anak Muda dalam Politik
Dalam Politik Digital, perkembangan semacam ini jadi perhatian. Perubahan-perubahan politik dengan memanfaatkan teknologi digital penting untuk diperhatikan agar dapat diperkirakan ke arah mana tren politik ke depan dan masa depan demokrasi.
Dari apa yang dapat diamati terkait Barron dan Fidias, ini bukanlah sekedar beda generasi, beda pilihan politik, tetapi ini perubahan signifikan, terutama terkait bagaimana pilihan anak muda dalam politik.
Dengan seperempat populasi global berusia antara 15 dan 35 tahun, dunia memiliki generasi muda terbesar yang pernah ada. Hal ini menghadirkan potensi besar untuk kemajuan, dengan setiap orang muda membawa ide-ide baru dan energi baru.
Meskipun demikian, di seluruh dunia, kaum muda ini sering dikecualikan dari proses politik dan partai politik. Sebagai salah satu kelompok yang paling kurang terwakili di lembaga-lembaga politik, termasuk parlemen, kaum muda sering merasa dikucilkan dari politik.
Banyak penelitian telah dilakukan mengenai dampak media sosial terhadap anak muda. Penelitian-penelitian ini secara umum menyoroti pengaruh perilaku penggunaan berbagai jenis media sosial atau situs jejaring sosial terhadap konstruksi identitas, kreativitas, perilaku konsumsi, literasi media, budaya global, budaya virtual, dan subkultur kaum muda lainnya (Buckingham, Bragg, dan Kehily, 2014).
Kebanyakan sarjana menempatkan anak muda sebagai kelompok apolitis, bukan bagian dari masyarakat madani yang peduli pada demokrasi. (John Shirley, 1992, Loader, Vromen, dan Xenos, 2014). Bahkan dikatakan anak muda tidak lebih dari bagian masyarakat konsumsi, alih-alih mengambil peranan dalam masyarakat sipil (Sugihartati, 2018).
Pandangan-pandangan ini agaknya bertolak belakang dengan fakta-fakta yang terjadi belakangan, terutama dalam konteks pilihan anak muda dalam pemilu. Untuk memperkuat argumentasi, kita bisa melihat apa yang terjadi di Indonesia saat pemilu lalu.
Pada Pilpres 2024, anak muda dari generasi Z dan milenial banyak memilih Prabowo Subianto dibanding dua kandidat calon presiden lain. Bahkan Prabowo beroleh suara 71 persen dari generasi muda, jauh melebihi suara yang didapat Anies Baswedan 19,7 persen yang selama ini dianggap mewakili aspirasi generasi muda yang gelisah pada demokrasi. (Survei Exit Poll Indikator 2024)
Paparan data Kuipers, Toha, dan Sumaktoyo 2024 memerlihatkan betapa besar dukungan generasi muda pada Prabowo Subianto, baik saat pemilu maupun pascapemilu.
Meski generasi Z dan milenial dinilai lemah dalam hal memori kolektif, seperti misalnya pada peristiwa Mei 98 atau bahkan pada hubungan Prabowo sebagai bagian dari keluarga diktator Soeharto, namun generasi Z dan milenial sangat mengandalkan media sosial sebagai sumber utama mencari informasi (Sumaktoyo 2024).
Dengan mengandalkan interaksi langsung, konten berformat panjang, dan menampilkan keaslian telah menjadi cara Prabowo juga untuk menggaet suara dari anak muda. Prabowo akhirnya mendulang sukses, sama seperti pola keberhasilan di Siprus dan AS. Mereka yang menguasai panduan masa kini akan tampil sebagai pemenang pemilu.
Tinggal kini tantangan ke depannya adalah bagaimana pemahaman apa yang menjadi pilihan anak muda dan perubahan panduan ini dapat membantu demokrasi menjadi lebih baik daripada sebelumnya, terutama pekerjaan rumah utamanya adalah bagaimana agar mereka yang lebih peduli pada demokrasi dan hak-hak warga menjadi lebih didengar dan dipilih oleh generasi Z dan milenial.
Penulis: Damar Juniarto / Dosen mata kuliah Politik Digital di UPN Veteran Jakarta, konsultan untuk Badan Penasihat Kecerdasan Artifisial PBB, pendiri KONDISI (Kelompok Kerja Anti Disinformasi Digital di Indonesia) dan PIKAT Demokrasi (Pusat Inovasi Kecerdasan Artifisial dan Teknologi untuk Demokrasi).