Peringatan Konten!!

Artikel ini tidak disarankan untuk Anda yang masih berusia di bawah

18 Tahun

LanjutkanStop di Sini

Pornografi Merusak Otak, Mitos atau Ilmiah?

Ada banyak mitos tentang hubungan seksual. Ternyata ada penjelasan secara ilmiah.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 26 Okt 2016, 23:00 WIB
Diterbitkan 26 Okt 2016, 23:00 WIB
Masturbasi
Ilustrasi pria muda sedang melakukan masturbasi sambil menikmati pornografi online. (Sumber newhealthadvisor.com)

Liputan6.com, London - Masturbasi adalah suatu perilaku seksual yang seringkali dikaitkan dengan menciutnya otak, impotensi, perceraian, dan pedofilia. Bahkan, pada bulan April lalu, negara bagian Utah menyatakannya sebagai bahaya kesehatan umum.

Salah satu pemicu hal itu bisa jadi adalah material bermuatan pornografi.

Peringatan tentang pornografi bukan hanya berasal dari kelompok-kelompok ulama atau konservatif, karena Pamela Anderson, mantan model Playboy, baru-baru ini juga memberi peringatan tentang "dampaknya yang merusak".

Sejumlah survei mengungkapkan bahwa pornografi memang lazim di kalangan pria dan tidak terlalu jarang juga di antara kaum wanita. Apakah sedemikian berbahaya atau ada manfaatnya?

Seperti dikutip dari situs sains New Scientist.com pada Rabu (26/10/2016), sudah ada penelitian tentang dampak pornografi, tapi sebagian besar mengungkapkan hal-hal yang saling bertentangan.

Bahkan, satu penelitian yang sama bisa ditafsirkan secara berbeda oleh dua pihak yang saling berdebat. Ada yang memandang itu jahat bagi masyarakat, sedangkan yang lainnya menganggap sikap demikian berlaku dalam histeria 1980-an.

Dampak Pornografi pada Otak

Pegiat anti pornografi secara gigih mengatakan pornografi menyebabkan ketagihan dan merampas jalur normal sistem ganjaran pada otak manusia.

Menurut teori itu, mirip seperti penagih heroin yang memerlukan penambahan narkoba untuk meraih puncak, maka para pengguna pornografi merasa tidak lagi terangsang dengan seks sesungguhnya dan terus mencari yang lebih ganas lagi.

Tentu saja, ada beberapa kekhawatiran lain tentang pornografi, misalnya tampilan kekerasan, eksploitasi, dan kesediaan atau keterpaksaan melakukan seks. Ketagihan di kalangan pria pun semakin menjadi fokus kampanye anti pornografi.

Para pegiat mengatakan bahwa membanjirnya pornografi mendorong pengguna untuk menghindari pasangan mereka dan mencari-cari gambar-gambar bestialitas (seks dengan hewan), suasana pemerkosaan, dan penistaan anak.

Beberapa sekolah di Skotlandia memperingatkan bahwa menyaksikan gambar-gambar dewasa menjurus kepada impotensi, pemaksaan, dan penyesahan.

Pornografi, menawarkan pria dan wanita kesempatan yang sama untuk mengeksplorasi fantasi seksualnya. Namun sebenarnya, ada banyak efek negatif yang dimunculkan olehnya, salah satunya pada otak. (foto: thedailybeast)

Jadi, apakah ketagihan pornografi memang ada?

Penulis Clare Wilson mengutip sejumlah penelitian yang mengungkapkan adanya perbedaan kegiatan dalam otak antara orang yang sangat sering menggunakan pornografi dan yang tidak, bahkan seringkali berada di daerah-daerah otak yang sama yang juga menunjukkan perbedaan pada kasus ketagihan narkoba.

Beberapa penelitian, misalnya dalam PLoS One, mengungkapkan bahwa pengguna pornografi memiliki tanggapan-tanggapan yang lebih tinggi pada isyarat-isyarat seksual, tapi sebagian penelitian dalam Biological Pshychology malah mengungkapkan rendahnya tanggapan-tanggapan yang dimaksud.

Apapun temuannya, hal itu tidak membuktikan pornografi mengubah otak seseorang. Mungkin, orang yang tertarik dengan itu memang memiliki otak yang berbeda. Mungkin saja mereka memiliki dorongan seks yang lebih tinggi, yang bisa saja disebabkan oleh perbedaan biologis.

Daripada sekedar mengandalkan pemindaian otak, perlu ditemukan seberapa seringnya para pengguna porn mengeluhkan masalah-masalah seperti impotensi dan eskalasi, atau perilaku yang miriip seperti orang ketagihan narkoba.

Pornografi, Impotensi dan Ketagihan

Wilson ikut menulis telaahan baru-baru ini dalam Behavioral Sciences yang menyimpulkan bahwa tingkat impotensi di antara kaum muda pria sekarang ini lebih tinggi daripada yang pernah terjadi sebelumnya. Beberapa penelitian menyebutkan angka 33 persen, padahal angka itu hanya 5 persen sebelum merebaknya pornografi gratis di internet.

Tapi, Kirstin Mitchell dari University of Glasgow di Inggris, wanti-wanti mengatakan bahwa penelitian-penelitian impotensi dapat menyesatkan karena menggunakan batasan (definisi) yang berbeda.

Menurutnya, wajar saja jika kaum pria muda mengalami "letoy" sejenak, misalnya karena syaraf atau alkohol, jadi penting untuk memberi batasan tentang keparahan yang dimaksud. Ia mengatakan, "Bisa saja orang memilah-milah penelitian sekehendak hati."

Mitchell membantu Natsal, salah satu penelitian terbesar di Inggris tentang seksualitas manusia dan berlangsung tiap dekade.

Penelitian terkini pada 2011 (dalam Journal of Adolescent Health) mengungkapkan bahwa masalah seksual terlazim bagi kaum pria berusia 16 hingga 21 tahun adalah ejakulasi dini. Hanya 3,3 persen penjawab melaporkan tingkat impotensi yang "mencemaskan".

Dua survei sebelumnya tidak memperinci jawaban untuk pertanyaan itu, sehingga tidak bisa diketahui apakah angka itu bertambah atau berkurang, walau jelas itu hanya masalah kecil.

Menurut Mitchell, "Menurut saya, orang tidak menganggap angka 3,3 persen sebagai bukti sesuatu yang bersifat epidemik."

Tapi, mengenai eskalasi, suatu survei Computers in Human Behavior terhadap 434 kaum pria yang terutama berasal dari Prancis dan Belgia mengungkapkan bahwa hampir setengah peserta survei yang telah melihat gambar-gambar porno mengatakan, "tidak tertarik, bahkan menjijikkan."

Kata Wilson, "Mungkin otak mereka telah mengalami perubahan-perubahan terkait dengan ketagihan." Tapi pertanyaan survei itu kurang jelas, karena bisa saja pria yang menjawabnya melihat gambar karena tidak sengaja atau hanya mencobanya beberapa kali. Tidak jelas apakah mereka sekarang menyukai hal seperti itu.

Lalu, bagaimana halnya dengan ketagihan? Definisi yang lazim adalah bahwa perilaku itu mulai berdampak secara negatif pada seluruh hidup seseorang, misalnya pekerjaan dan hubungan, dan bahwa mereka mencoba berhenti atau mengurangi, tapi dengan susah payah.

Sejumlah situs web seperti Your Brain on Porn berisi penuh dengan pengakuan kaum pria yang perilakunya memenuhi kriteria yang disebutkan itu. NoFap, suatu situs web lain tentang pemulihan dari pornografi mengaku memiliki sekitar 1 juta pengguna dalam sebulan.

Tapi, untuk mengetahui seberapa lazimnya gejala (fenomena) ini, kita perlu melihat sampel acak para pengguna pornografi, bukan hanya yang ikut serta dalam situs-situs seperti itu.

Beberapa survei sebelumnya memperkirakan bahwa angka kaum pria pengguna yang mengaku "bermasalah" adalah antara 6 hingga 13 persen. Penelitian Prancis/Belgia menyebutkan angka 28 persen. Angka yang di luar dugaan, tapi mungkin mencerminkan adanya penambahan baru-baru ini.

David Ley yang mengepalai klinik New Mexico Solutions untuk mengatasi ketagihan mengatakan bahwa biasanya pornografi bukanlah masalahnya, tapi masalah ada pada perasaan bersalah seseorang tentang itu.

"Penelitian demi penelitian mengungkapkan bahwa orang yang mengaku ketagihan pornografi tidak lebih banyak menonton pornografi daripada orang-orang lain, tapi memiliki nilai-nilai moral yang konflik dengan penggunaannya.”

Apapun penyebabnya, setidaknya ada orang yang tidak bahagia dengan tingkat penggunaannya. Tapi, apakah kita kemudian harus membatasinya?

Ada Dampak Positif?

Menurut suatu penelitian Denmark dalam jurnal Archives of Sexual Behavior yang dilakukan pada 700 pria dan wanita heteroseks, mungkin kebanyakan orang malah mendapatkan manfaat dari pornografi.

Baik pria dan wanita dalam survei berpendapat bahwa, secara keseluruhan, pornografi memiliki dampak positif dalam kehidupan seks mereka, dan pengetahuan tentang seks dan kehidupan pada umumnya.

Dan Miller dari James Cook University di Australia mengatakan, "Baik bagi kita untuk melakukan hal-hal yang membuat kita bahagia." Ia juga mengungkapkan hasil serupa dalam survei 470 pria. Hasil survei belum diterbitkan.

Miller juga mengungkapkan bahwa anak lelaki heteroseks mulai menggunakan pornografi secara teratur pada usia yang semakin dini. Dalam survei, usia termuda adalah 15 tahun. Jadi, penting untuk mendidik kaum remaja.

"Tapi bukan seperti khotbah yang menistakan menonton pornografi," ujarnya. Melainkan lebih kepada penjelasan bahwa pornografi tidak menggambarkan seks dan hubungan secara tepat.

Dengan kata lain, kita mungkin ingin melontarkan kritik tentang bagaimana pornografi hadir dan berdampak kepada masyarakat, tapi kita tidak perlu berlebihan menyeretnya menjadi krisis kesehatan.

Miller melanjutkan, "Saya tidak ingin merendahkan pengalaman kaum pria manapun yang merasa bahwa pornografi memiliki pengaruh beracun dalam hidup mereka, tapi belum menemukan cukup banyak bukti untuk mendukung pandangan datangnya kiamat pornografi. Mungkin orang hanya perlu sedikit lebih kalem."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya