Pengungsi yang Tiba di Australia dengan Perahu Dilarang Bermukim

PM Turnbull mengatakan, UU baru nantinya akan mencegah imigran yang datang ke Australia dengan menggunakan perahu.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 31 Okt 2016, 08:07 WIB
Diterbitkan 31 Okt 2016, 08:07 WIB
Kapal yang mengangkut para pengungsi menyeberangi lautan
Kapal yang mengangkut para pengungsi menyeberangi lautan (keyt)

Liputan6.com, Canberra - Para pengungsi yang menempuh perjalanan mengerikan melalui jalur laut ke Australia mungkin akan berpikir dua kali untuk melakukan hal tersebut. 

Seperti dilansir CNN, Senin (31/10/2016), Perdana Menteri Australia, Malcolm Turnbull memperkenalkan sebuah undang-undang baru yang akan mencegah para pengungsi dan para pencari suaka menetap di negara itu jika mereka datang dengan perahu.

Dalam pernyataannya pada Minggu 30 Oktober kemarin, Turnbull 'mengirimkan' pesan yang lantang dan tegas di mana ia mengusulkan larangan permukiman bagi pengungsi yang tiba dengan perahu. Dia mengatakan, hukum akan lebih adil bagi pengungsi yang masuk ke Negeri Kanguru melalui proses aplikasi visa.

"Sebuah program kemanusiaan yang baik, sebuah masyarakat multikultural yang harmonis, sangat bergantung pada bagaimana pemerintah Australia mengontrol perbatasannya," ujar Turnbull.

"Dan itu sangat tergantung pada bagaimana kami mengirimkan pesan kepada para penyelundup manusia. Jika tetap membawa pengungsi ke Australia, mereka (pengungsi) tidak akan pernah menetap di negara ini," tegasnya.

Lebih lanjut Turnbull menjelaskan, bahwa Australia selama ini telah menerima ratusan pengungsi dan undang-undang baru nantinya akan memproses para pencari suaka untuk dibawa ke sebuah fasilitas regional baik yang ada di Nauru mau pun Papua Nugini. Arus pencari suaka mulai ramai berdatangan sejak 2013.

Sementara itu para pencari suaka yang berusia di bawah 18 tahun akan dibebaskan dari kebijakan tersebut.

Sejak 2012, pengungsi yang tiba di Australia dengan perahu telah dipindahkan ke pusat-pusat lepas pantai di negara-negara kecil di Pasifik seperti Nauru dan Pulau Manus di Papua Nugini. Ini dilakukan untuk menjamin mereka tidak akan menetap di Australia.

Berbeda dengan Turnbull, para pendahulunya telah mengizinkan pengungsi memasuki negara itu dengan pertimbangan mencegah lebih banyak orang yang tenggelam di laut. Meski demikian terdapat laporan adanya pelanggaran di kamp-kamp lepas pantai Australia.

Melindungi perbatasan atau menghukum pengungsi?

Amy Lamoin, kepala kebijakan dan advokasi untuk UNICEF Australia, mengecam larangan yang diusulkan Turnbull. Ia menyebutnya tak masuk akal.

Menurut Lamoin, salah satu cara untuk menghentikan pengungsi adalah dengan 'memberikan pelajaran' kepada penyelundup manusia

Lamoin juga mendesak Turnbull untuk mempertimbangkan pendekatan regional kepada para pengungsi demi menciptakan jalur migrasi yang aman, membahas pemicu perpindahan dan membuat pusat informasi untuk berurusan dengan para pengungsi.

Australia selama ini menjadi tujuan utama pengungsi dari negara-negara konflik. Hal itu ternyata karena Australia telah memiliki hukum yang mengatur soal pengungsi.

"Australia menandatangani Konvensi Pengungsi pada tahun 1951. Konvensi itu membuat Australia harus mengurus pengungsi yang datang ke wilayahnya," ujar analis Human Rights Watch (HRW), Alice Farmer.

Meski tujuan para pengungsi adalah Australia, namun Indonesia memiliki peran signifikan sebagai negara transit. Posisi geografis Indonesia membuat para pengungsi harus melewatinya terlebih dahulu sebelum mencapai australia.

Kebanyakan para pengungsi datang ke Indonesia melalui Malaysia. Mereka lalu melanjutkan perjalanan ke Australia melalui perahu.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya